Pembahasan yang sia-sia belaka!
Wataru juga harus buru-buru memberi tahu kabar Misaki pada keluarganya dan segera kembali ke rumah sakit melihat perkembangan perempuan itu. Lagi pula, hanya akan buang-buang waktu saja jika menginterogasi NEET macam Tokuma.
NEET?
Aku tidak sama dengan pria aneh ini! geram Wataru dalam hati.
Senyumnya dalam sekejap terlihat mengerikan, Tokuma mundur sekali dengan kedua bahu dinaikkan.
"A-ada apa?"
"Hah... Apa masih ada hadiah yang dikirimkan hari ini?"
Ia memiringkan tubuhnya ke arah pintu depan apartemen Misaki. Kosong. Tak ada apa pun di sana.
Meski dari sudut matanya, ia sudah bisa menebaknya sedari tadi.
"A-aku sudah membereskannya! Sudah kusimpan di gudang, kok!"
Wataru menoleh padanya, mukanya berubah gelap.
"AKAN KUBAKAR! AKAN KUBAKAR SEMUANYA! JANGAN PUKUL AKU, TOSHIO-SAN!" Tokuma berdiri dengan merapatkan kedua kepalan tangannya di kedua sisi tubuhnya, kepala mendongak ke atas, mata terpejam kuat-kuat.
"Apa? Kau pikir aku ini preman?"
Dada Wataru perlahan memanas, lalu mendingin secara konstan.
Awas saja kalau aku bertemu lagi dengan anak manja sok kaya itu! Beraninya dia menyamakanku dengan pecundang macam Yamabe! pekiknya dalam hati, melihat tak suka pada perilaku menyebalkan Tokuma.
Ada rasa terhina dan direndahkan yang muncul di dalam relung hatinya setiap kali mengingat kejadian kemarin. Sayang sekali ia tak bisa mengekspos siapa dirinya yang sebenarnya dan membungkam mulut pemuda sok kaya menyebalkan itu.
"Oi, hentikan itu! Kau pikir aku ini pria macam apa, hah?" ia melemaskan otot-otot tubuhnya, melipat tangan di dada dengan kedua bahu merosot. Kepalanya dimiringkan dengan tatapan malas.
"Ma-maaf, Toshio-san!" Tokuma merapatkan kedua tangannya di atas kepala, menunduk meminta maaf.
"Lupakan! Jam berapa kiriman itu datang hari ini?"
"Eng... tidak seperti biasanya, kali ini mereka mengantarnya cukup telat. Sekitar pukul 9 atau 10."
Pikiran Wataru pagi ini sempat kacau dan hanya memikirkan masalah perasaannya yang berpusing seperti gasing, ia sampai lupa mengecek siapa pengirim hadiah beraneka rupa yang ditujukan pada Misaki.
"Kau tidak melarang mereka?"
"A-aku mana berani! Mereka ada banyak, Toshio-san! Bisa saja, kan, mereka membawa senjata!
Selama ini, tak ada orang di sekitar sini yang berani menegur mereka ketika mengantarkan hadiah-hadiah itu," mulutnya cemberut.
"Berapa jumlah mereka?"
"Eng..." Tokuma menghitung dengan menekan-nekan jari-jari kanannya menggunakan tangan kiri, matanya melirik ke kanan atas, berpikir seraya berkata sedikit ragu-ragu, "... mungkin ada sekitar 12 orang. Mereka mengendarai sebuah mobil boks dan sebuah mobil hitam cukup besar. Sepertinya mobil hitam itu adalah mobil mahal keluaran terbaru."
"Apa orang yang memerintahkannya juga ikut bersama mereka?"
Kali ini, lelaki kurus itu tampak berpikir keras dengan pose bertopang dagu, kepala ditundukkan.
"Aku sempat mengintip mereka saat hendak ingin keluar ke mini market, tapi tidak jadi begitu ada mereka. Dan salah satu dari orang berpakaian hitam itu berdiri tepat di depan pagar ini," ia menepuk-nepuk ringan pagar apartemen tepat di depat pintunya, "ia berbicara ditelepon dan menyebut-nyebut soal waka-sama.. ehm... apa lagi, ya?" keningnya bertaut.
"Waka-sama?"
"Ya, waka-sama. Sepertinya pengirimnya adalah seorang pria muda. Kalo tidak salah, ia menyebut nama keluarganya. Aduh... siapa, ya, namanya tadi? Sa-Sa... ehmm..."
"Sa?"
"SATO-SAMA!" ucapnya dengan satu telunjuk di majukan setinggi mata, seolah ia baru saja menjawab kuis siapa cepat dia dapat. Tokuma terlihat berseri-seri bangga dengan daya ingatnya.
"Sato-sama? Tunggu... S.M?"
Wataru memutar otak, nama yang agak familiar, di mana dan kapan ia pernah mendengarnya? Lelaki itu menyentuh dagunya, berusaha mengingat-ingat semua orang yang pernah ditemuinya selama ini.
"Apa hadiah-hadiah itu dari kekasih jauh Fujihara-san di luar negeri? Tak kusangka ia sekeren itu! Ah! Ada juga nama Alfred yang disebut-sebut. Alfred, kan, bukan nama umum di Jepang. Apa kekasihnya dari Inggris? Atau Amerika, ya?"
"Alfred?" Wataru tiba-tiba teringat pada seorang butler yang memitingnya seperti seorang pengutil di toko. Ah, sungguh adegan memalukan!
"Ada apa? Kau kenal?"
Wataru memproses semua potongan-potongan kejadian kemarin dan hari ini, dengan perasaan bodoh dan dongkol, ia mendengus geli tak percaya.
Brengs*k! Jadi anak manja sok kaya itu rupanya yang mengirim hadiah-hadiah ini pada Misaki? batinnya, tangan kanan dikepalkan kuat-kuat. Kedua matanya menyipit berbahaya.
"Wuah... tak kusangka perempuan horor seperti itu punya kekasih luar biasa!" Tokuma mendecak kagum.
"Dia bukan kekasihnya!" bentak Wataru tanpa sadar.
Tokume kaget dengan bentakan itu, kedua bola matanya mengecil.
"Bukan, ya? Dari mana kau tahu?"
Tenggorokannya tercekat mendengar pertanyaan itu. Misaki hanya punya dua saudari, sisanya kedua orang tuanya. Tapi, ayahnya telah meninggal dan bermarga Fujihara.
Jadi, siapakah waka-sama sok kaya bernama Sato itu? Apa hubungannya dengan Misaki? Kenapa perempuan menyebalkan itu punya banyak misteri dan kaitannya dengan banyak laki-laki yang tak
diketahuinya sama sekali? Ini membuat dada Wataru naik turun oleh rasa jengkel meluap-luap.
Perempuan macam apa sebenarnya Misaki itu? Apa benar ia adalah perempuan murahan? Hatinya sakit memikirkan prasangka buruk tanpa bukti valid itu. Dingin, tipis, dan tajam, tepat di jantungnya.
Benarkah Misaki adalah perempuan simpanan para lelaki kaya seperti ucapan isengnya?
Lalu, apa Sakura adalah induk semangnya? Mencarikan pria-pria kaya untuk dikeruk uang dan hartanya?
Tubuh Wataru gemetar memikirkan dugaan liar itu. Dadanya tiba-tiba menjadi sesak.
Gila! Dasar pelac*ur! Berapa banyak pria kaya yang telah digodanya kalau begitu? geramnya dalam hati.
Terluka, sedih, marah, kecewa, dan frustasi.
Itulah gelombang perasaan yang menyerbunya detik itu juga, seolah ada lava panas meleleh di hatinya. Semua hal-hal yang menguatkan dugaan buruknya mengenai Misaki perlahan muncul satu per satu, meski awalnya ia sempat berusaha tak memikirkannya lagi.
"Kau—baik-baik saja?" tegur Tokuma.
Wataru menegakkan kepala, raut mukanya terlihat dingin dan gelap, seolah ingin menendang siapa pun di depannya. Tokuma yang menyadari ini buru-buru masuk ke apartemennya dengan sebagian tubuhnya tetap berada di luar.
"Aku akan membakar semua hadiah-hadiah itu! Tenang saja, ok?! Aku beres-beres kamar dulu, baru turun ke bawah! Sampai jumpa, Toshio-san!" ucapnya dengan nada cepat seraya menelan ludah gugup, kemudian menutup pintunya dengan bunyi 'blam' cukup keras.
Wataru terhenyak dengan kedua bola mata membesar, terlihat bingung dengan sensasi aneh yang menangkapnya sejenak. Lalu, ia mengerutkan kening kesal melihat tingkah Tokuma yang seakan menjauhi seperti orang penyakitan.
"Oi... kenapa mukanya ketakutan begitu?! Dasar orang aneh!" umpat Wataru dengan nada rendah dan malas, matanya menyipit dengan sinar mata yang temaram dan dingin.
Lelaki itu meraih tote bag Misaki dan menyampirkannya di bahu kanan. Berbalik sejenak menatap pintu apartemen Misaki dengan pandangan kosong, lalu beranjak pergi dari tempat itu.
Kepalanya terasa berat, sedikit pening. Mungkin sebaiknya ia tak memikirkan hal-hal rumit sekarang.
Hari masih panjang, dan ia masih bisa mengurus semuanya nanti.
Yang ada pikirannya detik ini adalah menemui anggota keluarga Misaki secepat mungkin. Ia harus bergegas sebelum jam sibuk kereta menghambat rencananya.
Harusnya ia lebih rasional dan memiliki prioritas lebih baik lagi.
Bagaimana mungkin seorang dewa bisnis menjadi kacau balau gara-gara perempuan jelek dan mirip hantu tersebut?
Sama sekali bukan gayanya!
Ia yang harus menguasai Misaki, bukan sebaliknya!
***