"Siapa orang tua itu?"
Bagas mengangkat tangan kanan, mengacungkan telunjuk jari, menempelkannya ke dahi, dan menggeser ke kiri-kanan berulang kali. Isyarat umum hanya generasi muda yang tahu maksudnya.
"Orang gila?"
"Benar." Bagas meremuk segenggam kerupuk sembari menaburi serpihan-serpihannya ke atas nasi goreng. "Kerjanya keliling memperingatkan orang ini itu. Capek dengarnya."
"Tapi kau terima tadi nasihatnya."
"Lebih baik daripada berdebat, Irvin."
Aku mengangkat sebelah dahi. "Separah gimana?"
"Begini, kami sekampung pernah bicara empat mata dengannya agar berhenti menasihati orang-orang. Terakhir dia membentak dan menasihati kami agar jangan menasihati dirinya apalagi melarangnya. Orang-orang muda mesti menghormati yang tua katanya."
Mulutku membentuk hurup O. Entah kenapa orang-orang seperti ini tetap ada, di tempatku malah kasusnya lain.
"Kami sepakat berdebat tiada guna. Kalau nasihatnya kami terima, suka atau tidak suka, dia pasti lansung pergi."
"Pantas."
"Begitulah." Bagas tersenyum kecil. "Sudah, makan dulu kita. Nanti keburu dingin."
Kami kembali memakan makanan kami. Kali ini tidak berbicara maupun tertawa, hanya suara desiran dedaunan maupun burung-burung yang menemani keheningan di sela-sela sesekali suara kunyahan kami. Terutama pas menggigit hancur kerupuk. Kurang lebih nasihat pak tua agar makan tanpa bicara demi kebaikan kami tadi efektif.
Tak lama kaki kanan Bagas mulai diangkat naik. Ditekuk sedemikian rupa dan tangan kanannya disandarkan ke atas kaki tersebut sambil tetap menyendoki nasi gorengnya. Orang-orang bilang itu pose makan santai ala warung ngopi. Pose begini kurang sopan. Langsung saja aku teringat nasihat yang pernah dibagikan orang tuaku.
"Mau sebuah nasihat, Bagas?"
"Astaga!" Bagas menyeru keras. "Apa kau ikutan gila?!"
Aku tertawa lebar. Mengusili Bagas adalah salah satu hal yang menyenangkan. Orangnya ngak bisa merajuk.
"Mau dengar ngak? Perihal jodoh loh."
Tangan Bagas menyeletuk. "Kalau ini aku mau dengar."
"Dasar jomblo."
"Kau sama saja!"
Kami tergelak. Kali ini Bagas tidak tersendak, untung saja.
"Kau lihat posisi makanmu sekarang," kataku yang membuat Bagas memperhatikan posisi duduknya. "Kata orang kalau kau makan di teras nanti ngak bisa dapat jodoh."
Bagas terdiam sejenak. Aku tahu dia sedang mencoba mencerna apa yang barusan kukatakan karena kerutan tercipta di dahinya.
"Apa hubungannya?"
"Karena makan di teras, kita jadinya santai sehingga pose makan kita jadi kurang sopan." Telunjukku menunjuk gerbang pintu. "Orang-orang atau calon pasangan yang lewat depan rumah bisa melihat kelakukan kita. Mereka merasa jijik, jadi pas kita mau dijodohkan orang atau mengejar calon pasangan, mereka jadi enggan."
Bagas melonggo menatapku. Tangan kirinya memasukkan sebuah kerupuk ke dalam mulut saat kaki kanannya perlahan turun untuk duduk pose bersila.
"Yang ini aku bisa terima. Pantas saja aku sering digosipin."
Aku mengelus dada, berpura-pura tidak percaya. "Sudah berapa lama?"
"Sepanjang hidupku."
"Kayaknya kau boleh hidup selibat deh." Aku menepuk pundak Bagas. "Cocok kok."
Tanpa segan Bagas meneleng kepalaku. Badanku terjatuh bagai pohon tumbang ke samping sambil kulontarkan tawa keras. Memang menyenangkan mengusili Bagas, tetapi apa yang kuutarakan ada benar. Makanya aku berusaha sesopan mungkin di manapun.
Nasihat ada karena ada maksudnya. Ambil baiknya saja.