Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 4 - Chapter 04 "Dunia Juiller part 01"

Chapter 4 - Chapter 04 "Dunia Juiller part 01"

Gemerisik dedaunan kering diiringi tiupan angin yang semilir, menjadi suara latar di barisan pepohonan ini. Hutan saat ini diselimuti oleh kegelapan malam yang mencekam, tapi justru itulah yang dibutuhkan dalam perburuan. Sebab, banyak makhluk malam yang eksotis akan menjauh saat melihat cahaya terang.

Hanya berbekal sinar rembulan dan bintang yang menggantung di angkasa, aku memantapkan langkah menyusuri jalan kecil menuju hutan terdalam. Tempat yang kami tuju akan dipenuhi banyak marabahaya. Selain adanya hewan buas yang tidak diketahui, besar juga kemungkinan tentara Elvian akan menyambut kami.

Bagi manusia, suasana gelap seperti ini sangat menyulitkan untuk berjalan. Apalagi ditambah dengan banyaknya akar-akar pohon yang melintang di atas tanah. Jika tidak berhati-hati, pemburu berpengalaman sekali pun akan tersandung dan menakuti hewan buruan.

Namun itu tidak berlaku bagiku yang merupakan makhluk perpaduan antara manusia dan Elvian. Penglihatanku saat ini berjalan sama baiknya ketika siang hari. Kedua mata ini bisa menembus kegelapan malam yang pekat. Aku bisa tahu apa yang ada di depanku hingga beberapa puluh meter. Sehingga dapat berjalan tanpa perlu khawatir akan tersandung oleh akar pepohonan atau hal lainnya.

"Hei, Anggi! Jangan terlalu cepat!" seru Dimas.

Aku segera menoleh ke arahnya dan rekan-rekan berburuku yang lain. Mereka tertinggal jauh di belakang, mencoba mengejarku dengan hati-hati.

"Maaf! Aku terlalu bersemangat!"

"Wanita ini tampaknya lupa bila sedang berada di antara manusia. Dasar Haier-Elvian sialan!" rutuk Igresti. Pipi lelaki kurus itu semakin tirus ketika ia mengumpat.

Setelah mendapat rentetan makian lainnya, aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Kemudian menyamakan kecepatan dengan mereka. Kami terlihat seperti sekelompok tentara yang tengah mengendap-endap ke wilayah musuh. Bersembunyi dalam bayang dan menyatu dalam sunyi, jantungku sedikit berdebar karenanya.

Sedetik kemudian, ada suara gesekan semak belukar dari arah depan. Walau kecil dan nyaris tak bisa didengar manusia, telingaku masiih dapat mendengarnya walau sangat pelan. Aku memberi aba-aba untuk bersembunyi. Bersiaga dan berjaga-jaga bila itu adalah hewan buruan atau yang paling buruk, tentara patroli Elvian.

Sudah menjadi resiko pekerjaan kami bila harus bertemu dan berkonfrontasi dengan mereka. Sebab, hutan tempat kami berburu adalah wilayah Elvian. Manusia dan suku telinga panjang itu tidak memiliki hubungan baik sepanjang sejarah. Selalu saja ada gesekan yang terjadi setiap kali mereka bertemu satu sama lain. Kalau tidak salah, itu semua buntut dari peperangan besar antar kedua belah pihak yang telah terjadi beberapa ribu tahun lalu. Seharusnya dalam rentang masa yang panjang itu, kebencian sudah bisa diredam waktu. Namun sepertinya impresi saling membenci sudah mengakar dalam darah keduanya.

"Sepertinya itu hewan buruan. Bisa kau lihat apa yang ada di sebelah sana?" tunjuk Jaester pada semak-semak di depan.

Aku mengangguk. Lalu menutupi kepalaku dengan tudung dari jubah panjang yang kukenakan. Meninggalkan mereka yang bersembunyi di balik batang pohon besar. Lalu mengintip ke satu titik. Semak-semak itu bergerak-gerak dengan tidak normal. Sepertinya ini memang binatang buruan. Aku tidak menyangka akan ada manusia atau Elvian yang bersembunyi di semak serendah itu.

Mengetahui hal itu aku segera mengambil anak panah dari tempatnya, dan merenggangkan busur bak Katniss Everdeen dalam film Hunger Games. Mataku tetap terfokus pada target, dan bersiap melepaskannya tanpa ragu. Kami cukup beruntung bila mendapat domba bertanduk empat atau Unicorn, sebab hewan-hewan itu biasanya berada di dekat pemukiman Elvian. Para penadah pasar gelap dan kolektor pasti akan membayar mahal untuk tanduk dan kukunya. Mungkin dengan ini aku bisa hidup mewah untuk beberapa minggu.

Namun, sepertinya aku terpaksa untuk membuang impian itu. Yang keluar dari semak-semak bukanlah binatang buruan yang diharapkan, melainkan hanya seekor kelinci. Binatang itu berwarna putih polos, dan berbulu seperti kapas. Walau berukuran sedikit lebih besar dari kelinci biasa, hal itu tak mengurungkan niatku untuk menyentuh bulu lembutnya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat binatang seperti itu, wajar bagiku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada kelinci itu.

"Lucunya!" Aku mengendorkan busurku dan menaruh anak panah kembali ke tempatnya. Lalu mencoba mendekatinya dengan perlahan. Menyodorkan roti yang kuambil dari tas kulitku pada kelinci. Berharap ia mau mendekat agar aku bisa memanjakan jemariku pada bulu lembutnya itu. "Sini, sini! Kau mau ini?"

"Hei, telinga panjang sialan! Apa yang kau lakukan, bodoh?!" sergah Igresti. Suaranya meledak kencang tiba-tiba sehingga mengejutkanku. Mukanya pucat pasi. Begitu pula dengan Jaester—cowok yang tak sering menunjukan ekspresinya kini terkejut bukan kepalang.

"Aku hanya ingin mengelusnya saja, kok! Memangnya tidak boleh?"

"Kau pikir itu kelinci biasa? Itu adalah Kruhe!"

"Hah, apa maksudnya?"

"Binatang itu peliharaan tentara Elvian, bodoh!!" bentaknya.

Aku langsung mengembalikan pandanganku pada kelinci itu. Binatang itu bergemetar. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan suara keras bak lolongan serigala di malam purnama. Saking kencangnya suara yang dibuat, membuat telingaku—yang paling sensitif pendengarannya—kesakitan meski sudah kututup dengan tangan. Gendang telinga milikku seakan nyaris robek. Tenagaku dikuras hanya untuk menahan suaranya.

Meskipun kelinci itu sudah menghentikan lolongannya, suaranya masih terngiang di telinga dan menggoyahkan keseimbangan badan. Butuh waktu lama untuk bisa berdiri kembali. Kepalaku sedikit berputar. Namun masih bisa melihat jelas bila binatang itu tengah menggeram. Mirip seperti anjing penjaga rumah yang ingin menerjang maling. Rangkaian gigi tajam menghancurkan kesan imut dan lucu sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, telingaku menangkap suara gemerisik lainnya dari semak-semak di kejauhan. Seakan ada sesuatu, tidak, beberapa makhluk kecil mendekat dengan cepat. Suara yang dikeluarkan mereka sama persis dengan kelinci putih yang ada di depanku.

"Sial! Dia memanggil kawanannya. Ayo cepat lari!" kata Igresti yang sudah mengambil langkah seribu duluan. Sementara aku harus ditarik paksa oleh Dimas untuk meninggalkan tempat itu.

Aku berlari di antara sela-sela pepohonan yang gelap secepat mungkin. Tiga orang lainnya membiarkanku memimpin untuk menciptakan jalur pelarian. Ketika menengok sedikit ke belakang, aku menyadari keberadaan sekelompok kelinci putih yang mengejar kami. Cara bergerak mereka tidak melompat-lompat, melainkan berlari dengan keempat kaki. Dengan mulut yang penuh dengan gigi runcing, membuatnya tampak seperti singa yang tengah mengejar mangsanya.

Aku tertawa. Entah mengapa hal itu membuatku ingat dengan Discovery Channel yang sering menayangkan kehidupan di alam liar Afrika. Dulu, aku menyukai tayangan seperti itu karena merasa kagum dengan singa yang tampak perkasa. Tapi setelah menyadari keadaanku yang berada di posisi mangsa saat ini, aku takkan berkata hal yang sama.

"Makhluk apa itu sebenarnya?" tanya Dimas.

"Itu Kruhe. Binatang milik tentara Elvian yang dilatih khusus untuk melumpuhkan penyusup. Kabarnya … sekali binatang itu mengigit, mereka takkan melepaskannya sampai kau mati kehabisan darah," jawab Jaester.

"Ini semua gara-gara wanita sialan itu! Coba saja kebodohannya itu bisa ia kontrol, pasti dia takkan menyusahkan kita seperti ini!" rutuk Igresti yang tersungut. Pria yang berada di bagian paling belakang itu menghalau setiap Kruhe yang menyerang

, sambil mengeluarkan makian yang menjadi ciri khas mulutnya.

Aku tak mempedulikannya. Karena mulut kasarnya, telingaku sudah terbiasa dengan semua sumpah serapah dan hinaan yang keluar dari mulut pria sialan itu. Setelah bertemu dengannya, predikat "Mulut Racun Terbaik" kuanugerahkan padanya dari tangan Dimas.

Di antara makian serta cercaan pria busuk itu, indera pendengaranku menangkap suara lain. Meski jaraknya cukup jauh, aku sangat yakin bila suara itu berasal dari mulut seseorang, bukan lolongan hewan. Suara jejak kaki yang berat pun semakin menguatkan dugaanku.

"Sepertinya ada lagi yang mengejar kita. Mereka mengarah kemari dengan kecepatan penuh." Ucapanku membuat Igresti dan Jaester seketika tersentak.

"Sekarang tentara Elvian pun turut bermain kejar-kejaran? Sampai kapan wanita sialan itu akan menyusahkan kita?"

Aku berlari dengan sekuat tenaga. Selagi kabur dengan secepat kilat, tiga orang lainnya yang berada di bagian belakang menghalau serangan dari kelinci-kelinci putih itu. Karena itulah aku memilih jalan yang rata dan tidak berbatu agar mereka tak terjatuh selagi sibuk dengan pekerjaan mereka.

Aku pun tidak tinggal diam. Sesekali aku melepaskan anak panah pada binatang kecil yang berhasil mendekat setelah lolos dari tiga orang itu. Sangat tidak tega rasanya ketika melihat darah merah mengotori bulu putih mereka. Tapi apa lagi yang harus kulakukan untuk dapat lolos dari sini?

Beberapa saat kemudian kami keluar dari hutan bagian dalam. Suara kelompok lain yang mengejar semakin terdengar jelas dan dekat. Jantungku berdegup kencang hingga hampir keluar. Pikiranku disibukkan dengan ucapan para Elvian yang membuat rasa takutku semakin menjadi-jadi.

"Mereka ada di sana. Cepat kejar! Jangan biarkan lolos!"

"Berhenti dan ambil posisi! Persiapkan busur kalian!" ucap seseorang yang berada di belakang kami. Suaranya tampak berat dan memiliki kharisma tinggi. "Tembak!"

"Cepat berlindung di balik pohon!" teriakku dengan kencang. Berharap suaraku dapat sampai pada ketiga rekan berburuku yang disibukkan dengan Kruhe.

Sedetik setelah ucapanku, puluhan anak panah melesat secepat kilat. Meskipun kami telah bersembunyi di balik pohon, potongan kayu berujung tajam itu terus meneror tanpa henti. Karena batang pohon yang tak terlalu besar, aku bisa saja terkena walau hanya bergerak sedikit. Keringat dingin keluar dari punggungku. Rasa takut mulai merambat ke seluruh tubuh dan mematikan kakiku.

Menjadi seorang pemburu di wilayah musuh, aku sudah tahu konsekuensi yang akan kuhadapi nanti. Namun aku sama sekali tak menyangka akan seperti ini jadinya. Sedikit saja kesalahan, maka aku akan berakhir melihat jasadku sendiri terbujur kaku.

"Apa yang kita lakukan sekarang?" ujar Jaester. "Kalau begini, cepat atau lambat mereka akan menangkap kita."

"SIal! Tak adakah yang bisa kita lakukan?" rutuk Dimas yang berlindung di pohon yang sama denganku.

Wajahnya tampak gusar. Kekesalan memenuhi mukanya karena tak bisa melakukan apa pun. Sebenarnya aku bisa saja mengeluarkan teknik rahasia yang kupelajari dari seseorang di kota. Namun aku tak yakin bisa berhasil. Apalagi aku baru mempelajarinya seminggu yang lalu. Tingkat keberhasilan teknik ini kuakui sangat rendah. Sepertinya aku tak boleh coba-coba untuk hal ini.

Sesaat kemudian, hujan anak panah yang dilepaskan kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Aku bahkan merasakan beberapa di antaranya sudah diberi mantra perusak Esze. Sepertinya tentara Elvian benar-benar ingin membunuh semua penyusup yang masuk di kandang mereka sendiri. Igresti yang paling berisik di antara kami, berteriak kencang seperti seorang wanita. Bahkan aku saja tidak ingat pernah mengeluarkan teriakan semacam itu.

"Baiklah! Sepertinya aku memang harus melakukannya dari pada mati tanpa berbuat apa-apa." Dengan begitu, aku menguatkan tekad dalam hati. Lalu berteriak pada rekan-rekanku, "aku akan melakukan sesuatu, larilah secepat mungkin dalam aba-abaku!"

"Apa kau bodoh? Bagaimana kita bisa melewati hujan anak panah ini?" sahut Igresti.

"Dia benar! Yang paling penting, apa yang akan kau lakukan? Esze-mu masih belum berkembang. Jangan main terjang asal-asalan." Dimas menolak tegas ideku. Aku bisa merasakan rasa cemas dan kepedulian dari ucapannya. "Memangnya kau pikir ini film bioskop yang penuh dengan skenario?! Kelompok Elvian yang ada di belakang sungguh-sungguh ingin membunuh kita, tahu! Bukan pemain figuran yang akan berhenti saat sutradara bilang 'cut'!"

"Tenang saja! Saat ini aku merasa menjadi pemeran utama terbaik Hollywood," ucapku sembari tersenyum tipis. "Aku ingin mencoba mengeluarkan Esze-ku di sini."

"Hah, aku tidak salah dengar, kan?"

"Percayalah! Aku akan dapat Piala Oscar kali ini." Terdapat sedikit keraguan dalam sorot mata itu, juga secercah kecemasan padaku.

Namun, setelah lama bertatapan, akhirnya Dimas memberi anggukan kecil. "Baik. Kalau begitu aku serahkan mereka padamu!"

Kemudian lelaki itu memberi isyarat pada dua orang lain yang berada di pohon sebelahnya. Jaester mengerti dalam sekali kedipan, sementara Igresti terlihat kebingungan dengan wajah bodoh miliknya yang khas.

Aku menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengingat kembali saat pertama kali aku berhasil mengeluarkan teknik itu. Barang kali, aku dapat mengulang kembali kesuksesan itu guna membantu rekan-rekanku untuk kabur. Kupejamkan mataku. Napas kuatur sedemikian rupa agar terasa ringan dan santai. Hal ini ditujukan untuk memfokuskan konsentrasiku agar tak menyebar.

Lalu menarik Viglet dari dalam tas kulit yang kuikat di pinggang. Benda ini selalu kubawa jika berburu atau bepergian jauh untuk berjaga-jaga. Berbahan dasar kayu mahoni dan campuran kulit kadal laut dari negeri seberang samudera, menjadikan tongkat Esze ini terlihat kuat dan tangguh. Padahal aku tahu bila ini adalah barang tiruan yang kubeli dengan harga murah. Jadi aku tak terlalu berharap banyak dari ini.

Setelah mengirim kode dengan isyarat tubuh, ketiga rekanku langsung berlari secepat mungkin ketika intensitas hujan anak panah Elvian menurun. Mengambil kesempatan ini, aku segera melompat dari tempat persembunyianku. Kaum Elvian yang berdiri di depan tiba-tiba saja menghentikan pergerakan mereka, begitu aku mengacungkan Viglet.

"Manusia ini bisa menggunakan Esze?"

"Entahlah! Sepertinya itu cuma gertakan saja. Aku tak pernah mendengar ada manusia yang dapat menggunakannya."

Inilah yang sudah kuduga sejak tadi. Kaum Elvian itu sedikit congkak dan merendahkan kaum lain, terlebih lagi kepada manusia. Mereka pasti menganggap bila Esze hanya bisa digunakan oleh kaum mereka saja. Ini termasuk ke dalam rencana, aku akan mengejutkan mereka di saat lengah.

Seketika itu juga aku mengangkat Viglet tinggi-tinggi ke udara. Memusatkan konsentrasi pada ujung tongkat guna mengumpulkan udara dan memadatkannya. Satu detik kemudian, tanpa basa-basi aku langsung menghempaskannya ke arah kaum Elvian yang tengah terperangah.

"Vitr Bris!"

Ledakan angin langsung menerjang ke depan. Menerbangkan dedaunan kering hingga senjata dan anak panah Elvian dari tempatnya. Bahkan tentara beberapa tentara Elvian terhempas ke belakang karenanya. Teriakan kebingungan mereka menggelitik telingaku. Aku tersenyum sombong melihat mereka yang kocar-kacir karena serangan mendadakku. Pasti mereka kebingungan karena ada ras lain selain mereka yang bisa menggunakan Esze.

"Baiklah! Satu kali lagi!" pekikku.

Aku mengangkat Viglet sekali lagi. Kali ini dengan pose sedikit angkuh untuk mendramatisir keadaan. Sambil tertawa jahat seperti ibu tiri Cinderella. Namun realita tak seindah kenyataan. Ketika aku mengarahkan tongkat Esze itu ke depan, tiba-tiba saja Vigletku patah di tengah. Otomatis hal itu membatalkan Esze yang sedang kurapal. Gumpalan angin itu langsung meledak ke segala arah dan menerbangkan diriku sendiri.

"Sial! Lain kali, jangan pakai barang KW!" ucapku dengan lirih.

Tidak mempedulikan rasa sakit, aku langsung bangkit dan berlari menjauhi tempat itu. Jika terlalu lama di sana, maka kaum Elvian akan menangkapku. Untung saja senjata dan anak panah mereka sempat kuterbangkan, jadi butuh waktu bagi mereka untuk menyerangku. Lalu dengan sedikit sentuhan terakhir, aku mengeluarkan bom asap dari saku.

"Asal kalian tahu, aku bukan manusia biasa."

Suara tawa kerasku terdengar mengiringi bunyi ledakan kecil serta asap putih yang menyeruak ke segala arah. Ini adalah hal yang kupelajari dari film aksi di bioskop. 'Selalu hilangkan jejakmu dari musuh'. Meski mata kaum Elvian dapat melihat gelapnya malam, namun penglihatan mereka tidak bisa menembus kepekatan kabut.

Aku terus berlari dengan kencang tanpa mempedulikan apa yang ada di belakang. Setelah menyusuri jalan setapak, aku keluar dari hutan dan menemui rekan-rekanku yang sudah menunggu di tepi sungai. Tentu saja bukan ucapan selamat datang yang kudapat, melainkan makian Igresti dan amarah Dimas yang mencemaskanku. Aku menerimanya begitu saja. Karena kegagalan perburuan ini adalah kesalahanku.

Sambil menyebrangi Sungai Kelan—yang menjadi perbatasan wilayah antara manusia dan Elvian—aku terus termenung. Menyesali kebodohanku yang tidak bisa diobati. Namun yang paling menakutiku adalah ketika sampai di markas nanti. Bos besar pasti tidak terima dan murka dengan kegagalan konyol seperti ini. Lalu mulut besar Igresti akan menimpakan semuanya padaku.

Sempurna. Ini adalah hari terakhirku hidup.

Beberapa saat setelah menyebrangi sungai dan melewati hutan. Aku tiba di Glafelden, sebuah kota kecil yang berada di penghujung timur Kerajaan Lurivia. Kota ini berbatasan langsung dengan wilayah Kerajaan Elvian Barat dan dipisahkan oleh Sungai Kalen. Ini adalah kota tempat tinggalku sekarang.

 Aku dan kelompokku biasanya berburu di hutan wilayah Elvian. Karena di sanalah tempat hidup hewan-hewan yang bernilai jual tinggi. Aku tidak habis pikir, mengapa aku bisa mengambil pekerjaan berbahaya seperti ini. Kalau dulu, aku takkan mau menjadi pemburu seperti ini sebanyak apa pun bayarannya.

Jika dipikir kembali, semua ini adalah buntut kejadian satu tahun yang lalu. Di mana aku dan teman-teman satu klub eskulku tiba-tiba saja tertarik ke dunia lain—yang sama sekali berbeda dengan dunia asalku. Ketika itu, kami yang terdampar di tempat antah berantah bertemu dengan sekelompok pemburu. Untuk menyambung hidup di dunia ini, mau tak mau aku harus mencari pekerjaan. Menjadi bagian dari merekalah yang menjadi pilihanku.

"Serius deh … aku tak menyangka akan jadi seperti ini," keluhku sembari mengunyah kudapan ayam goreng di taman kota. "Keimutan kelinci itu benar-benar jebakan"

Aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke markas kelompok kami. Karena … yah, aku pasti akan langsung dipukuli oleh bos besar gara-gara kesalahanku. Dia benar-benar ringan tangan dan tidak pandang bulu. Lelaki bangsat itu bisa memukul perempuan tanpa mengurangi tenaganya. Kuakui dia benar-benar keras dan tegas pada bawahannya, tapi juga pria bajingan.

"Lain kali berhati-hatilah kalau berada di wilayah musuh, bodoh!" ujar Dimas. "Kita langsung kembali setelah kau menghabiskan itu. Aku nggak mau lagi membelikanmu apa pun!"

"EH, NGGAK MAU!! Aku mau cari penginapan saja! Terakhir kali bos menghukumku, pukulan pak tua bedebah itu melumpuhkan tanganku. Dan aku tak bisa makan sendiri selama seminggu, tahu?!"

"Biar kubantu menjelaskan alasannya nanti."

"Itu nggak pengaruh! Dia kan orangnya gak mau menerima alasan."

Tak mempedulikan rengekanku, lelaki itu menarik tanganku dengan paksa. Membuatku harus meninggalkan bangku panjang yang menjadi tempat keluh kesahku untuk sementara. Kekuatan dari lengan besarnya tak sebanding dengan tubuh kecil dan feminimku ini.

Orang-orang di sekitar melihat ke arah kami dan menggeleng sembari tertawa. Seakan sudah terbiasa melihatku yang menangis seperti anak kecil ketika disuruh pulang oleh ibunya. Mau kau percaya atau tidak, hal ini sudah menjadi keseharianku di dunia baru ini.

 

*Haier-Elvian : Manusia setengah peri.

*Esze : Sistem sihir yang ada di dunia ini.

*Viglet : Alat untuk mengekstrak Esze dari sirkuit Esze di dalam tubuh.

*Vitr Bris : 'Ledakan Angin' dalam bahasa Elvian.