Di mini market tempat Misaki bekerja, malam hari.
Yuka menghela napas panjang, wajahnya terlihat bosan.
"Oi, Yuka!" Takeda menyipitkan mata ke arah Yuka yang tertelungkup malas di atas konter, tangannya sibuk mengatur beberapa kotak biskuit pada rak jualan.
"Ini sudah hari Sabtu... sudah seminggu lebih Misaki tak masuk kerja, juga tak ada kabar. Orang-orang apartemennya pun tak ada yang tahu..." ujarnya malas.
"Memang kau tak bertanya pada mereka di sana?"
Yuka tak langsung menjawab pertanyaan itu, otaknya masih memproses semuanya. Matanya tiba-tiba membeliak lebar, badannya ditegakkan.
"Benar juga! Bukankah Si Playboy itu satu apartemen dengan Misaki? Kenapa aku lupa? Oh, My God!"
"Eh... Yuka-san, kau rada ke-Inggris-inggrisan semenjak marathon nonton drama barat sejak senin lalu. Aku tak mengerti kau lagi ngomong apa beberapa hari ini."
"Oh, no! No! Mister Takeda! This is very important!"
"Ngomongnya yang santai, dong! Kau cuma bisanya mengulang-ulang kalimat yang sama terus!"
Yuka menyipitkan mata, dan mendesis malas, "berisik! Dasar norak! Ini namanya latihan! Latihan! Practice! Practice!"
"Terserah kaulah. Asal jangan berbicara begitu pada pembeli yang datang. Nanti toko kita dianggap aneh!"
Ding!
Yuka hendak protes, tapi ia terhenti ketika mendengar bunyi detektor pintu mini market yang baru saja dipasang dua hari lalu. Seorang pria tua berpakaian butler tersenyum ke arah mereka.
"Oh! Ada yang bisa kami bantu?" Takeda tersenyum aneh, baru kali ini ia melihat seorang butler sungguhan selama ia dilahirkan di dunia, mirip seperti di drama-drama tv atau komik-komik yang telah dibacanya.
"Oh! Butler! How are you, Sir!" teriak Yuka kegirangan, ia mengulurkan tangan.
"Yuukkaa!!" Takeda yang sejak tadi mengatur barang jualan, buru-buru berjalan ke arah konter, menampik tangannya.
"Why? I. Am. Not. Wrong!" sungutnya dengan kalimat dieja, kening bertaut.
Pria butler tadi hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
Takeda tertawa, membungkuk meminta maaf sejenak kemudian berkata dengan tegas seraya menepuk-nepuk celemek kerjanya, "silahkan berbelanja Butler-san! Jika ada yang ingin ditanyakan, jangan sungkan sama sekali!"
Lagi-lagi, pria butler itu tersenyum.
"Apakah Anda ini benar-benar seorang Butler? Tidak sedang cosplay*?" Yuka tiba-tiba saja sudah berdiri di depan sang butler.
"Yukaaaa!" teriak Takeda, panik.
"Tidak apa-apa," jawab sang butler, "benar. Saya adalah seorang Butler. Nama saya Alfred. Kalian bisa panggil saya seperti itu."
"Ah! Alfred-san! Ada apa sampai seorang Butler datang berbelanja di mini market pojokan yang sepertinya akan bangkrut ini?" Yuka mengamatinya saksama dari jarak dekat, merasa aneh.
"Yuukkaa!!"
Takeda menarik kerah belakang bajunya, dan mereka berdua sempat beradu pelototan sejenak.
Sang butler tertawa santai.
"Saya datang kemari untuk membeli semua barang yang ada di toko ini, termasuk yang ada di gudang penyimpanan."
Hening.
Baik Yuka maupun Takeda seolah membatu.
Takeda tertawa aneh, dan berkata setengah tak percaya, "maaf, Alfred-san. Sepertinya telinga saya sedikit bermasalah. Mana mungkin tadi saya mendengar anda berkata mau membeli semua barang di sini termasuk yang ada di gudang. Iya, kan, Yuka-san?"
Namun, Yuka hanya tergagap saat hendak membalas pertanyaannya, matanya tak fokus saat melihat seorang pria tegas berpakaian layaknya seorang bodyguard masuk sambil membawa dua koper metalik ukuran medium.
"Anda tidak salah dengar. Tuan saya memang ingin membeli semua barang jualan yang ada di sini, termasuk isi gudangnya," kepalanya dimajukan, satu tangannya didekatkan pada mulutnya seolah berbisik pada kalimat terakhir, senyumnya begitu ringan.
"APAAAAA????"
Kedua penjaga mini market itu berteriak bersamaan, dan salah tingkah saat si pembawa koper metalik membuka semua kopernya di atas konter, isinya menampilkan setumpuk uang 10.000 yen (kira-kira sekitar kurang lebih 1,2 juta rupiah per 10.000 yen) yang sepertinya baru ditarik keluar dari bank.
"I-ini cosplay macam apa, sih? Apa kami masuk acara tv?" gagap Takeda yang kakinya mundur selangkah, belum pernah ia melihat uang sebanyak itu dalam hidupnya.
"A-a-alfred-san, anda ini Butler sungguhan, ya? Di mana tuan Anda? Apa tuan Anda itu tak salah? Ka-kami hanya mini market kecil!" tiba-tiba setelah berkata demikian, Yuka seolah mendapat sebuah teori mengerikan, wajahnya berubah pucat, "ja-jangan bilang Anda mau membeli tempat ini?"
"APAAA??? KALAU BENAR BEGITU, BAGAIMANA DENGAN NASIB KITA, YUKA!" Takeda tampak setengah terpuruk di ujung meja konter, napasnya megap-megap memikirkan hutangnya yang belum lunas-lunas sama sekali.
Sang butler tertawa lepas.
Yuka dan Takeda hanya bisa memandangnya dengan tatapan menyipit tak percaya.
"Saya berkata hanya akan membeli jualan kalian, bukan tempat ini. Tolong dihitung semua barangnya. Jika uangnya tidak cukup, maka silahkan bikin tagihannya, akan saya urus secepatnya."
"Eh? Ini serius?" Takeda mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Tentu saja. Dan jangan cemas, ini adalah uang asli. Kalian bisa segera mengeceknya satu per satu. Saya tidak buru-buru, bisa menanti kalian memeriksanya lembar demi lembar," ia tersenyum seraya menunjuk alat pemeriksa uang palsu di atas konter dengan gerakan yang begitu halus dan lembut, telapak tangannya yang memakai sarung tangan putih mengarah ke atas.
"Hei... Yuka... katakan kita tidak sedang bermimpi!"
"Berisik! Aku juga mau menanyakan hal yang sama!" ia menepis tangan Takeda yang masih memegangi kerah bajunya, "maaf, Alfred-san. Saya bukannya kurang ajar atau tidak tahu sopan santun, tapi ini sedikit aneh ada seorang Butler tiba-tiba datang ke mini market terpencil ini dan ingin memborong semua barang yang ada di sini."
"Saya memaklumi hal tersebut."
"lalu?"
"Sayangnya, saya tak bisa berbicara lebih banyak mengenai hal ini. Jika kalian tidak percaya, kalian bisa menghubungi pemilik tempat ini, biar saya yang berbicara langsung dengannya," Alfred tersenyum lebar.
"Ini serius, ya? Orang kaya macam apa, sih, yang mau memborong barang di mini market begini? Kenapa tidak ke tempat mahal dan mewah saja, sekalian? Aku senang, sih, tapi memang agak aneh kalau dipikir-pikir," Takeda menyipitkan matanya, berkacak pinggang.
"Saya serius ingin membeli semua barang di sini sesuai yang diperintahkan. Waka-sama (tuan muda dalam bahasa Jepang) sedang sibuk jadi beliau tak sempat untuk datang kemari."
"Wa-waka-sama?" Takeda tergagap, kedua bahunya lemas dengan wajah memucat.
"Sepertinya bos Butler ini adalah anak orang kaya yang sombong," komentar Yuka seraya melipat tangan di dada, sudut bibirnya berkedut.
"Hoi~!" tegur Takeda takut-takut dengan mata menyipit.
"Mohon segera dihitung semuanya. Saya harus segera memberikan kabar pada beliau," sang butler membungkuk dengan satu tangan di dada
Melihat hal ini, kedua penjaga mini market itu menjadi salah tingkah.
"Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang, ya?"
"Iya, sepertinya begitu. Tapi, lumayan, mungkin bos akan memberi kita liburan beberapa hari setelah semua barangnya ludes terjual," senyum licik Yuka terlihat jelas, "aku juga mungkin punya waktu untuk mencari kabar Misaki. Ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Misaki, ke mana, sih?" koarnya pada diri sendiri.
Alfred mengerutkan kening saat mendengarkan ucapan Yuka, tapi tak membuka mulut sedikit pun. Ia hanya memberi instruksi pada sang pembawa koper untuk menyerahkan uangnya pada Takeda yang kini mulai gemetar menerima uang sebanyak itu.
"Malam yang panjang...," yuka menghela napas berat, matanya menatap lesu pada kedua koper tersebut.
***