Selama beberapa waktu, aku seperti terombang-ambing di ruangan gelap dan hampa udara. Sebuah dimensi yang asing, di mana tak ada apa pun selain ruang kosong yang dingin. Tidak ada yang bisa kulakukan di sini. Selain menunggu kemana ruangan ini 'kan membawaku.
Mengapa hal ini terjadi padaku? Apakah aku akan benar-benar mati?
Entah apa yang terlintas di benakku, mati seperti ini bukanlah hal yang buruk. Akhirnya aku bisa berhenti menyusahkan orang lain. Itu adalah pikiran di kepalaku. Tapi ... dalam hati, aku berteriak merutuk kesialan ini.
Aku masih ingin hidup. Aku ingin berguna untuk orang lain. Setidaknya aku tidak ingin mati dalam keadaan tak bisa melakukan apa-apa.
"Aku ...."
Tiba-tiba aku merasa ditarik oleh gaya gravitasi yang kuat. Entah apa yang terjadi, dimensi kosong tempatku berada menyusut dan mengecil, sebelum akhirnya hilang tanpa bekas.
Tubuhku seakan dilemparkan dari ketinggian dengan kecepatan tinggi. Hawa dingin menusuk tulangku dari segala arah. Napasku sedikit sesak karena kekurangan oksigen dan tekanan udara yang besar. Kelima inderaku mulai berfungsi. Kontrol penuh atas diriku kembali padaku. Yang pertama kali bekerja adalah telingaku yang menangkap suara gaduh. Mulanya samar, namun semakin lama semakin terdengar jelas di telingaku.
"Apa-apaan ini …?! Apa yang terjadi!?"
"Kita akan mati kalau seperti ini …!!!"
"Kenapa kita tiba-tiba ada di atas langit?!!!"
Kubuka kedua mata, dan menyadari suara yang terdengar sebelumnya adalah teriakan Dimas dan teman-teman klub eskul lainnya. Sosok mereka entah mengapa tiba-tiba muncul di sampingku. Belum sempat berpikir jelas, aku kembali dibuat terperangah. Saat mendongakkan kepala, hamparan hutan hijau nan luas terpampang di depan mata. Di sisi lain, matahari pagi super besar mengintip dari balik lengkungan langit. Meski terhalang gumpalan awan, aku sangat yakin matahari itu berukuran beberapa kali lipat dari matahari yang biasa kutahu. Kepalaku terasa berputar. Tapi itu tak membuatku tidak menyadari bila aku sedang terjatuh dari atas langit dalam keadaan terbalik.
Tunggu! Apa yang sedang terjadi?
Bila kutelusuri jejak rekam peristiwa ke belakang, semua berawal ketika aku memungut pin dari dasar sungai. Lalu benda itu tiba-tiba bersinar terang, mengeluarkan panas yang memanggang sekujur tubuhku. Setelah itu entah apa yang terjadi, aku dan beberapa orang secara ajaib bisa berada di atas langit. Akal sehatku benar-benar tak bisa menyangkutpautkan semua rentetan kejadian aneh ini.
Tapi sekarang bukan itu yang menjadi pusat perhatianku. Di bawah ada hamparan hutan yang semakin dekat. Dengan ketinggian seperti ini, siapa pun pasti akan mati begitu menghantam tanah. Ditambah aku tak memiliki sesuatu seperti parasut yang dapat memperlambat laju gravitasi.
Mendadak, ada seseorang yang mengamit lengan bajuku. Lelaki itu juga merengkuh baju orang lain dengan sebelah tangannya.
"Berpegangan padaku! Jangan lepaskan apa pun yang terjadi!"
Dimas?
Atas perintahnya, semua orang yang terjun bebas mencoba untuk saling berpegangan. Tidak semua orang langsung melakukannya. Karena ada beberapa orang yang ketakutan atau menunggu untuk diselamatkan. Pada awalnya aku terjatuh dengan tak beraturan, tapi setelah berkumpul dengan lelaki ini, arah lintasanku berbelok. Dimas melakukan manuver di atas udara, dan mengarahkannya ke sungai besar yang membelah hutan hijau.
Pada mulanya aku berpikir akan mati. Sebab meskipun jatuh ke dalam air sekalipun, tubuhku pasti hancur. Menghantam permukaan air dari ketinggian di atas awan bukanlah ide yang bagus. Tapi itu pikiranku sebelum mendapati sekujur badanku diselimuti aura putih yang bercahaya. Jujur, aku tak tahu apa fungsinya. Namun sepertinya dapat berguna untuk mengurangi resiko cedera saat terjatuh ke atas permukaan air. Tampaknya Dimas dan beberapa orang lain sudah menyadarinya, karena itulah mereka mengarahkan arah jatuh ke dalam sungai.
Setiap detik berjalan, semakin terpangkas pula jarak kami dengan aliran sungai di bawah sana. Aku bersiap-siap sembari menutup mataku. Menyiagakan posisi tubuhku tegak lurus ke bawah guna mengurangi rasa sakit akibat benturan dengan permukaan air dari ketinggian. Atau mungkin terlalu takut melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, tubuhku jatuh ke sungai dengan kencang. Sekujur badanku terasa sakit seperti diremukan dengan paksa. Hal yang paling disyukuri adalah dalamnya dasar sungai yang membuatku tidak langsung membentur dasar. Jernihnya air sungai di bawah permukaan, membuat mataku menangkap beberapa bayangan orang lain yang terjatuh ke dalam sungai. Karena tidak dapat berenang, aku mengandalkan Dimas yang lengannya kudekap erat sejak tadi.
Lelaki itu membawaku ke atas permukaan. Udara langsung masuk ke dalam paru-paruku yang sesak. Sembari memegang orang lain, ia mencoba menyeret kami ke tepian. Aliran sungai yang cukup deras menyulitkan kami untuk sampai ke seberang sana. Kepalaku berulang kali tenggelam di bawah permukaan sungai. Bahkan kami nyaris hanyut terbawa arus sebelum akhirnya tersangkut di bebatuan. Walaupun aku tak dapat berenang, aku mencoba mengepak-ngepakan tangan dan kakiku sebisanya. Berharap dapat setidaknya membantu kami sedikit menjauhi tengah sungai.
Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya kami berhasil sampai ke tepian. Aku terbatuk-batuk dan mengeluarkan air dari mulut. Kepalaku masih sedikit berpendar. Tanganku gemetaran. Aku sangat ketakutan. Sungguh aku tidak percaya dapat selamat setelah apa yang baru saja terjadi.
"Bawa kemari! Baringkan dia di sini!"
Tanpa kusadari, Dimas tengah membantu seseorang yang pingsan setelah mengeluarkannya dari air selagi aku ketakutan. Kemudian ia pergi lagi ke arah sungai untuk menolong orang lain yang hanyut. Tak hanya dia seorang, beberapa teman lain yang masih waras turut membantu. Sepertinya tindakannya telah menggerakkan hati orang-orang.
Butuh waktu tidak sebentar sampai semua orang berhasil diselamatkan. Untungnya saja tidak ada yang terluka dengan serius. Aku bersyukur ada aura putih misterius yang menyelimuti kami tadi, jika tidak mungkin tubuh kami akan tercerai berai ketika membentur permukaan air. Sebagian besar orang tampak trauma dengan apa yang baru saja dialami. Begitu pula denganku. Meringkuk di bawah pohon sembari memeluk tubuh basahku sendiri, guna meredam gemetar kedinginan serta ketakutan yang merasuk ke dalam ragaku.
Aku baru saja menyadari aura putih yang menyelimuti tubuhku di udara, menghilang setelah menyentuh air sungai. Tampaknya hal misterius itu hilang setelah menunaikan tugasnya.
"Apa semuanya selamat?" tanya Kak Indra.
"Entahlah, tapi sepertinya sudah."
"Masih ada lagi yang belum selamat," ujar Dimas yang duduk di atas tunggul kayu. Raut wajahnya dirundung kesedihan. "Anggi. Kita masih belum bisa menemukannya. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah ia tiba-tiba menghilang ke dalam kabut itu. Semoga dia baik-baik saja."
Tunggu, apa yang baru saja dia katakan? Aku memang senang ia mencemaskanku, tapi sangat tidak suka bila dilupakan. Apalagi saat aku berada tepat di sebelahnya. Tapi ada yang aneh. Bukan hanya Dimas seorang yang menunjukan wajah seperti itu. Semua orang turut menunduk pilu. Seakan menyayangkan apa yang terjadi padaku.
Aku kembali keheranan. Apa mereka juga melupakan kehadiranku?
Menguatkan keberanian, aku mengangkat tangan sehingga semua pandangan tertuju kemari. "Anu … aku di sini."
Setelah menyatakan kehadiranku, mereka justru keheranan. Saling bertukar pandang satu sama lain dengan wajah bingung. Terdiam sejenak untuk mengamatiku dengan seksama, sama seperti saat seseorang yang hendak membeli barang dengan teliti. Aku merasa sedikit tidak nyaman. Seakan ditelanjangi oleh tatapan intens dari mereka. Beberapa di antaranya tampak berbisik dengan orang di sebelahnya. Dimas menoleh ke arahku, lalu menaikan sebelah alisnya.
"Dari tadi aku penasaran. Kamu ini siapa? Aku tak mengingat ada orang sepertimu di eskul Karate. Dan juga … aku penasaran dengan ini. Maaf kalau aku tidak sopan!" Lelaki itu memandangku dengan tatapan aneh dan asing, kemudian menelan ludah.
Aku memundurkan tubuhku hingga membentur batang pohon, ketika Dimas mengulurkan tangannya ke arah kepalaku. Jarinya mendekat ke pipi, lalu menyingkap rambut panjang yang terurai hingga ke dada.
Tunggu dulu! Aku tidak pernah ingat rambutku sepanjang ini. Rambutku sering dijambak saat dirundung, jadi aku selalu memotong rambutku pendek. Maksimal aku memanjangkan rambutku hanya sampai sebahu saja.
"Astaga!" sentak Dimas saat menyentuh telingaku. Ia mengelusnya dengan lembut seperti orang tua yang memilin janggutnya. "Siapa dan apa sebenarnya kau ini. Telingamu panjang sekali!"
Kontan aku memegang kedua daun telinga sendiri. Tanganku meraba-raba dari bawah ke atas. Ada ketidaksesuaian bentuk, tekstur, dan panjang daun telinga saat ini dengan yang pernah kuingat sebelumnya. Telingaku memiliki tekstur yang lebih lembut dan elastis. Tapi yang paling menonjol adalah panjangnya yang kira-kira mencapai 20cm.
"A-Apa-apaan ini? Apa yang terjadi padaku?" pekikku dengan bergetar.
"Tenang sebentar! Pertama-tama, bisa kau sebutkan namamu? Lalu, apa kau ikut terjatuh bersama kami?" tanya Dimas sembari menyentuh bahuku yang merinding.
"Aku … Anggi. Anggi Widya Damayanti."
Semua orang saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka jelas terlihat kebingungan. Aku pun terheran karena reaksi mereka. Apa mereka sungguh-sumgguh tidak mengenalku?
"Anggi? Namamu sama persis dengan anggota kami yang ukurannya mini," tukas kapten eskul yang tengah mengeringkan bajunya di dahan pohon.
"Itu memang aku, Anggi si Cebol. Bukankah kau yang memberiku julukan itu, Kak Indra?"
Di saat semua orang terdiam keheranan, tiba-tiba Dimas langsung mengenggam bahuku dengan kencang. Aku ketakutan melihat tatapannya yang tajam. Baru kali ini dia memandangku dengan mata seperti itu. "Jangan bercanda! Aku tidak akan memaafkanmu bila kau berbohong seperti itu."
"Tapi aku memang benar-benar Anggi. Apa untungnya aku berbohong?" balasku singkat.
"Tapi kau berbeda dari Anggi yang kukenal."
"Berbeda? Maksudmu?"
Lelaki itu tergagap. Mulutnya berulang kali terbuka dan menutup, tapi tidak mengeluarkan suara. Seketika itu mataku terpaku pada dahinya yang terbuka, menunjukan dengan jelas seberkas luka jahitan sepanjang dua ruas jari. Hal itu mengingatkanku pada sesuatu.
"Luka itu," ucapku sembari menunjuk dahinya. "Kau mendapatkannya saat terjatuh dari pohon di belakang sekolah saat kita masih kelas 6 SD."
Dimas langsung tertegun. Matanya terbelalak lebar menatapku tidak percaya. Mungkin di dalam pikirannya ia heran bagaimana aku bisa mengetahui itu.
Tapi tentu saja aku tahu. Bagaimana bisa aku melupakan bukti pertemananku dengannya? Luka itu terjadi karena ia berusaha mengambil kembali tasku yang disangkutkan ke atas pohon. Saat itu aku sering dijahili oleh teman sekelas terutama laki-laki, tapi menurutku kali ini memang keterlaluan. Tidak ada yang bisa membantuku saat itu. Hari sudah sore dan letak pohon itu pun berada sedikit jauh dari sekolah. Di saat aku menangis tiada henti di bawah pohon, Dimaslah yang datang menolongku.
Ia memanjat pohon yang tinggi untuk mengembalikan tasku, walau pada akhirnya dia terjatuh karena terpeleset. Tapi ia justru tertawa dan menyuruhku untuk tidak khawatir padanya. Itulah yang membuatku berteman dengannya.
Seingatku Dimas bukanlah termasuk orang yang suka bercerita tentang masa lalu dan hal pribadi pada orang lain. Jadi aku sangat yakin, selain keluarganya, hanya akulah yang tahu mengenai asal-muasal luka di dahinya. Kalau dia masih tidak percaya setelah ini, aku bingung apa lagi yang harus kulakukan untuk membuatnya percaya. Aku tahu telingaku berubah menjadi panjang, Tapi ... kenapa ia sampai meragukan bahwa aku adalah Anggi?
Apa perubahan bentuk telingaku sebegitu hebatnya sampai-sampai ia dan yang lain tidak bisa mengenaliku?
"Memangnya kenapa sampai seperti itu, sih? Kenapa tingkah kalian aneh sekali?" tanyaku dengan tanda tanya besar.
"Bukan itu maksudku. Anggi, apa kau sadar perubahan yang terjadi pada dirimu?" balas Kak Shella dengan lirih.
"Perubahan? Oh, benar! Aku ingin tahu kenapa telingaku bisa menjadi panjang seperti ini."
"Kau tahu? Bukan hanya telingamu saja yang berubah," kata Dimas. Lalu menoleh ke arah lain. "Ada yang bisa meminjamkan aku cermin?"
Salah satu kembar identik, Vian, merogoh saku sweaternya yang basah dan mengambil cermin lipat dari dalam sana. Dimas mengambilnya dari tangan gadis itu, kemudian ia beri padaku.
Semua orang terdiam dan menungguku. Memang sedikit mengganggu, tapi aku berusaha untuk mengabaikan itu. Permukaan yang licin karena basah membuatku kesulitan membuka cermin itu. Setelah empat kali mencoba, akhirnya aku dapat membuka cermin lipat itu. Butiran-butiran air tampak menempel pada permukaan. Kuseka dengan tangan agar cermin itu dapat digunakan.
Saat itulah aku terperangah dengan apa yang terbayang di cermin. Di dalam sana, terbayang cerminan seorang gadis muda. Mata berwarna hijau permatanya tampak tegas, namun menyilaukan dan begitu memesona. Hidungnya kecil dan mancung. Wajah rupawannya disempurnakan dengan bibir tipis nan sensual yang kemerahan secara natural. Namun yang paling menarik perhatianku adalah adanya sesuatu yang mencuat dari surai panjang dan tebal milikku. Kusibakkan rambut ke belakang telinga. Seperti yang kuraba sebelumnya, daun telinga itu memang panjang dan ujungnya lancip. Bentuk yang sangat berbeda dari orang normal.
Satu hal yang kusadari, bayangan itu bukanlah orang lain, melainkan diriku sendiri. Seketika itu aku terkaget, mentalku jatuh dengan cepat.
"I-Ini aku …?" ucapku dengan gemetar.
Tak dapat dipungkiri lagi, sosok gadis muda bertelinga panjang yang ada di dalam cermin adalah aku. Seketika itu juga aku langsung mengecek tubuhku sendiri. Aku tersadar dengan keanehan-keanehan lain pada tubuhku. Kulitku yang berwarna sawo matang menjadi lebih putih mulus bak porselen layaknya gadis-gadis Asia Timur. Dengan kelembutan setara sutra dan mulus tanpa bulu. Pada bagian dada, tumbuh dua gundukan yang sebelumnya tidak kumiliki meskipun aku perempuan. Bukan hanya itu, aku juga menyadari perubahan suaraku yang lebih nyaring dan merdu.
Aku semakin bergidik ngeri setelah mendapati banyaknya perubahan pada diriku. Tidak, dari pada berubah lebih seperti berganti tubuh baru. Ketakutan menelusupi dalam hatiku yang terdalam. Aku menjatuhkan cermin. Menundukan kepala selagi mencengkram erat rambutku.
"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!"
"Tenanglah dulu! Aku tahu kau pasti terkaget. Untuk sekarang, jangan panik! Mari kita pikirkan tentang hal ini bersama-sama." Shella merangkul bahu dan mengelus belakang kepalaku, membuatku merasa sedikit lebih baik.
"Apa lagi yang perlu dipikirkan? Bukankah semua ini karena Anggi? Karena dia kita semua terperangkap kabut hitam aneh, lalu secara ajaib bisa terjatuh dari atas langit, dan terakhir … kita terdampar entah di mana!" Tiba-tiba Kak Erik berujar dengan nada ketus.
"Tunggu! Jangan simpulkan seenaknya hanya dari dugaan seperti itu! Aku yakin, pasti ada penjelasan yang logis tentang insiden ini," protes Kak Shella,
"Penjelasan apa? Ini sudah jelas! Semua tampak baik-baik saja sebelum dia membawa benda aneh itu!! Kalau—."
"Berisik! Kau bisa diam, tidak!!?" Di tengah perdebatan, Dimas tiba-tiba berteriak kencang. Suaranya mampu menggetarkan hati orang-orang dan membuat hening seketika. Lelaki itu menatap tajam pada kakak kelasnya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, hah? Kau ingin cari mati?"
Kak Erik yang perangainya tidak mau kalah, sempat hendak meluapkan emosinya. Namun segera ditahan oleh Kak Indra yang berada di sebelahnya.
"Diamlah kalian semua! Dari pada bertengkar mencari siapa yang salah, lebih baik sekarang kita pikirkan untuk keluar dari sini. Apa ada yang ponselnya masih hidup?" Kak Indra menginstruksikan semua orang untuk mengecek barang bawaan masing-masing. Banyak dari mereka yang ponselnya mati karena konslet atau hilang di dasar sungai. Hanya ada satu orang saja yang ponselnya hidup. "Apa kau dapat sinyal? Bisa kau telepon seseorang?" tanya Kak Indra pada orang itu.
"Tidak, aku tidak dapat sinyal sama sekali."
"Sebenarnya di mana kita sekarang? Hutan ini sangat berbeda dengan tempat kita berkemah," gumamnya seraya mengamati sekeliling.
Aku mengikuti pandangannya. Sesuai perkataan Kak Indra, struktur dan komposisi hutan ini berbeda jauh dengan sebelumnya. Pohon-pohon di hutan ini tumbuh sangat tinggi dan bisa mencapai puluhan meter, tidak seperti sebelumnya yang pendek-pendek. Dengan rindangnya dedaunan, membuat beberapa pohon saling membentuk kanopi bertumpuk, meneduhkan siapa pun yang berada di bawahnya.
Intensitas cahaya matahari yang jatuh ke bawah tidak terlalu banyak, karena itulah lingkungan di bawah sini cukup lembap. Lumut hijau dan rerumputan tumbuh dengan subur di batang pohon dan bebatuan. Ditambah dengan aliran sungai jernih yang lebar dan besar seperti danau.
"Sepertinya kita memang bukan berada di hutan kemah. Padahal sebelumnya sudah malam, tapi saat ini matahari justru baru mau naik," ujar Shella.
"Apa kita mengalami semacam teleportasi?" timpal Vani yang tiba-tiba mengeluarkan suaranya. "Seperti yang ada di film-film barat itu?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Yang jelas kita benar-benar berpindah tempat."
"Hei, apa kalian dengar sesuatu?"
Atas ucapan Dimas, semua orang langsung menghentikan suara. Kucoba menajamkan indera pendengaran. Dari kejauhan, suara percakapan beberapa orang terdengar jelas. Mungkin ada sekitar lima atau tujuh orang, beberapa di antaranya perempuan, dan ada sebuah suara semacam binatang yang tak kuketahui dengan pasti. Meski dapat mendengar suara mereka, aku tidak tahu apa yang dibicarakan karena terlalu jauh. Suara langkah kaki mengindikasikan gerombolan itu tengah mengarah kemari.
"Mereka datang!" seruku dengan pelan.
Dimas dan teman-teman yang lain menoleh mengikuti arah pandanganku berada. Semuanya tampak berhati-hati dan waspada. Setiap detiknya, suara perbincangan dan langkah kaki itu semakin jelas terdengar oleh telingaku. Aku menelan ludah. Takut bila nasib buruk yang terjadi sampai saat ini, masih belum berakhir.
Satu detik kemudian, beberapa orang datang dari sela-sela pepohonan yang rimbun. Mereka tersentak dan mematung ketika berpapasan dengan kami. Orang-orang itu memakai pakaian yang aneh seperti orang suku pedalaman. Dilengkapi beberapa senjata tradisional seperti panah, belati, tombak, dan semacam parang.
Tapi yang membuatku dan teman-teman lain takjub adalah keberadaan binatang yang terus meringkik. Tampak serasi dengan bulu putih tanpa nodanya, ekornya yang panjang terurai hingga menyentuh tanah. Bentuknya nyaris mirip dengan kuda. Namun yang membedakannya adalah adanya tanduk tunggal yang mencuat dari kepalanya. Entah mengapa, hewan itu mengingatkaku pada cerita fiksi yang sering muncul dalam dongeng peri, Unicorn.
Di kali berikutnya aku mengambil napas, orang-orang itu langsung dalam posisi bersiap, mengarahkan anak panahnya, sementara yang memegang belati serta tombak maju mendekat dan mengacungkan senjatanya ke arah kami. Sontak aku refleks berdiri dan berlindung di balik pohon. Sedangkan yang lain mengambil langkah mundur.
"Tenang! Kami tidak berniat macam-macam pada hutan kalian! Kami tersesat. Bisakah kalian membantu kami?" pinta Dimas yang maju ke depan sambil mengangkat kedua tangan seperti hendak menyerah.
Mereka membalas dengan tatapan dingin. Kurasa bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa daerah. Yang jelas, itu adalah bahasa yang asing di telingaku.
Namun entah mengapa … aku bisa memahami perkataan mereka.
"Apa yang dia katakan? Orang-orang ini ... kelihatan tidak seperti penduduk sekitar sini," ucap seseorang yang memegang tombak.
"Kau benar. Pakaian mereka aneh sekali!" balas seseorang yang bertubuh ceking.
"Bagaimana? Yang jelas keadaan kita bisa gawat kalau berita tentang perburuan kita sampai ke para penjaga kota.."
"Kita habisi saja mereka. Tidak akan ada yang peduli dengan berita sekumpulan mayat yang ditemukan di dalam hutan seperti ini. Aku akan mulai mengoyak wajah si tampan ini! Dari dulu, aku memang tak suka dengan bocah yang tampan." Wajah jelek si ceking itu tampak muak melihat Dimas yang kebingungan.
"Baik! Dalam hitungan ketiga." Dua orang itu mengangguk serempak tanpa mengalihkan perhatian mereka. "Satu … dua … ti—!"
"Tunggu sebentar!" Entah apa yang kupikirkan. Sesaat sebelum dua orang itu menghunuskan senjata, aku tiba-tiba saja melompat ke depan Dimas dan menahan mereka, seakan melindunginya dengan tubuhku. "Tahan senjata kalian! Kami tidak bermaksud jahat. Kami tersesat, dan ingin segera keluar dari hutan ini."
Keduanya saling menatap satu sama lain. Kemudian menoleh pada rekan-rekan yang ada di belakang. Orang-orang itu mungkin tak menyangka, akan ada salah satu di antara kami yang mengerti bahasa mereka. Aku pun demikian. Walau tahu bahasa itu sangat asing, telinga dan mulutku seperti sudah mengenalnya sejak lama. Jadi aku tak kesulitan memahami bahkan berbicara dengan bahasa mereka.
Setelah beberapa waktu, salah satu dari mereka—yang sepertinya pemimpin kelompok ini—datang ke depanku. Tubuh pria paruh baya itu besar dan berotot. Wajahnya tampak bengis, namun berwibawa. Seakan menegaskan aura kepemimpinan yang dimilikinya. Sorot matanya tajam, mampu memberi intimidasi semua lawan bicaranya. Ia menatapku beberapa lama. Kemudian tanpa basa-basi langsung menyingkap surai yang menutupi telingaku.
"Elvian! Perempuan ini ternyata Elvian!" teriak si ceking. Mereka pun tampak tercengang setelah melihatku, lebih tepatnya ke arah daun telingaku.
"Dia bukan Elvian," sergah sang pemimpin. "Rambutnya berwarna cokelat gelap, bukan cerah keemasan. Matanya hijau, bukan biru cerah. Kulitnya juga bukan kuning pucat seperti ras Elvian. Secara fisik, dia tidak berbeda jauh dengan kita para manusia."
"Lalu apa dia itu sebenarnya?"
"Haier-Elvian," ucap sang pemimpin dengan dalam. "Salah satu ras terburuk yang pernah ada."
Orang-orang itu terkejut. Menatapku lekat-lekat dengan mata yang nyaris meloncat keluar. Sementara aku terdiam di tempatku berdiri tanpa mengetahui maksudnya. Sebagai orang yang baru saja terdampar di tempat antah berantah, aku tidak memahami apa pun tentang tempat ini.
Mungkin sekarang aku hanya menganggap itu sekedar angin lewat, dan berpikir semua akan kembali ke sedia kala. Tapi ini adalah kesalahan besarku. Karena semua rentetan peristiwa aneh yang baru saja kualami, akan menuntunku ke jalan yang penuh dengan bahaya di masa depan.