Tiga malam berlalu sejak aksi tak pantasnya pada Misaki, lelaki itu sibuk merenungi perbuatannya dengan wajah merah padam tiap kali adegan itu berputar cepat di kepalanya.
Apa yang kulakukan, sih? Sial! Benar-benar tidak bermoral! batinnya dengan perasaan berkecamuk.
Wataru berjalan pelan di trotoar dengan pembawaan malas, kedua tangan berada di dalam saku jaket merahnya. Ia mengenakan dalaman kaos putih polos dan dipadankan dengan celana jeans biru gelap sobek-sobek.
Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal silih berganti.
Akhir-akhir ini, seluruh beban yang dirasakannya semenjak kecil seolah mengedor untuk mendobrak keluar dari dalam dadanya, seolah berteriak ingin berontak melepaskan diri. Bahkan kebiasaan buruk yang dijalaninya sebagai pelarian dan pelampiasan pun juga tak mempan menenangkan kegelisahan yang dialaminya.
Suasana hatinya saat ini lebih buruk ketimbang saat Misaki menghilang entah kemana setelah acara reuni.
Sudah hampir dua minggu, kenapa ia belum sadar juga? Apa benar ini terjadi gara-gara aku? renungnya dalam hati dengan perasaan bingung.
Mempermainkan perempuan berponi rata itu membuat hatinya merasa puas dengan rasa yang sulit dimengertinya, lebih puas daripada bermain dengan perempuan acak atau pun ke klub malam langganannya.
Rasa frustasinya atas ketidaksadaran Misaki bahkan dilampiaskan pada orang asing di internet yang memiliki nama serupa dengan lelaki yang disebut-sebut olehnya.
Ishida....
Ishida....
Ishida....
Keningnya berkedut kesal mengingat satu nama itu di dalam kepalanya, matanya terpejam kuat seolah dengan begitu ia mampu melenyapkan siapa pun lelaki bernama Ishida di dunia ini.
Menyebalkan! umpatnya dalam hati.
Ketika kakinya hendak menyebrang jalan, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
Wataru yang sibuk dengan pikirannya, sama sekali tak memperhatikan keadaan sekitarnya. Ia ingin cepat-cepat sampai ke apartemen dan mengutak-atik isi ponsel perempuan itu. Selain keluarganya, bisa jadi ia melewatkan nama Ishida di daftar kontak teleponnya itu. Disamarkan, misalnya? Apa dia 'klien' pentingnya? Atau pria istimewa baginya?
Di saat hatinya yang panas tengah bertanya-tanya apa hubungan Misaki dengan lelaki bernama Ishida, Wataru baru tersadar sebuah mobil nyaris saja menghantam tubuhnya. Bunyi rem mendadak membuat pikirannya buyar, kepalanya dipalingkan ke arah mobil limusin hitam super mewah dan elegan. Lalu, matanya melirik ke arah bawah. Nyaris! Nyaris saja ia terpental jauh oleh tubrukan mobil itu! Ia menelan ludah berat, raut wajahnya berapi.
Semua orang yang berada di dekat tempat itu terkejut menahan napas. Mereka hendak menghampiri Wataru, tapi diurungkan ketika Wataru dengan ekspresi menakutkan segera melayangkan kakinya ke arah mobil.
DUAK!
"Apa kau tak bisa mengendarai mobil dengan benar! Mentang-mentang orang kaya!"
Wataru menendang bagian depan mobil tersebut hingga tampak lecet.
"Hei! Dasar preman barbar! Beraninya kau menendang mobil mahal ini! Apa kau tahu berapa harga mobil ini, hah? Lagipula kau yang salah! Menyebrang jalan malah melamun!" sopir mobil itu yang mengenakan seragam mirip butler lengkap dengan sarung tangan putih berteriak marah dengan separuh badan keluar dari jendela mobil.
"Apa?"
Nadi di pelipis Wataru seolah ingin meledak mendengar kata 'preman barbar'. Dari segi mananya ia terlihat seperti seorang preman barbar? Dia? Dia yang seorang playboy dengan tak terhitung jumlahnya perempuan bertekuk lutut di hadapannya dikatai preman barbar?
"Dasar pengangguran! Kalau kau tak ingin mendapat masalah, segera pergi dari sini! Tuanku memang orang baik hati, tapi ia punya batas kesabaran!" teriak si sopir lagi.
"Limusin seharga 12.000.000 yen saja (sekitar 1,5 milyar rupiah) sudah sok belagu! Jangankan hanya sekedar ganti rugi limusin jelek seperti ini, aku sanggup membeli semua limusin merk termahal edisi terbatas yang hanya ada 5 unit di dunia ini! Kurang ajar!" bisik Wataru pada dirinya sendiri dengan tangan mengepal.
Hawa panas memenuhi dadanya. Perlahan, kakinya mundur menjauh dari limusin, kemudian dengan tenaga penuh ia berlari dan melompat menaiki kap mobil limusin dan mulai menginjak-nginjaknya tanpa ampun.
"HEI! KAU SUDAH GILA, YA?! TURUN DARI SANA! APA KAU INGIN MASUK PENJARA?"
Sang sopir yang keluar dengan perasaan panik dan wajah pucat berusaha meraih kaki Wataru mana saja dalam jangkauannya.
"Apa? Kau mengancamku?" sebelah keningnya naik, dan dengan satu lompatan Wataru menaiki atap mobil limusin tersebut. "OI! TUAN SOK KAYA! KELUAR KAU! BERANI-BERANINYA BERSIKAP TENANG SETELAH HAMPIR MEMBUNUH ORANG DENGAN MOBIL MAHALMU INI?! CEPAT MINTA MAAF!"
Wataru menghentak-hentakkan kakinya bergantian di atap mobil tersebut, memancing sang pemilik mobil limusin hitam agar keluar.
Duk!
Duk!
Duk!
"Waka-sama (waka: tuan muda, sama: gelar kehormatan), apa yang harus kita lakukan?" tanya sang butler yang duduk tenang di kursi depan, matanya melirik kaca spion depan.
"Abaikan saja, Alfred-san. Orang yang tidak berkelas memang seperti itu. Menyedihkan. Mobil ini juga tak akan rusak oleh hentakan kaki lemah seperti itu."
Lelaki muda bersuara manis yang duduk di kursi penumpang terlihat santai dan nyaman. Rambutnya pendek abu-abu dengan wajah tipe ikemen lembut nan polos tak berdosa. Ia memakai setelan jas lengkap serba biru tua dengan dasi merah yang elegan. Di pangkuannya terdapat majalah bisnis dengan cover dirinya yang tersenyum penuh kebanggaan. Sebuah tulisan terpampang dengan besar dan terang di bawahnya:
[Sato Mamoru, pebisnis muda berbakat dengan senyuman bak pangeran yang memikat hati, penuh pesona, dan menawan]
"Apa perlu kita lapor polisi?"