Tanganku menimang-nimang benda yang berada dalam genggaman, sebuah pin tua dan berkarat berbentuk bintang. Ukurannya serupa dengan koin seratus rupiah lama yang memiliki ukiran wayang kulit di sebelah sisinya. Mataku terpaku pada guratan dan coretan kasar yang mengitari satu sisinya, yang sepertinya adalah sebuah tulisan kalimat.
Huruf-huruf ini bukanlah alfabet seperti yang biasa dikenal, melainkan mirip dengan aksara kuno. Coretan ini terlalu rapi dan sempurna untuk dikatakan hanya coratan iseng semata.
Setidaknya aku tahu ini bukanlah aksara Jawa atau Sunda, karena aku sudah mengenal bentuk kedua aksara itu walau tak begitu memahaminya. Tulisan ini juga bukan berasal dari Jepang, Cina, atau pun Korea. Mungkin ini berasal dari daerah lain, atau bisa jadi dari belahan dunia lain. Entahlah. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki, kepalaku sakit saat terlalu memikirkannya.
"Hei, ngapain kau diam di sana, bodoh!? Kau tidak kedinginan? Kalau mau cari mati sekali lagi, terserah! Tapi jangan harap aku mau menolongmu lagi!" teriak Dimas dari kejauhan.
"Iya maaf, tunggu aku!"
Dengan buru-buru aku menaruh pin bintang itu ke dalam saku belakang celana panjangku, lalu pergi mengejar lelaki yang telah menapaki jalan kecil untuk kembali ke perkemahan. Tidak jauh berbeda seperti saat sebelumnya, aku sedikit kesulitan melintasi jalan setapak yang penuh dengan batu dan akar pepohonan ini. Namun setidaknya aku melewatinya lebih cepat. Karena aku tinggal mengikuti langkah kaki Dimas yang berada di depanku.
Begitu kami tiba di perkemahan, aroma daging ikan bakar langsung menusuk lubang hidung. Mengundang rasa lapar di tengah kedinginan yang menyelimuti tubuh basahku. Di sebelah api unggun, Kak Indra menaruh beberapa ikan yang baru saja dipanggang ke atas piring plastik. Lalu bersiap untuk menaruh ikan lainnya ke pemanggang yang berada di atas bara api. Kak Shella adalah orang pertama yang menyadari keberadaan kami.
"Oh, kalian sudah kembali? Tunggu, Dimas! Kau tadi pergi ke sungai untuk mencuci baju atau mandi?" Perempuan itu menunjukan ekspresi keterkejutan saat melihat kondisi kamu. "Ya ampun, Anggi! Kenapa kau juga ikut-ikutan basah?"
"Ini semua gara-gara si bodoh yang satu ini! Dia nggak bisa berenang, tapi sok banget pengen main air. Jadi mau tak mau aku menolongnya saat ia nyaris hanyut tadi," jawab Dimas dengan ketus. Tampaknya ia sangat kesal. Lelaki itu pun tak segan saat mendengus di depan hidungku.
"Harusnya kau biarkan saja dia tenggelam. Jangan repot-repot menyelamatkan orang yang memang mau cari mati!" sahut Kak Indra yang berada di samping api unggun yang menari-nari.
"Maunya sih. Tapi aku ingat dia masih berhutang seratus ribu padaku. Jadi terpaksa, aku harus menyelamatkannya." Dimas yang gusar langsung mengarahkan jari telunjuknya padaku yang berdiri beberapa meter dari api unggun.
Lelaki itu memang mengeluarkan kata-kata yang tajam. Bohong jika aku berkata ucapannya tak melukai perasaanku. Tapi aku tak memasukkannya ke dalam hati. Sebab, aku tahu ia tidak benar-benar mengatakan hal itu. Aku sangat mengenal tabiat teman dekatku ini. Meskipun sifatnya agak kasar, sebenarnya lelaki itu adalah orang yang sangat peduli. Jika tidak, tak mungkin dia akan menyelamatkanku yang tenggelam sebelumnya. Lalu memarahiku bila tidak merasa khawatir padaku. Bisa dibilang, sifat kasarnya ialah perisai yang menutupi sifat lembutnya di dalam.
Satu hal lagi, akan kubayar hutangku nanti.
Aku berjalan ke arah tendaku bersama murid-murid perempuan lainnya. Mengambil baju ganti dari dalam tas, lalu mengganti seluruh pakaian yang kukenakan. Tak lupa mengambil pin bintang misterius dan menaruhnya di saku celanaku yang baru dan masih kering. Untungnya saja tidak ada orang lain di dalam tenda ini, jadi aku bisa berganti pakaian dengan tenang. Sebab aku merasa sedikit malu bila tubuhku yang kecil dan seperti laki-laki ini terlihat oleh orang lain. Tak seperti Dimas yang dengan santainya berganti baju di depan tenda. Seakan dia memang sedang memamerkan tubuhnya kepada yang lain. Justru Kak Shella dan anggota perempuan lainnya yang memalingkan wajah karena merasa malu sendiri.
Setelah berganti baju, kami bergabung dengan teman-teman yang lain. Di mana semua anggota Tae Kwon Do yang ikut, telah berkumpul dekat api unggun. Ada laki-laki yang tengah membantu memanggang ikan. Ia adalah Kak Erik, teman sekelas Kak Indra yang kerap dipanggil 'Si Jawa' karena tanah kelahirannya. Juga ada si kembar Vian dan Vani yang satu angkatan denganku. Saking identiknya, orang-orang mungkin takkan bisa membedakan keduanya.
Suasana pun semakin ramai dan menyenangkan. Karena di tengah acara memasak bersama, ada saja satu atau dua orang yang suka bercanda atau melucu secara tiba-tiba. Yang menjadi bahan lawakan mereka bisa apa saja. Tapi yang paling sering adalah kejadian-kejadian lucu eskul Tae Kwon Do pada masa lalu. Sebagai anggota baru, tentu saja hal itu menarik perhatianku. Aku baru tahu kalau Kak Indra pernah memakai seragam cheerleader.
Kejadiannya adalah ketika lelaki itu menantang duel kakak kelasnya waktu itu. Ia pun kalah. Sebagai hukumannya, disuruhlah pria itu memakai seragam dari eskul cheerleader. Kak Erik yang bergabung dengan klub eskul ini dari awal, menunjukan foto Kak Indra yang sedang memakai seragam serba "bling-bling" tersebut kepada semua orang.
Terbayang, kan? Ketika wajah sangar dan tubuh berototnya terbalut pakaian yang super imut. Sontak semua orang pun tertawa karenanya. Sementara Kak Indra yang menahan malu, mencoba mengejar dan memukul orang yang mangabadikan fotonya.
Karena suasana yang menyenangkan dan kebersamaan semua orang ini, aku bisa merasakan kehangatan dalam hati. Sebuah hal unik yang jarang kurasakan. Aku sangat beruntung bisa diterima menjadi bagian dari mereka. Hal inilah yang akan kujadikan bekal untuk melangkah ke depan.
Sekitar satu jam kemudian, acara makan malam bersama telah berakhir. Ada beberapa orang yang ditugaskan untuk mencuci peralatan makan, ada juga yang diberi tugas untuk membereskan kayu bakar yang telah dikumpulkan. Sedangkan aku, berada di bagian 'tidak melakukan apa-apa' dan tetap berada di tempat. Antara tidak membutuhkan bantuanku atau hanya akan menyusahkan yang lainnya, aku ditempatkan di bagian ini karena alasan itu.
Dimas menghampiriku setelah selesai menyusun kayu bakar di dekat perkemahan. Kemudian duduk di atas tikar, bersebelahan denganku. Merebut sebungkus keripik jagung dari Kak Indra, lalu memakannya begitu saja. Tidak lupa ia menawarkan dan menyodorkan kudapan itu ke arahku.
"Nggak usah! Aku sudah kenyang."
"Begitu? Sayang sekali! Padahal keripik ini enak sekali!" Suaranya tak terdengar begitu jelas selagi mulutnya penuh.
"Keripik yang kau bilang enak itu milikku tahu!" Kak Indra yang tak suka makanannya direbut dari tangannya, merampas kembali apa yang menjadi miliknya.
"Pelit banget, sih! Aku kan cuma minta!"
Merasa protesnya dihiraukan oleh Kak Indra, dengan berani Dimas mendengus kesal tepat di belakang punggungnya. Aku yang melihatnya tak bisa menahan suara tawaku. Menurutku cukup lucu saat Dimas merajuk seperti itu. Seperti anak kecil yang ngambek pada ibunya.
"Kenapa kau tertawa?" Dimas menaikan sebelah alisnya.
"Bukan apa-apa. Nggak boleh, ya?" jawabku sembari tersenyum tipis. Lelaki itu terdiam selagi menatapku dengan dalam. Seakan ada sesuatu di wajahku yang menarik perhatiannya. Dia juga tidak berkata apa pun padaku. Lama-lama aku merasa sedikit risih karenanya. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?"
"Aku sudah sering menghabiskan waktu bersamamu, tapi biar kukatakan kali ini."
"Apa yang ingin dia katakan?" tanyaku dalam hati.
"Wajahmu sebenarnya cukup cantik, tahu," ucapnya dengan wajah serius. "Aku yakin kalau kau mencoba berdandan layaknya perempuan, akan banyak laki-laki yang tertarik padamu."
"A-Apa-apaan sih kau ini!? Jadi maksudmu aku yang sekarang seperti laki-laki, begitu!?" protesku dengan keras. Aku memukul-mukul lengannya yang berada di sampingku.
Suara tawa yang kencang lepas dari mulutnya. "Santai saja! Aku hanya bercanda. Melihatmu yang marah seperti itu lucu sekali. Aku benar-benar tak bisa berhenti tertawa. Lucu banget!"
Dimas yang tertawa terpingkal-pingkal menjadi pusat perhatian orang lain. Untungnya, percakapan tadi hanya di antara kami berdua. Kalau tersebar luas pasti aku akan sangat malu. Mungkin aku akan mengikuti tindakan Kak Indra sebelumnya, mengejar dan berusaha memukul orang yang ada di sampingku ini.
Dimas Permana, pria ini benar-benar seorang penggoda wanita. Aku mungkin akan jatuh hati padanya bila ia hanya memberitahuku kalimat pertamanya saja. Dia benar-benar tidak adil! Lelaki itu kira dia bisa dengan bebas merayu wanita hanya dengan memiliki wajah tampan?
Untung saja ia selalu menambahkan kata-kata sindiran atau ejekan setiap kali menggodaku. Sehingga aku tidak terjerumus ke dalam godaannya. Sesekali aku merasa bila Dimas melakukan hal itu untuk menjaga hubungan persahabatan kami yang terjalin sejak lama. Dimas mungkin tak ingin lebih jauh lagi dan segera menarik garis sebelum ia melewati batas. Di sisi lain, aku harus mengabaikannya agar tak tumbuh benih-benih cinta di antara kami berdua. Walaupun terkadang godaan dan senyum miliknya berulang kali membuatku tersipu.
Aku penasaran. Sejauh apa Dimas menggoda cewek-cewek yang ada di sekitarnya? Karena kedekatanku dengannya, aku selalu saja jadi target sasaran kecemburuan para murid perempuan di sekolah. Tidak peduli mau itu seangkatan atau kakak kelas, pasti ada saja cewek yang terang-terangan menyatakan kebenciannya padaku. Padahal aku tidak berbuat apa-apa pada mereka.
Karena hal itu pula aku terkadang dirundung oleh mereka yang cemburu padaku. Telingaku sudah tebal bila mereka cuma melemparkan kata sinis seperti 'sok cantik' atau 'cewek gatel'. Aku sengaja menghiraukan mereka, karena kupikir mereka akan bosan sendiri jika tidak kutanggapi. Namun aku salah, mereka justru melakukan kekerasan seperti mendorongku dari tangga, menjambak rambutku, atau menyiramku dengan air keran. Kendati demikian, aku tidak bisa berbuat banyak untuk melawan mereka. Aku takut mereka akan memperparah perundungan padaku.
Ketika aku sudah pasrah dan menerima semuanya dengan terpaksa, Dimas selalu datang guna membantuku keluar dari situasi sulit. Lelaki itu berdiri di depanku dan menghentikan perundungan yang mereka lakukan, bahkan mengancam akan melaporkan mereka ke guru. Para pelaku yang takut pun langsung kabur meninggalkanku.
Bagiku Dimas sudah seperti seorang superhero yang muncul di film. Aku yang tumbuh sejak kecil dengannya, mulai menggagumi sosoknya. Dulu aku menganggapnya hanya sekedar teman, tapi kini ia sudah menjadi sahabat karibku. Di masa SMA ini aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengannya entah itu bepergian bersama atau hanya sekedar bertukar kata. Meskipun aku sudah tahu nantinya akan lebih banyak orang yang cemburu padaku, aku tetap tak bisa menjauhi sahabatku.
Kendati demikian, aku pun sadar bila aku tak bisa menjadi orang yang terus dilindungi Dimas selamanya. Aku harus bisa melindungi sendiri agar aku bisa berdiri sejajar dengan sahabatku. Karena itulah aku mengikuti Dimas bergabung dengan eskul Tae Kwon Do. Selain bisa menguatkan fisikku, aku juga berharap kegiatan ini dapat menjadikan mentalku sekuat baja.
"H-Hei, bodoh!" Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh suara Dimas yang meninggi. Lelaki itu juga sampai mengguncang-guncang tubuhku demi membuyarkan lamunanku. Saat aku menoleh padanya, ekspresi terkejutnya diarahkan pada saku celanaku. "Lihat itu!"
Aku segera mengikuti arah pandangannya tertuju. Seberkas cahaya mengilap bersinar terang dari saku belakang celanaku. Begitu terangnya sampai menembus sela-sela celana. Secara refleks aku berdiri secepat mungkin. Lalu teringat bila itu adalah tempat aku menyimpan pin bintang segi enam misterius setelah berganti pakaian. Selagi mencoba mengambil benda itu dengan sangat hati-hati dan perlahan, aku merasakan tatapan semua orang yang berada di sekitar. Ini aneh. Padahal sebelumnya kukira tak ada yang bisa melihat cahaya dari pin ini selain aku seorang.
Cahaya kuning keemasan yang menyilaukan terpancar dari sela-sela genggaman tanganku. Intensitasnya terlalu besar. Pepohonan yang gelap pun tampak seperti memiliki cahaya sendiri setelah tersiram sinar itu. Bahkan api unggun yang semula adalah sumber penerangan di sini, menjadi tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pin bintang itu. Aku menutup mata dengan sebelah tangan lainnya karena pin ini terlalu membutakan penglihatanku.
"Benda apa itu, Anggi?" tanya Kak Shella yang turut menghalangi pandangannya guna tidak menatapnya secara langsung.
"Entahlah. Aku hanya memungutnya."
Seluruh orang terdiam dan terpana dengan cahaya yang terpancar dari dalam genggamanku. Aku pun demikian. Sebab benda ini bersinar lebih terang dari pada saat berada di dasar sungai.
"Aku merasakan perasaan yang buruk dari benda itu. Kurasa kau harus mengembalikannya ke tempatnya semula!"
Kecemasan muncul di raut wajah Kak Shella. Wanita itu mengigit bibir bagian bawahnya. Aku menoleh pada orang-orang yang ada di sekitarku. Meski tidak ada satu pun yang berbicara, ekspresi wajah mereka menunjukan persamaan satu suara. Begitu pula dengan Dimas. Lelaki itu mengangguk untuk menyatakan persetujuannya. Mungkin dari awal, aku memang seharusnya tak asal mengambil sembarang benda hanya karena penasaran.
Karena situasi yang agak kacau ini, aku berniat melakukan usulan Kak Shella. Kugenggam erat pin bintang itu, berniat untuk mengembalikannya ke dasar sungai. Kutangkap semua cahaya dengan tangan, meskipun masih ada yang terpancar lewat sela-sela jari.
Tiba-tiba, aku merasakan rasa yang amat sangat sakit. Telapak tangan yang kugunakan untuk menggenggam pin bintang segi enam itu terasa memanas. Sontak aku langsung membuka telapak tangan. Aku berjengit ketika mendapati pin bercahaya itu mulai masuk ke dalam tubuhku secara perlahan. Mengabaikan seisi dunia, mataku terpaku pada pemandangan yang membuatku terkejut setengah mati.
Sesaat kemudian benda itu lenyap. Meninggalkan jejak pada telapak tangan serta uap panas yang entah bagaimana terus menerus keluar dari tubuhku.
"A-Apa ini!!?" pekikku. Tak kuat menahan rasa panas yang semakin lama membakar tangan, aku berteriak. Meringis kesakitan dan menangis sejadi-jadinya sampai terjatuh ke atas tanah. Uap panas terus mengepul keluar dari lengan dan terus menyelimuti tubuhku.
"Anggi!!"
Orang pertama yang menghampiriku adalah Dimas. Dia mengambil tanganku dan mencoba menyiramnya dengan air mineral. Namun bukannya padam, rasa terbakarnya justru semakin menjadi. Bahkan rasa panasnya justru menyebar ke lengan dan tubuhku. Beberapa orang mencoba menyiram tubuhku dengan air. Namun, seakan menyiram bensin ke atas bara api, hal itu justru mempeparah rasa sakitnya. Hawa panas itu telah membakar seluruh tubuhku.
Aku terguling-guling di tanah sembari berteriak pilu. Tubuhku seakan tengah diletakkan di atas panggangan dengan api yang membara, dan perumpamaan itu pun nyaris menjadi nyata. Seluruh tubuhku memerah. Bukan seperti orang yang baru saja berjemur di pantai, namun lebih mirip dengan arang dengan bara yang masih menyala. Di beberapa bagian, kulitku yang hangus mulai retak dan terkelupas.
Rasa sakit itu dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh dan orgam dalamku. Hingga aku tidak kuat lagi untuk bergerak dan berteriak. Seluruh tubuhku mati rasa. Mataku hanya berteman dengan warna hitam. Telingaku tak lagi dapat mendengungkan suara. Bau daging hanguslah, yang terakhir kali teringat oleh hidungku.
"Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku sampai harus seperti ini?"