Chapter 96 - Di Kedai Ramen

Jam makan siang, di kedai ramen tak jauh dari gedung kepolisian Tokyo Metropolis.

Detektif Futaba memasuki kedai ramen* dengan menundukkan kepalanya, tangan kanannya mendorong kain penutup pintu masuk yang menghalangi pandangan.

-----------------

*Ramen, masakan mi kuah Jepang yang berasal dari China. Orang Jepang juga menyebut ramen sebagai chuka soba (soba dari Tiongkok) atau shina soba karena soba atau o-soba dalam bahasa Jepang sering juga berarti mi. Mie yang suka dimakan oleh karakter anime terkenal, pelajar ninja yang memiliki siluman rubah dalam dirinya. Silahkan gugel gambarnya.

----------------

"Pesanan seperti biasa, ya!" teriaknya seraya duduk di bangku panjang yang menyatu dengan dapur kerja.

Suasana kedai tidak begitu ramai, hanya ada beberapa pengunjung di sudut ruangan yang kecil itu.

"Oh! Detektif-san!" sang koki ramen tersenyum cerah, di tangannya memegang penyaring ramen dan tangan satunya memegang kain lap. Pria ini memiliki perawakan tubuh cukup tinggi dan badan ideal. Ia memakai seragam koki khas restoran Jepang pada umumnya, berwarna putih dan lengkap dengan topi khasnya yang senada.

"Yo! Lama tak jumpa, Hajiro-san!" Futaba melambaikan malas tangan kanannya yang ditumpukan ke meja, setengah badannya maju ke depan.

"Kau sibuk akhir-akhir ini, ya?" Hajiro, sang koki ramen meletakkan benda-benda di tangannya ke meja dapur. Kemudian berjalan mendekat untuk menyapa sang detektif. "Sudah hampir sebulan kau tak kemari."

"Ah... ya... rumit sekali. Kepalaku sampai berdenyut memikirkannya."

"Jangan terlalu memaksakan diri. Bukankah kau punya tim yang hebat?"

"Itu..." mata Futaba melirik gelisah ke dalam isi kedai.

"Ada apa? Mukamu kelihatan pucat."

"Timku mendapat masalah. Jadi aku yang harus mengurus banyak hal."

Hajiro terlihat kaget, tapi penasaran.

"Ada apa? Atasanmu menekan kalian lagi?"

Futaba menghela napas kasar, dasinya dilonggar.

"Salah satunya. Tapi, bukan itu. Lima anggotaku terbaring di rumah sakit."

"Oh! Sepertinya gawat. Bagaimana keadaan mereka?" sang koki terhenyak mendengarnya, mukanya tiba-tiba serius.

"Sebenarnya ini agak rahasia. Kau masih ingat bocah yang selalu makan bersamaku beberapa tahun lalu?"

Hajiro terlihat berpikir, satu tangannya mengelus dagunya.

"Anak muda yang tampan dan jenius itu?"

"Ya. Namanya Wataru."

"Ada apa? Apa dia salah satu anggotamu yang masuk rumah sakit?"

"Bukan begitu. Dia malah jadi orang kaya sekarang! Dewa bisnis! Dewa binsi!" ucapnya dengan nada kesal tapi bangga.

"Benarkah? kalau begitu, bawa kemari! Suruh borong ramenku tiap hari, dong!" kedua pundaknya bergetar hebat oleh guncangan tubuhnya akibat tertawa.

"Aku juga maunya begitu, tapi keluarganya sangat keras padanya. Sungguh disayangkan," Futaba bertopang dagu, "mana ramenku?" lanjutnya dengan mata menyipit.

Hajiro tersenyum jahil, mengangguk-anggukkan kepala sebentar, kemudian beraksi menyajikan ramen untuk Futaba.

"Kalau ini kasus serius dan rahasia, serta sensitf, kali ini kau boleh tak menceritakannya padaku!" bisik Hajiro cerah selama beberapa detik di depan Futaba sebelum beranjak kembali melanjutkan kerjaannya.

"Ya. Memang rahasia. Tapi, kau sudah terbiasa dengan curhatanku. Apalagi sering memberiku saran dan ide yang sangat bagus untuk menangkap penjahat."

"Memangnya ada apa?"

"Ini berkaitan dengan kasus yang aku tangani dengan anak itu di masa lalu. Obat-obatan terlarang. Tapi, jenisnya lebih baru dan kuat. Mereka bekerja lebih terorganisir kali ini. Aku menduga ini ada kaitannya dengan jaringan internasional. Tapi, tanpa bukti aku tak bisa mengganggu departemen yang mengurus hal itu. Minta tolong FBI kenalanku saja aku tak bisa saat ini. Mereka sibuk dengan kasus lain. Rasanya jadi stres berat."

"Lalu bagaimana?" Hajiro meletakkan semangkuk ramen mengepul di depan sang detektif.

"Ahhh... aku pusing!" keluhnya seraya menatap ramennya dengan tatapan malas.

"Apa kau tak bisa minta tolong pada bocah itu?" kedua tangan Hajiro diletakkan di depan meja,

menyangga tubuhnya, kening bertaut.

"Aku ingin, tapi tak semudah itu."

"Jadi, para penjahat itu yang membuat 5 anggotamu masuk rumah sakit?"

"Bukan."

"Hah? Lalu?"

"Ini berhubungan dengan permintaan Wataru padaku."

"Permintaan?"

Futaba tampak gelisah, ia mengernyitkan kening.

"Aku masih belum yakin, tapi sepertinya ia sedang terlibat dengan perempuan tak biasa."

Hajiro terbahak keras mendengarnya.

"Orang kaya memang begitu, kan? Suka terlibat dengan perempuan dan bahaya."

"Kau tidak mengerti maksudku, Hajiro-san," nada suaranya mengendur.

"Oh, lalu?" Hajiro memperbaiki posisinya, melipat tangan di dada. Siap menyimak dengan segala perhatian penuh.

Futaba memakan ramennya dengan kasar meski agak kepanasan.

"Perempuan itu sepertinya bukan orang biasa."

"Bukan orang biasa?"

"Ya," Futaba menghirup kuah ramen dari mangkuknya, lalu meletakkan ke meja dengan nada 'buk' pelan, "kau, kan, tahu kalau Wataru sudah berjasa besar padaku selama ini. Jadi, tentu saja aku tak bisa mengabaikan permintaannya. Apalagi kalau hanya sekedar mencari informasi mengenai seorang perempuan saja. Itu sangat mudah."

"Maksudmu, perempuan itu seorang kriminal?"

"Aku belum memastikannya. Ada yang aneh dengan profilnya."

"Wataru-san sudah tahu hal ini?"

Sang detektif menelan ludah gugup, ia menggeleng pelan.

"Kenapa kau tak memberitahunya?"

"Aku tak bisa mengatakannya sebelum memastikan hal itu. Lagi pula, Wataru adalah anak yang pintar. Lambat laun pasti akan disadarinya juga."

"Apa perempuan itu kekasihnya? Bagaimana kalau dia itu orang jahat?"

"Entahlah. Aku tanya padanya, katanya dia tak punya hubungan apa-apa. Dan penampilan perempuan itu seperti Sadako saat ini walau dulunya sangat cantik dan manis. Kuharap ia benar-benar tak ada hubungan khusus dengannya. Aneh sekali ada perempuan cantik tapi malah suka berdandan seperti hantu."

"Hah?"

"Seperti cerita komik, kan?" Futaba terkekeh geli.

Hajiro mengangguk pelan dan serius, mulut dimajukan.

"Lalu, apa kaitan semua ini dengan kasusmu itu?"

"Karena aku sibuk melakukan investigasi di tempat lain, aku pun memerintahkan satu anggotaku untuk memeriksa lengkap profil keluarga perempuan itu. Baru berjalan 3 hari, ia ditemukan sekarat di gang sempit tak jauh dari rumah keluarga tersebut."

"Apa? Kau serius? Atau itu hanya kebetulan semata?"

"Aku juga sempat berpikir demikian. Tapi, setelah aku memerintahkan dua anggotaku untuk menggantikannya, 4 hari kemudian mereka mengalami kecelakaan misterius."

"Ah... begitu..."

"Aku, kan, juga sedang menyelidiki kasus lain, jadi kupikir mungkin ini ada kaitannya dengan mereka. Tapi, anehnya, esoknya setelah kecelakaan itu dua anggota non-lapangan pun yang aku perintahkan guna menyelidiki perempuan itu ikut menjadi sasarannya."

"Bagaimana dengan mereka?"

"Mereka ditemukan hampir meninggal dengan upaya percobaan bunuh diri di hari yang sama."