"Percobaan bunuh diri? Di hari yang sama? Aneh sekali."
"Ya. Sangat aneh. Satunya nyaris overdosis. Satunya lagi katanya berusaha menggantung dirinya sendirinya."
"Kau tidak menekan mereka, kan? Apa selama ini kalian suka kerja lembur"
"Tentu saja tidak! Semua anggotaku tak ada niat untuk bunuh diri! Aku bisa pastikan itu! Kami Tim yang penuh energi! Meski kami sibuk, tapi tak ada tekanan yang berarti. Mereka juga adalah pekerja yang riang dan bersemangat. Apalagi anggotaku yang berniat gantung diri itu sebentar lagi akan menikah, dan undangan sudah disebar. Beberapa hari lagi pernikahannya dilaksanakan tanpa masalah, tapi tiba-tiba ia menulis surat permintaan maaf atas ketidakmampuannya dan berkata mengalami depresi. Yang satunya lagi, tak pernah mengkonsumsi obat-obatan. Laki-laki itu sangat mengkampanyekan hidup sehat. Minum alkohol saja ia tak mau."
"Aku tak tahu harus berkata apa."
"Ya. Jika itu dari pihak lawan dari kasus yang kutangani, harusnya semua orang yang terlibat di kasus ini akan jadi sasarannya, tapi ini hanya mereka yang aku tugasi mencari informasi mengenai perempuan itu."
"Apa yang sudah kau dapatkan tentangnya?."
"Tidak banyak. Tapi itu yang bikin aku curiga. Terlalu rapi dan bersih seolah ingin menutupi sesuatu. Semoga hanya perasaanku saja," erangnya cemas, lalu kembali melahap ramennya banyak-banyak dalam ritme yang cepat.
"Harusnya kau memberitahu bocah itu," Hajiro tampak tak suka mendengarnya.
Futaba yang asyik melahap ramennya, menatap Hajiro dengan mulut penuh ramen menggantung antara mulut dan mangkuknya, badannya membungkuk terlalu rendah ke meja.
"Akuh syudah memperingatinya," dan bunyi 'slurp' keras terdengar ketika ia menyeruput mienya, menyeka mulutnya dengan punggung tangan dan kembali berkata, "tapi tak mengatakan apa-apa yang khusus."
Hajiro menyipitkan mata dengan kesan menyindir.
Melihat respon negatif itu, sang detektif langsung membela diri, "Aku bilang, aku belum yakin dengan dugaanku. Bisa jadi itu dari orang-orang yang mencegah kami menyelidiki kasus obat-obatan terlarang itu."
"Setidaknya kamu bisa membuatnya lebih waspada!"
"Tenang saja! Wataru bisa bela diri, kok!" Futaba terbahak, lalu matanya melirik ke kiri dengan ekspresi aneh, "beberapa tahun lalu, sih!"
"Futaba-san!" Hajiro menggebrak meja dapur dengan kedua tangannya, memasang tampang marah dibuat-buat.
"Iya! Iya! Nanti aku akan memberitahunya jika waktunya sudah tepat dan sudah kupastikan sendiri."
"Mungkin kau perlu liburan juga. Sesekali menyegarkan otak agar tak mengambil keputusan kurang tepat adalah sebuah keharusan!"
"Haaahh? Kau meledekku, ya?" sebelah keningnya terangkat.
"Ramenmu sudah habis. Kau mau bayar tunai atau hutang lagi?"
Detektif itu tersenyum menyeringai bodoh, "aku hutang dulu. Seperti biasa!"
Hajiro memajukan mulutnya, memandangnya sinis dengan gelagat komedi.
"Ajaklah bocah itu ke sini, minta ia yang traktir dirimu sampai puas!"
"Ide yang bagus. Mungkin nanti!" Futaba terbahak keras, kemudian ia terdiam memikirkan anggota timnya yang terbaring di rumah sakit.
***
Di salah satu rumah sakit di Tokyo, waktu yang sama dengan di kedai ramen.
Seorang pria berjas dokter dan memakai masker berjalan dengan langkah yang sedikit cepat melewati koridor. Saat berpapasan dengan beberapa perawat dan pengunjung rumah sakit, ia menundukkan kepalanya sedikit seolah tak ingin wajahnya terlihat.
Pria ini berbelok ke kanan dan menuju pintu tangga darurat. Tangannya merogoh sesuatu, dan mengeluarkan sebuah ponsel. Jemarinya menekan nomor cepat di layar dan langsung terhubung pada seseorang.
"Aku sudah membereskan mereka," ucapnya secara berbisik di telepon segera setelah tak ada yang melihatnya.
"Aku yakin. Suntikan yang kuberikan pada salah satunya menghentikan kerja jantung kurang dari semenit. Yang satunya lagi mengalami masalah pernapasan setelah mesin bantu napasnya telah dimanipulasi."
"Ini obat jenis baru. Aku jamin mereka tak akan mencurigai ada yang aneh, kecuali mereka melakukan otopsi mendalam. Dokter pasti akan segera mendiagnosisnya sebagai kegagalan bernapas akibat cidera leher parah yang dideritanya atau penanganan medis yang kurang tepat."
Masker wajahnya dibuka setelah memastikan tak ada CCTV di tangga darurat itu. Ia menghirup napas panjang dengan mata mengawasi dengan hati-hati situasi di koridor bangsal melalui kaca pintu darurat secara sembunyi-sembunyi.
Dari jauh, beberapa perawat dan dokter berlari panik menuju arah datangnya sang pria penelepon tersebut.
Pria berpakaian dokter ini memiliki wajah yang sangat muda, sekitar umur dua puluhan. Rambutnya berwarna cokelat dengan raut wajah rupawan. Tubuhnya berperawakan tinggi.
"Ini salahku. Harusnya aku lebih mendidik mereka."
"Ya. Aku tahu." "Terima kasih." Raut wajahnya terlihat lega seolah baru melewati kematian meski ia memiliki pembawaan yang sangat tenang. Nadi di pelipis lelaki berpakaian dokter itu nyaris meledak. "Kau pikir gara-gara apa aku sampai harus mengirim semua orang-orang terbaikku ke luar negeri? Beruntung aku berada di Jepang selama beberapa hari ini!" "Sialan! Aku tahu!" Percakapan pun ditutup paksa, sang lelaki rupawan berambut cokelat itu memasang kembali maskernya dan bergegas menuruni tangga darurat. ***