BAB 105
< .... Stasiun selanjutnya, Akishima, Akishima.>
Pengumuman dari suara perempuan di kereta terdengar ketika kereta yang ditumpangi Wataru segera tiba di stasiun tujuan. Namun, lelaki tampan dan galak itu masih tertidur pulas, masih dengan posisi yang sama.
Tas Misaki dipeluk erat lebih kuat dari sebelumnya.
"Onii-chan (kakak laki-laki), Onii-chan...," bisik seorang anak laki-laki berusia kira-kira 3 tahun pada Wataru.
Anak kecil menggemaskan itu berdiri di depannya, memakai jaket merah bertudung dan sepatu kets warna putih. Telunjuk mungilnya sibuk menyodok-nyodok bahu Wataru.
Wataru bergeming, tampak begitu menikmati tidurnya.
Anak kecil itu menggembungkan pipinya, kakak laki-laki itu belum juga membuka matanya sejak ia berusaha membangunkannya beberapa detik lalu.
Kekesalan memuncak, ia menarik napas dalam dan memuntahkan suara keras tepat di depan wajah dewa bisnis itu.
"OOONIII-SAAAAAANN!!!"
Seiring Wataru terbangun oleh teriakan anak kecil itu, mimpi mengenai Misaki yang tenggelam dalam kegelapan, berteriak panik padanya menghentaknya di ujung pikiran. Begitu jelas, begitu nyata.
Perempuan itu seolah ingin memperingatinya akan sesuatu, tapi sosoknya di dalam mimpi itu semakin menjauh.
Suara Misaki yang menggema di dalam kepalanya, masih terdengar jelas di telinganya meski itu hanyalah sebuah mimpi yang aneh.
Mimpi aneh itu membuat kedua bola mata Wataru terbelalak hebat hingga tubuhnya gemetar dan disusupi hawa dingin. Keringat gelisah menuruni kedua keningnya.
Debaran jantung lelaki itu berdetak begitu cepat, membuatnya susah bernapas.
"Irieki!" teriak seorang perempuan ke arah mereka berdua. "Maaf, kan, dia! Tadi saya sedang menerima telepon penting sampai pengawasan saya menjadi lengah!"
Seorang perempuan berbaju kuning dan rok abu-abu sederhana buru-buru meraih anak kecil berjaket merah tadi.
"Mama!"
"Irieki-kun! Jangan bikin mama takut!" perempuan itu memeluk anaknya yang bernama Irieki, ekspresinya terlihat lega.
Tatapan mata Wataru berubah menjadi melankolis melihat pemandangan mengharukan itu.
Ia teringat dengan sosok ibunya sendiri.
Tiba-tiba, rasa rindu ingin untuk kembali menjadi anak kecil terlintas di benaknya, menghabiskan hari-hari sederhana mereka dengan hanya berdua saja: penuh tawa, senyum, dan canda.
Sebuah senyum sedih melengkung tipis nan samar di bibirnya. Sorot matanya berubah lemah.
Kenapa kenangan masa lalu bisa begitu menjadi sangat menyakitkan dan indah di saat yang sama? Wataru masih sulit memahami hal ini.
"Sekali lagi, maafkan, anak saya!" sang ibu menunduk meminta maaf, tangan kirinya menundukkan kepala anaknya juga
"Tidak apa-apa. Saya seharusnya berterima kasih pada Irieki-chan. Jika tidak, mungkin saya akan melewatkan stasiun tujuan."
Irieki tersenyum kecil penuh kebanggaan menatap ibunya seolah mengharapkan pujian. Sang ibu hanya merona merah dengan reaksi Wataru yang begitu ramah.
"Kalau begitu kami permisi dulu!" pamit sang ibu.
"Iya. Terima kasih, Irieki-chan! Aku sangat tertolong dengan bantuanmu," tangan Wataru mengusap-usap puncak kepalanya.
Irieki tersenyum lebar, wajah kecilnya merona puas.
"Mama! Satu kebaikan satu hari, kan? Irieki sudah berbuat baik hari ini! Makan malamnya omelet, ya!" anak kecil itu menarik-narik rok sang ibu.
"Aduh! Irieki-kun! Tapi, jangan membangunkan orang asing juga, sih!"
"Tidak apa-apa. Saya benar-benar tertolong olehnya, meski suaranya sangat keras," Wataru tertawa santai.
Sebenarnya, Wataru hendak marah, suasana hatinya begitu kacau. Apalagi mengenai mimpi tentang
Misaki yang begitu aneh dan memelitir hatinya jauh ke dasar. Namun, jika anak kecil tadi tidak berteriak padanya, mungkin perasaan hatinya akan jauh menjadi lebih buruk. Entah seperti apa kelanjutan mimpinya, lelaki itu enggan untuk memikirkannya.
Dan untungnya, kedua sosok itu mengingatkannya pada kenangan kecil indahnya bersama ibunya di masa lalu. Hatinya sedikit terasa ringan karenanya.
Dari jauh Wataru memandang kedua punggung ibu dan anak itu menuju kursi dekat pintu keluar.
Sebelah kening Wataru terangkat.
Irieki tampak berbicara dengan begitu bersikeras, ibunya hanya mengangguk cepat berkali-kali dan mengeluarkan sesuatu dari tas belanjanya.
Anak kecil itu terlihat begitu ceria, dan dengan cepat berbalik berlari ke arah Wataru.
"Untuk Onii-chan!" ujarnya, mengulurkan sebuah permen lolipop rasa stawberry.
"Untukku?" tunjuk Wataru pada dirinya sendiri, setengah heran.
"Um!" Irieki mengangguk sungguh-sungguh. "Jangan bersedih lagi, ya!" hiburnya dengan nada suara tulus, wajahnya tersenyum cerah memberi semangat.
Wajah Wataru memerah seketika, pupil matanya bergetar. Apakah anak kecil itu mampu melihat
sosoknya yang asli?
"Selamat tinggal, Onii-chan!" Irieki berlari kembali pada ibunya seraya melambaikan tangan pada Wataru yang mematung, masih dengan wajah memerah.
"Anak itu..." Wataru tersenyum menatap permen dalam genggamannya.
Kereta pun berhenti di stasiun Akishima.
Dengan perasaan hangat, lelaki itu melangkah keluar dari kereta.
Hari sudah semakin sore ketika ia tiba di Akishima.
Langkah ringannya memasuki stasiun, matanya memandang ke sekitar.
Ini adalah pertama kalinya ia memasuki stasiun itu.
Wataru melewati gerbang stasiun, tangannya menempelkan kartu pas dan setelah bunyi bip, ia berbelok ke kanan.
"Akishima..." ucapnya berbisik, napas hembuskan dengan kasar dan cepat melalui paru-parunya. Kedua bahunya mengikuti gerakan alami itu.
Lelaki itu melangkah menuju dinding kaca berlantai setengah bundaran, yang dibingkai oleh banyak bingkai besi bercat coklat persegi empat.
Pemandangan di luar disirami oleh cahaya kuning keemasan yang mulai menyentuh sebagian atap gedung.
Di bawah sana, beberapa orang terlihat baru saja keluar dari stasiun.
Pandangannya mengarah ke sebuah bus di sebelah kiri, tangan kanannya menggenggam railing dingin di depannya.
"Akishima... kota tempat tinggal Fujihara Misaki," Wataru mendengus tipis, lalu raut wajahnya menjadi kaku. "Seperti apa kira-kira keluarga si wanita hantu itu?"
Wataru berbalik dan menuruni tangga di sisi kirinya dengan langkah pelan, namun tegas dan mantap.
Tas Misaki digenggam erat di bahunya.