Chapter 103 - Ingin Menculik Misaki

"Heh? Apa ini? Kau bukan seleranya tapi ngotot mengejarnya? Tidak tahu diri sekali!" kepala Yuka dimiringkan dengan tatapan merendahkan.

"BERISIK! JIKA SAJA PEREMPUAN ITU TAK MENGGANGGU! AKU YAKIN BISA MEMBUAT WATARU TIDUR DENGANKU!"

"Mika! Jaga ucapanmu! Kau ini sadar lagi ngomong apa? Semua orang bisa mendengarmu!" tegur

Erika, menjitak puncak kepalanya.

BLETAK!

"Haduh! Sa-sakit~!" ucapnya meringis seraya memegangi kepalanya.

"Maaf, lalu ke mana kedua orang itu saat ini?"

Erika bertanya pada Tokuma yang berdiri mengamati dengan perasaan tak nyaman dengan keributan mereka bertiga.

"Maaf! Aku kurang tahu. Yang kudengar dari balik dinding saat itu, Kakak Toshio menyarankannya membawa Fujihara ke rumah sakit."

"Rumah sakit? Apa separah itu?" Yuka terlihat cemas.

"Mungkin. Sudah lama perempuan itu tak berada di apartemennya."

"Tunggu dulu! Wataru punya kakak? Kenapa ia tak pernah mengatakannya padaku?" Mika memotong percakapan mereka.

"I-iya. Yang kuingat, ya, seperti itu."

"Mika! Kau ini benar-benar mengenal Wataru, tidak, sih?" tanya Erika, prihatin.

Muka Mika memucat.

"Aku—Aku—mu-mungkin itu kakak angkatnya! Wataru, kan, sempat tinggal di panti asuhan yang sama denganku sebelum berpindah ke panti asuhan lainnya!" tubuh Mika gemetar hebat. Ia merasa dikhianati oleh Wataru yang selama ini dipercayainya.

"Kalian hanya tinggal bersama selama 6 bulan di pantai asuhan saat masih kecil, lalu bertemu secara tidak sengaja saat sedang mencarinya ke mana-mana. Kurasa, Wataru tak akan seterbuka itu padamu, Mika."

"Berisik! Wataru adalah pasangan yang sudah digariskan untukku! Aku tak peduli dengan masa lalunya, atau pun sifat buruknya! Wataru adalah Wataru! Dia tetaplah anak laki-laki berhati baik yang selalu menolongku... bahkan saat keluarga angkatku memperlakukanku dengan buruk, Wataru menolongku lepas dari ikatan mereka... Ia juga menghajar kakak angkatku yang kurang ajar itu!" ujung kalimat Mika bergetar, air matanya sedikit lagi akan pecah.

"Mika... sudah berapa kali kubilang. Wataru hanya menganggapmu sebagai adik."

"DIAM!" raung Mika galak dengan air mata meleleh di kedua pulupuk matanya, sejurus kemudian nada suaranya mengecil tertahan, "Wataru adalah milikku... harus menjadi milikku... hanya dia yang kumiliki di dunia ini...."

"Mika..." Erika menatap prihatin dan kasihan padanya.

Yuka tak bisa berkomentar lebih jauh, tapi dalam hati ia mengeluh hebat.

Dasar perempuan gila! batin Yuka tanpa ada rasa simpati sama sekali.

"Maaf, kalau boleh tahu, ke mana Toshio-san membawa Fujihara?" Yuka mengabaikan Mika yang menangis sesenggukan bak model iklan di belakangnya.

"Aku tak tahu. Lelaki itu tak bilang apa pun padaku saat aku bertanya padanya. Yang jelas, ia dibawa ke rumah sakit tertentu."

Yuka berpikir sesaat.

"Apa anda bisa mengabari saya jika Toshio-san telah kembali?"

"Tentu, jika kau tak keberatan bertukar kontak denganku."

"Y-ya, tidak masalah," sudut bibir Yuka berkedut, ia lupa jika syaratnya harus itu.

"Aku tahu diri, kok! Orang-orang mengecap aneh padaku, makanya kuingatkan terlebih dahulu."

"Saya tak pernah berkata demikian," Yuka tertawa aneh.

"Aku duluan!" Mika menghalau ponsel Yuka yang diulurkan pada Tokuma.

"Apa, sih?" koar Yuka galak, keningnya bertaut marah.

"Bocah diam saja!" ia melotot padanya, dan berkata dengan nada memerintah pada lelaki itu, "cepat masukkan kontak informasimu di ponsel ini!"

Erika yang mengawasi sedari tadi hanya bisa menggeleng-geleng pasrah seraya memegangi kepalanya.

***

"Kau yakin?" tanya si penerima telepon yang berada di ruangan gelap, sosoknya nyaris tak kelihatan tengah duduk di depan meja, namun dari siluetnya bisa dipastikan adalah seorang pria.

Pembawaannya tenang dan sangat hati-hati.

Ada beberapa kertas berserakan di atas meja tersebut yang terkena secercah cahaya matahari dari jendela kecil tinggi di dinding, tumpukan dokumen itu memuat data Misaki yang sama persis dengan yang dimiliki oleh Wataru.

"Awasi terus pergerakannya. Jangan lakukan apa pun tanpa perintahku! Aku tidak suka kekacauan seperti anak buahmu sebelumnya. Mengerti?"

ucapnya dengan nada kesal tertahan.

Telepon pun ditutup paksa oleh si pembicara di seberang sana, lalu sosok misterius ini menghubungi sebuah nomor cepat.

"Halo? Ini aku."

Si lawan bicara kali ini, memiliki nada suara yang manis, riang, dan sedikit terdengar seperti seorang remaja laki-laki.

"Tim satu sudah mengecek posisi ponselnya yang kembali aktif. Sekarang menuju kota Akishima. Sepertinya kita harus mengganti pelacaknya dengan yang lebih baru dan canggih."

"Bukan begitu. Yang memegang ponselnya saat ini adalah orang lain."

"Tidak. Tidak dicuri. Orang yang membawa pergi Misaki-san itu yang sedang menggunakannya saat ini. Kemungkinan besar ia ingin menemui anggota keluarganya."

"Saat ini aku belum tahu," ucapnya ragu, "pria itu hanyalah waka-sama kaya raya dengan kehidupan gandanya. Aku sudah menyuruh si tangan dingin untuk memantaunya. Kau sudah tahu keberadaan Misaki?"

"Kau tahu kalau waka-sama (tuan muda) tidak ingin mengawasinya seketat dulu meski sangat khawatir padanya, kan? Masih ingat kejadian di mana Misaki-san menyadari kalau ada yang mengawasinya dan tak keluar apartemen selama 2 bulan penuh? Waka-sama memarahi kita semua gara-gara perempuan itu ketakutan parah sampai jatuh sakit."

"Lalu, ke mana mereka membawanya?"

K, di Tokyo. Senin nanti, aku akan pulang untuk menghadiri rapat tahunan kita yang akan diselengarakan 3 minggu lagi. Apa perlu aku membawanya keluar diam-diam dari rumah sakit itu setibanya aku di Jepang?>

"JANGAN! APA KAU BENAR-BENAR BODOH? ITU NAMANYA PENCULIKAN!"