Tak ingin membahas masalah Misaki yang bikin kepalanya berdenyut, ia mengalihkan topik pembicaraan, "bagaimana kabar ibuku...?"
Shiori diam, tak langsung menjawabnya, tiba-tiba ia menjadi serius. "Kesehatan mentalnya mulai membaik, lebih tenang dan patuh dari sebelumnya. Ia juga sudah mulai makan teratur dan tak rewel lagi saat diberi obat."
"Oh... baguslah..." tubuhnya direpetkan seperti janin dalam kandungan, mulai menggigiti kuku ibu jarinya, pupil matanya bergetar. Ia sedikit rindu pada ibunya akhir-akhir ini, tapi tak bisa berkunjung sebelum hari yang ditentukan. Hal yang kadang membuatnya merasa kesepian dan bersalah di saat bersamaan.
"Menggunakan ibumu sebagai pengalih topik pembicaraan, sungguh langkah yang cerdik," Shiori menghela napas pelan, "aku tak tahu Fujihara seperti apa, namun aku berniat mengenalnya dengan benar, tidak sepertimu yang barbar menjadikannya budak dan bersikap sok tahu."
Shiori kembali bertanya, kali ini agak serius dari sebelumnya, "kau belum tahu, kan, dia mau apakan uang 500 juta yen itu?"
Lelaki itu tak merespon sedikit pun, diam bagaikan batu. Shiori mengernyitkan kening.
"Sikap diammu ini aku anggap sebagai jawaban iya, "bibirnya mengerucut, "walau aku sedikit berprasangka buruk padanya, tapi bisa saja ia berniat menyumbangkan uang itu untuk organisasi amal atau membantu anak yatim-piatu atau yang lain. Entahlah! Siapa yang tahu? Gunakan otakmu, dong, jangan yang 'di bawah' terus! Memang kau beneran mau jadi seperti orang yang telah menyakiti ibumu?"
"BERISIK!" raungnya murka, perkataan itu membuat sang playboy sukses berbalik, duduk tegap dengan wajah gelap, kedua tangannya mengepal di atas kedua tumitnya.
Sang kakak terkejut menahan napas, tak menyangka ia kelepasan bicara.
"Ma-maaf.... aku salah bicara," ia memalingkan wajah dengan kikuk, memasukkan ponsel ke dalam saku jas dokternya, "Wataru, kau tak perlu menghancurkan dirimu seperti ini hanya untuk melawan ayah. Semua itu hanya sia-sia belaka. Berapa kali aku harus mengingatkanmu?" ia berdiri, berjalan menuju sisi ranjang pasien, "perempuan ini, aku yakin pernah mengalami kejadian yang tak biasa. Entah hasil penyelidikanmu akurat atau tidak, tubuhnya lebih jujur mengungkapkan kebenaran yang ada. Jika kau melihat posisi bekas lukanya, mungkin kau akan sedikit lebih bijak memperlakukannya."
Sang adik terdiam, kedua bahunya dilemaskan. Sorot matanya berubah nanar pada Misaki di depan.
"Menurutmu, kapan ia akan sadar?" gumamnya lirih, seketika ia menjadi lunak.
"Entahlah. Kau bisa mengajaknya berbicara, alam bawah sadarnya pasti masih bisa mendengarmu. Oh! Apa tak ada hal aneh yang kau temukan selama berinteraksi dengannya? Semisal hal yang berhubungan dengan amnesia atau trauma atau kejadian tertentu?"
"Apa?"
"Aku curiga kondisinya ini karena psikosomatis."
"Kau mulai berkhayal lagi, Shiori?!" keningnya naik sebelah, kembali menunjukkan tanda-tanda kekesalan.
"Apalagi yang bisa menjelaskan keadaannya kalau begitu? Coba kau pikir-pikir dulu," tuntutnya.
Kening lelaki itu berkerut, berusaha keras mengingat-ngingat percakapannya dengan Misaki selama ini. Detik berikutnya ia tampak terkejut sendiri.
"Kami pernah bertengkar gara-gara aku meledeknya amnesia," ekspresi lelaki itu membesi.
"Kau meledeknya amnesia? Kenapa?"
"Tentang kontrak kami...." ia mengerang kesal, melanjutkan perkataannya dengan nada agak frustasi, "aku tak ingat secara detail. Tapi sepertinya dia sensitif mendengar istilah itu."
Ia menyandarkan punggung, pandangan risaunya mengarah ke luar balkon.
"Jangan dibutakan oleh amarah, pikiranmu tak akan pernah bisa jernih. Hasil penyelidikanmu yang berlawanan dengan apa yang ada, bisa menjadi petunjuk bagus, kan? Perempuan ini menyimpan misteri untuk dipecahkan, anggap saja sebagai latihan untuk mengasah kemampuanmu yang sudah lama mengendap."
"Wataru yang kau bahas itu sudah lama mati. Jangan mengungkitnya lagi."
Shiori mendecakkan lidah, kekesalan terbetik di dadanya. "Aku tahu betapa kau sangat ingin bekerja di kepolisian, hasrat menggebu-gebumu tak mungkin lenyap begitu saja, apalagi setelah kau dulunya bertengkar hebat dengan ayah mengenai jalan yang ingin kau tempuh itu. Jangan membohongi hati nuranimu! Kau masih mau, kan, berkeliling Jepang mengungkap kasus-kasus pelik?"
"Kau ini plin-plan juga, ya, Shiori? Semula kau tak suka aku menyelidikinya kayak penjahat, kini malah menyuruhku turun tangan sendiri! Maksudmu apa, sih?"
Shiori tertegun, nyaris salah tingkah.
"I-itu benar, tapi yang aku maksud tidak seperti itu," ia segera berdehem khidmat, menyadari kesalahannya lalu buru-buru berimprovisasi seakan terdengar cerdas dan bijak. "Walau begitu, setelah mengetahui hal ganjil yang ada padanya, apa kau tak penasaran? Mungkin saja dia beneran amnesia, kan? Bisa jadi ada kaitannya dengan bekas luka itu. Ada hal-hal yang tak bisa kau ketahui dengan cara tak beretika semacam itu, Wataru! Semua orang punya rahasianya masing-masing! Semakin gelap rahasia seseorang, semakin rapat ia akan menutupinya. Kabar baiknya, semua pasti ada celahnya, tak ada yang sempurna!"
Sang adik membisu.
"Apa kau hanya akan berpangku tangan begini? Menyia-nyiakan kemampuan detektifmu untuk selamanya?"
Lelaki itu mendengus jijik, menimpalinya dengan nada sarkastik., "pria tua itu pasti sangat bahagia sekarang, bukan? Dia mendapatkan apa yang diinginkannya, calon pewaris sah Miyamoto Group yang jenius."
Shiori memandangnya dengan berang., "meski Ayah melarangmu terjun ke dunia kepolisian, setidaknya kau masih bisa menyelidiki wanita itu secara pribadi. Ayah tak akan sembarangan menjodohkanmu dengan wanita penuh tanda tanya dan tak jelas seperti Fujihara. Jika kau tak bisa mempertahankan hal-hal yang kau inginkan di masa lalu, maka detik ini kau punya pilihan untuk melakukannya! Kau tak selemah dulu! Memang kau mau hidupmu sepenuhnya dikendalikan olehnya? Hidup hanya sekali, Wataru! Jangan siksa dirimu hanya karena keegoisan orang lain! Kau layak bahagia dengan caramu sendiri! "
"Ah.... pidato yang bagus. Kupingku sampai gatal mendengarnya. Siapa juga yang mau berjodoh dengan dia? Konyol sekali!" ia mengorek-gorek telinga kirinya dengan jari kelingking, bermasa bodoh.
Shiori menegang, amarahnya memuncak melihat tingkah adiknya yang sangat keras kepala, hampir saja ia memulai ceramah ronde keduanya, namun bunyi kenop pintu menghentikannya.
Reiko, sang kakak tertua memasuki ruangan dengan kedua tangan yang penuh: di tangan kirinya terlihat mawar merah, putih, dan ungu ditata sedemikian rupa dalam satu buket kertas cokelat berpita yang cukup besar, di tangan kanannya berupa kado dengan bungkusan yang cantik elegan.
Wanita seksi itu memakai dalaman serba putih berupa turtleneck dan celana pendek, luarannya berupa long vest wol abu-abu tanpa lengan sebatas lutut dan sebuah ikat pinggang hitam yang terlihat mahal meliliti tubuhnya yang ramping. Sebuah tas punggung kecil putih menggantung di satu bahunya.
"Ada apa ini?"
Mata Reiko menyapu keheranan keadaan di depannya—makanan penuh di atas meja, pecahan kaca meja yang masih berhamburan, dan adiknya dengan tangan yang dibalut.
Ia menatap Shiori meminta penjelasan.