"Tebak sendiri ulah siapa!" telapak tangannya mengarah pada satu-satunya adik laki-laki mereka.
"Aku baru telat sedikit saja datang, kau sudah bikin masalah lagi?" ia meletakkan bunga dan kado yang dibawanya di atas sofa malas.
"Dari siapa semua barang-barang itu?" geram sang playboy, memandang curiga bawaan kakaknya. Ingatannya tertarik kembali pada mimpi tentang bunga yang nyaris serupa dengan bunga itu.
Dadanya tiba-tiba seolah tersulut api.
"Aduh, Reiko...." Shiori menelan ludah gugup, gelisah melihat ada bunga lagi di ruangan itu.
"Ada apa, sih?" kini matanya mengarah pada buket keranjang penyok yang ada di atas lemari laci pakaian, tepat di sebelah kanannya terdapat laptop, segelas kopi yang masih penuh, dan makanan setengah basi. "Kenapa dengan bunganya? Shiori? Wataru?" tas punggungnya ditaruh begitu saja di tepian kasur ranjang pasien, memandang bingung secara bergantian pada kedua adiknya.
"Cemburu," Shiori menunjuk Misaki dengan ujung bibirnya.
"Aku tidak cemburu!" protes lelaki itu, tapi berkebalikan dengan perkataannya, ia bangkit berdiri dan berjalan menuju sofa malas, meraih kedua benda yang merusak pemandangannya, melemparnya secara kasar ke tempat sampah, lagi, persis seperti kejadian sebelumnya.
"Wa-Wataru!" pekik Reiko panik, bergegas menyelamatkan kedua benda itu dari tempat sampah.
"JANGAN BAWA-BAWA BARANG PEMBERIAN LELAKI ITU KEMARI! JIKA KAU MASIH MELAKUKANNYA, AKU AKAN MEMBAKARNYA TEPAT DI DEPAN MATAMU!"
"Ini hadiah ulang tahun pernikahan dari suamiku!" dengan sigap dan muka pucat, ia mengamankan barang-barang itu ke atas lemari kecil yang berada di sudut ruangan samping ranjang pasien.
Sementara sang playboy masih tertegun konyol menyadari kekeliruannya, Reiko berjalan secepat kilat diiringi emosi meletup-letup ke arahnya. "DASAR ADIK KURANG AJAR!" wanita itu sukses menendang tulang keringnya hingga jejingkrakan berputar-putar menahan rasa sakit luar biasa.
"KENAPA TIDAK BILANG DARI TADI, SIH?" teriaknya tak mau disalahkan, tangannya mengusap-usap cepat bagian yang ditendang Reiko, matanya berair menahan rasa nyeri menusuk tulang.
Masih kesal dengan sikap seenak jidat adiknya, Reiko kembali menendang sebelah kakinya. Belum cukup sampai di situ, wanita seksi itu menyentil dahinya keras-keras sampai tiga kali berturut-turut hingga jatuh terduduk ke lantai, lelaki itu mengerang tertahan lalu bergelung kesakitan mengusap kaki dan dahinya secara bergantian seperti dikerubungi ratusan semut merah yang marah.
Shiori menyipitkan mata, kehilangan kata-kata memandang pertengkaran kekanak-kanakan itu.
"Keterlaluan! Main ambil saja! Kau tahu berapa lama aku menunggu suamiku di bandara? Ia rela
datang jauh-jauh dari Amerika ke Jepang hanya untuk mengantarkannya secara pribadi dan harus kembali lagi ke Amerika setelahnya?! Jenius macam apa ini? Dewa bisnis macam apa ini?" Reiko belum juga puas, kali ini ia melempari adiknya dengan bantalan sofa secara membabi buta, matanya berkobar penuh amarah.
"Maaf! MAAF! ARGGGH!! AKU MINTA MAAF! REIKO! HENTIKAN! CUKUP! HENTIKAN! ARRRGGHH!!" sang dewa bisnis itu mengaok kesakitan, tapi permintaan maaf itu tak digubris sedikitpun, Reiko masih kalap melemparinya bantal sofa dengan mata berkilat-kilat, dan sang adik kelimpungan melindungi dirinya dengan kedua lengannya.
Tak ingin disudutkan terus, ia meraih bantal dalam jangkauannya, memicu aksi perang bantal seperti anak kecil umur lima tahun.
Shiori hanya bisa mendesah pelan, duduk lesu di tepian ranjang, dan kaget melihat jari-jari kanan Misaki yang bergerak-gerak. Sang dokter berbalik. Apa keributan itu juga membuatnya tak tahan? duganya dengan perasaan geli dan senang.
"Hey! Hentikan pertengkaran kalian! Dia memberikan reaksi!" dengan sigap, ia memeriksa Sadako culun itu, mengabaikan dua makhluk konyol dengan masing-masing bantal terangkat di udara, siap untuk menyerang satu sama lain.
Reiko berdiri tegap, memandang cemas ke arah Misaki.
Sang playboy membeku, mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Apakah perempuan itu benar-benar sudah sadar? Batinnya tak percaya.
"Bagaimana?" tanya Reiko.
"Uhm... Suhu tubuhnya sedikit hangat. Jari-jarinya dingin. Aku tak yakin jika memberinya obat penurun panas akan mempan padanya."
"Dia itu sakit apa, sih? Apa dia kena syndrome putri tidur*?"
"Kurasa bukan. Aku sempat mengira dia mengalami narkolepsi*, tapi, toh, pemeriksaannya baik-baik saja. Ini sepertinya memang masalah psikologis semata. Kita doakan dan awasi saja saat ini."
"Ya, ampun," keluh Reiko pendek.
Sang adik lelaki hanya termenung.
"U-ugh... a-ayah..." gumam Misaki lirih, terlihat gelisah dengan mata masih tertutup, keningnya bertaut. Detik berikutnya kembali diam.
"Fujihara? Fujihara?" Shiori kembali memeriksanya seraya memanggil-manggil namanya.
Kakak-beradik yang melakukan gencatan senjata itu menegang menahan napas, tapi Sadako mini market itu tak lagi memberikan reaksi, kembali tenang.
"Oh! Benar juga! Keluarganya!" seru Shiori, melempar pandangan pada adiknya yang mendongak telentang di lantai di depan ranjang pasien, "kau sudah menghubungi keluarganya, kan? Dia memanggil ayahnya. Ini bagus! Mungkin kehadiran keluarganya akan lebih membantu!"
"Ayahnya telah tiada, apa mungkin dia rindu gara-gara dibully terus oleh si bodoh ini?" ia melempar bantal sofa tepat ke wajah sang adik. "Oi, kau sudah menghubungi keluarganya, kan?" Reiko mengulangi pertanyaan Shiori, menyipitkan mata seraya menyodok-nyodok lutut sang adik dengan ujung lancip sepatu high heels-nya.
"SINGKIRKAN KAKIMU DARIKU!" gerungnya, ia bergegas bangkit dari lantai, membersihkan pakaiannya dari debu, dan duduk di sofa putih. Kembali mengusap-ngusap kedua tulang keringnya yang dihajar sang kakak, rasa sakit berdenyutnya masih sedikit bersarang di sana.
"Kau, kan, sudah menyelidikinya, tahu, dong alamat keluarganya?" selidik Reiko.
"Tak disangka, ya, dia secepat itu memeriksa latar belakang Fujihara, itu romantis atau menyeramkan, sih?" ucap Shiori lebih kepada dirinya sendiri, matanya melirik sejenak pada Misaki, agak khawatir pada kondisinya yang agak aneh.
"Keluarganya pasti cemas tak ada kabar darinya beberapa hari ini. Kuharap mereka tak terkejut melihat kondisi Misaki," sang kakak tertua berjalan mendekat ke sisi kiri Misaki, kedua tangan disilangkan, mengamatinya lekat-lekat.
"Reiko, apa kau tahu? Misaki berbohong pada kita. Dia berasal dari Aomori dan keluarganya tinggal di Prefektur Tokyo*."
"Norak banget, sih!" seru Shiori menyindir istilah yang digunakan sang adik.
"Terserah aku mau ngomongnya apa!" jawabnya ketus, ini ditanggapi dengan mata menyipit oleh Shiori.
"Apa? Dia bohong?" Reiko tak peduli soal istilah yang dipermasalahkan, ia mengerutkan kening menatap Misaki, merasa dikhianati.
"Wataru, bukankah itu petunjuk lain. Kau masih tak mau menyelidiki sendiri misteri perempuan ini?" Shiori duduk di kursi kayu, "ada yang tak beres. Instingmu harusnya sudah berbunyi, kan? Kau bilang dia hanya budak, tapi apa kau rela jika ayah menyingkirkan dia seperti yang ia lakukan pada Aiko?"
"Si tua itu benar-benar keterlaluan menolak kehadirannya di keluarga kita. Tapi, ia pantas mendapatkannya, toh, wanita itu lebih memilih tawaran yang diberikan padanya ketimbang Wataru. Wanita sialan!"
"Ya, tapi untungnya ayah mengambil langkah yang tepat saat itu, menyingkirkan hama yang nyaris sulit terdeteksi dari sisi Wataru." Shiori tersenyum kecil.
Sang adik tak nyaman dengan topik itu, namun yang lebih membuatnya tak nyaman adalah perkataan detektif Futaba yang kini terngiang di kepalanya, tenggorokannya terasa kering: 'Kadang, hal yang tampak normal sebenarnya tidak normal sama sekali....'
Apakah ia mesti turun tangan sendiri mengumpulkan puzzle yang berhamburan dan mencari benang merahnya? Ini sungguh mengganggu pikiran sang playboy, rasa takut dan cemas memenuhi benaknya.
Enigma* macam apa yang sedang dihadapinya saat ini? Kebenaran seperti apa yang akan ditemukannya kelak? Seberapa jauh ia harus menggali kebohongan perempuan itu?
Jarak psikologi yang ada di antara mereka berdua tiba-tiba saja terentang semakin jauh. Dan ia tak menyukai keadaan itu.
"Reiko, kau sudah lihat berita tentang wanita sialan itu? Kenapa kau bisa membiarkan artikel mengenai Wataru lepas ke media?" Shiori memandang penuh tanda tanya pada kakaknya di seberang.
"Ah... aku juga sudah lihat. Akhir-akhir ini ada sebuah perusahaan berita yang khusus mengulik kehidupan orang-orang terkenal, menguak rahasia dan misteri yang disembunyikan dari khalayak umum. Mereka punya paparazzi* yang terkenal nekat dan gila, aku kesulitan membungkam perusahaan berita itu. Entah siapa paparazzi-nya, sungguh lihai. Mereka tak mudah disuap, dan masih sulit dijatuhkan. Kita hanya bisa bernegosiasi ringan dengan mereka. Banyak rahasia kotor yang telah mereka gali, jika mereka sampai mengendus ke Miyamoto, aku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi. Sebaiknya kau juga berhati-hati mulai sekarang, Wataru. Kendalikan hawa nafsumu yang liar itu! Jangan bikin perkara! Ayah juga punya batas kesabaran!"
Tapi lelaki itu tak mendengar perkataan Reiko, ia masih sibuk berpikir dengan kedua mata menatap langit-langit ruang VIP, pikirannya penuh tentang Misaki seutuhnya.
"Apa kau tak bisa melaporkan mereka sebagai pencemaran nama baik?" tanya Shiori.
"Sulit. Mereka sengaja menyensor wajah Wataru bukan tanpa alasan. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Sangat berisiko jika kita melaporkannya, sama saja kita akan mengekspos identitas dan wajah Wataru. Publik bisa bertanya-tanya, ini bisa menjadi lebih besar. Kau pikir, ada berapa banyak wanita yang sudah ditidurinya? Mereka bisa jadi masalah yang serius di masa depan. Belum lagi segudang masalah yang bisa timbul bagi perusahaan gara-gara kelakuan busuknya itu." Ia menatap tajam pada sang adik. "Untungnya, media saat ini teralihkan oleh berita heboh putra tunggal Uesugi Group. Dan sangat tertarik dengan identitas Misaki yang menyamar."
"Oh... untunglah. Tapi... dia, kan, tunangan palsu Wataru? Bagaimana menjelaskannya nanti jika sampai ketahuan?"
Reiko menggerutu pelan, memutar bola mata, menyadari masalah baru yang muncul. Paparazzi brengs*k! Geramnya dalam hati.
"WATARU! BERHENTI BIKIN AKU DALAM MASALAH!!" raung Reiko dengan tangan kanan mengepal di depan dada, kening bertaut kesal.
Sang adik hanya terkejut dengan mata terbelalak, baru sadar dari pemikirannya yang rumit.
"Aku akan memikirkan solusi masalah ini. Mungkin sebaiknya meminta saran dari ayah saja secara langsung." Reiko menyipitkan mata, terlihat lelah secara mental.
Shiori tertawa kikuk, mengacungkan kepalan tangan kanan setinggi dada. "Semangat, Reiko!"
Reiko mengerang kesal, berjalan ke arah sofa putih dan kembali menendang kaki adik laki-lakinya, hingga kembali jatuh mengerang ke lantai. Sang adik yang masih saja tenggelam dalam pikirannya beberapa saat lalu, berteriak protes kesakitan tapi diabaikan, lalu wanita seksi itu menghempaskan diri ke sofa.
"Berperang dengan perut kosong bukanlah hal bijak!"
Dan ia mulai melahap makanan dengan perasaan kesal dan semangat yang dipaksakan, Matanya terasa panas dan terlihat sedikit berkaca-kaca. Mulutnya yang penuh menguyah cepat-cepat, dan seketika melolong frustasi. "SIALAN KAU, WATARU!"
Sang adik yang kini berada kembali di lantai berjengit kaget, memeluk bantalan sofa dengan kedua lutut ditekuk ke arah dada. Kedua matanya mengerjap-ngerjap bingung.
*Catatan Kaki:
1. Syndrome putri tidur: kelainan syaraf langka, membuat penderitanya mengalami tidur yang berlebihan, bisa tidur 20 jam per hari bahkan berbulan-bulan.
2. Narkolepsi: gangguan sistem syaraf yang memengaruhi kendali terhadap aktivitas tidur. Gejala umumnya adalah rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari dan penderita ini bisa tiba-tiba tertidur tanpa mengenal waktu dan tempat.
3. Prefektur Tokyo: pada 1 Juli 1943, kota Tokyo bergabung dengan Prefektur Tokyo dan membentuk prefektur metropolitan. Tokyo memiliki nama resmi Metropolis Tokyo dan menjadi ibu kota Jepang sejak 1869. Unik karena menggabungkan unsur-unsur kota dan prefektur.
4. Enigma: teka-teki
5. Paparazzi: fotografer lepas yang sering membuntuti orang terkenal atau selebriti, dan mengambil foto mereka tanpa disadari.