Chapter 85 - Hati Yang Penuh Luka

Di rumah sakit.

Wataru menjalankan jari-jarinya di atas keyboard laptop. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang dan celana jeans hitam, masih berkutat dengan ketikannya beberapa hari lalu, sesekali ia mengerutkan kening, lalu menghapus beberapa kalimat dan mengetik ulang.

Beberapa saat kemudian ia terdiam menatap ketikan di layar.

[Pihak B dengan ini menyatakan bahwa akan mengenyampingkan seluruh hak moralnya atas kontrak yang disetujui (termasuk hak untuk berkeberatan atas perlakuan yang merendahkan) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali hak untuk dikenal sebagai partner pihak A.]

Wataru tersenyum licik dengan mata berkilat dengan pasal mengikat itu, lalu matanya bergerak ke bawah dan senyumnya menjadi suram.

[Apabila pihak A jatuh cinta pada seorang perempuan yang bukan pihak B selama kontrak masih berlangsung dan memperlakukan pihak B secara tidak manusiawi dan secara tidak wajar berhutang atas imbalan yang harus dilakukan meski telah diberikan peringatan tertulis dari pihak B, maka dengan ini pihak B memiliki hak untuk mengakhiri perjanjian ini setelah 90 hari dari pemberitahuan tertulis sebelumnya kepada pihak A.]

Wataru sekilas terlihat sedih dan cahaya seolah padam dari kedua bola matanya saat menatap kata 'jatuh cinta', ia menutup laptop dengan perasaan enggan yang berat. Matanya dipijat-pijat karena kelelahan seminggu mengetik tanpa henti. Punggung disandarkan di sofa dengan hembusan napas kasar.

"Misaki..." ucapnya setengah berbisik, kepalanya bertumpu di sofa, menengadah ke langit-langit kamar ruang perawatan.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan perih.

Wataru kembali teringat dengan perkataan Misaki sebelum jatuh pingsan. Ishida? Siapa orang itu? Kepalanya ditegakkan ke arah Misaki yang terbaring di depannya, diam membisu.

"Ishida..." ucap Wataru pelan.

Pikirannya belum sempat menjelajah lebih jauh karena getaran ponselnya membuat fokusnya seketika buyar.

"Halo?"

"Futaba-san?"

Wataru diam sesaat, helaan napasnya berat dan kasar, mata dipejamkan kuat-kuat. Harusnya ia tahu ada batas tertentu mendapatkan informasi dari pihak lain. Mungkin sebaiknya ia yang turun tangan langsung menghubungi keluarga Misaki. Ini sudah lebih seminggu, keluarga macam apa mereka tak mencari tahu kabar putrinya? Apa mereka begitu masa bodohnya pada Misaki dan hanya menganggap Misaki sebagai ATM berjalan? Pikiran buruk mulai mengisi kepalanya, dadanya terasa panas.

"Ah, ya? Maaf."

Mendengar ini, Wataru terlihat tak nyaman, "apa maksudmu, Futaba-san?"

Futaba terdengar menghela napas panjang dan lelah di ujung telepon.

Lagi-lagi Wataru hanya terdiam, tak langsung menjawab. Semua energinya yang dipakai selama ini seolah lenyap secara misterius. Bahkan ia sendiri pun tak paham. Matanya melirik pelan ke arah ranjang pasien Misaki.

Perempuan itu masih tertidur, entah apa yang dimimpikannya. Ia ingin sekali mengintip ke dalam otaknya. Apakah ayahnya? Ataukah lelaki yang bernama Ishida? Ataukah Ishikawa? Hatinya kini menjadi rumit berpilin, seakan-akan ada paku es menancap di sana.

Shiori hanya bisa geleng-geleng kepala setiap kali dimintai penjelasan mengenai kondisi Misaki. Wataru pun hanya bisa pasrah menunggu sampai perempuan itu terbangun sendiri, karena meskipun ia telah meminta bantuan dokter kenalannya yang paling terkenal dari amerika pun, jawabannya tetap saja sama. Mungkin jika ia bertemu keluarganya, Misaki bisa segera sadar, tapi setiap kali ia menghubungi telepon rumah keluarganya, selalu tak pernah terhubung. Apakah teleponnya rusak? Atau mereka terlalu miskin untuk memiliki telepon rumah? Futaba juga tak bisa menemukan satu pun nomor pribadi anggota keluarganya. Ini menimbulkan pertanyaan lain di benaknya.

"Terima kasih atas bantuannya, Futaba-san."

Wataru tersenyum kecil.

"Tidak apa-apa. Ini sudah sangat membantu."

Saat memandang ponsel cadangannya yang rusak tak jauh dari kacamata anti radiasinya, sebuah pikiran mengejutkannya secara tiba-tiba hingga memasang ekspresi aneh dengan mata menyipit, kedua bahunya lemas diiringi helaan napas panjang.

"Ah... sepertinya aku melewatkan sesuatu. Astaga... kenapa aku sebegini cerobohnya?" ia menundukkan kepala seperti orang yang bersalah.

"Perempuan itu punya ponsel, dan aku pernah melihat daftar kontaknya."

"Iya. Aku benar-benar lupa," Wataru tersenyum kecut.

Selama Misaki dirawat di rumah sakit, ia nyaris tak bisa memikirkan apa pun. Semua pekerjaannya juga terbengkalai sampai asisten kantornya protes dengan lenyapnya Wataru secara misterius dan sulit dihubungi.

Semenjak mendapat file mengenai Misaki, ia tak pernah kembali ke apartemennya dan ditinggalkan begitu saja tanpa membereskan isinya.

"Baiklah. Terima kasih."

"Sampai jumpa...."

Wataru meletakkan ponselnya ke atas meja, merebahkan punggung di sofa dengan satu lengan menutupi kedua matanya, bergumam setengah menggerutu pada dirinya sendiri, "kenapa aku sampai lupa dia punya ponsel? Apa otakku sudah korslet dengan semua rencana itu?" ia diam sesaat, lalu kembali bergumam dengan nada setengah geli dan merasa konyol, "... ponsel... aku bahkan tak ingat dia punya ponsel... ke mana otakku yang jenius?" ia tertawa mengejek dirinya sendiri, terdengar pilu, "Wataru itu sudah mati bertahun-tahun lalu... Jenius... Omong kosong... Wataru yang sekarang hanyalah pria yang penuh dendam dan amarah..."

Hening.

Ia mengangkat lengannya sedikit, melirik ke arah Misaki untuk kesekian kalinya.

Tanpa disadarinya, lelaki itu perlahan bangkit dari sofa, berjalan dengan perasaan gamang dan sesak pada sosok di tempat tidur. Ia berdiri menatap cukup lama wajah Misaki, mengamati gerakan napasnya yang teratur.

Wataru mendekatkan tubuhnya dengan gerakan pelan dan lembut, menyampirkan anak-anak rambut yang menutupi sebagian wajah Misaki, punggung jemarinya mengelus sejenak pipinya hingga dadanya terasa nyaris meluap-luap oleh perasaan yang diyakininya tak akan pernah didapatkannya lagi.

"Terlambat... semuanya terlambat... aku tak bisa kembali seperti yang dulu..."

Seutas air mata menetes pelan di pipi kiri Wataru.

Lelaki itu merendahkan kepalanya lalu mengecup lembut kening Misaki dengan sepenuh hati, ada rasa menusuk di jantungnya hingga terasa sulit untuk bernapas.

"Terlambat... aku sudah rusak, Misaki... pria kotor yang menjijikkan..." bisiknya pilu dengan bibir masih melekat pada kening sang wanita, tangannya yang dingin dan gemetar mengelus puncak kepala Misaki dengan begitu hati-hati.

"Andai saja kita bertemu lebih cepat..."

Wataru melepas kecupannya, mengamati setiap inci wajah perempuan itu.

"Maafkan atas keegoisanku ini..."

Dan ia pun melekatkan bibirnya pada bibir Misaki, menutup mata menikmati semua perasaan hangat dan menenangkan yang menyerbu hati dan pikirannya.

Kedua tangan lelaki itu gemetar hebat, dan berusaha dihilangkan dengan mengepalkannya sekuat tenaga, walau itu berakhir sia-sia belaka.

"Maaf karena aku memasuki hidupmu... Tapi aku tak bisa melepasmu begitu saja... kau terlalu indah sampai aku ingin menghancurkanmu..."

Lagi, Wataru mendaratkan ciuman pada bibir Misaki.

Matanya dipejamkan kuat-kuat hingga air matanya menetes mengenai pipi sang wanita.

Tanpa Wataru sadari, jemari kiri Misaki bergerak sekali.

***