Shiori mengerutkan kening untuk kesekian kalinya selama dua jam terakhir semenjak drama buket mawar ungu mereka. Ia memandang tak percaya dan kesal pada adiknya yang kini berbaring mengenakan kaos putih polos di sofa seraya memunggunginya.
"Sampai kapan kau mau seperti itu, Wataru?"
"Keluarlah... aku tidak ingin diceramahi lagi..." gumamnya pelan,suaranya terdengar lemah dan parau.
"Aku tidak akan keluar sampai kau setidaknya makan beberapa suap. Makanan ini sudah aku pesan banyak sekali! Dan... aku minta maaf, ok?"
Shiori duduk bersandar menyilangkan kaki dan tangan di sofa malas, memandang berbagai macam makanan di atas meja dengan perasaan bersalah—makanan itu sengaja dipesan untuk membujuk adiknya yang tengah merajuk gara-gara ceramahnya tanpa ampun menyindir masa lalu yang dibencinya, kini semua makanan itu kemungkinan akan berakhir di tempat sampah.
"Ah..." ia mengiyakan perkataan Shiori dengan nada malas-malasan.
"Jawaban macam apa itu? Sekarang kau tak mau melihatku? Begitu?"
Sang adik tak menjawab, hanya memandang detail kain sandaran sofa, sorot matanya terlihat ringkih. Pikirannya berusaha tak mengingat kembali percakapan tegang mereka selama hampir dua jam penuh mengenai apa yang salah dan apa yang benar terkait kelakuannya sebagai lelaki dewasa, dan bagaimana ia seharusnya bersyukur jika dibandingkan dengan orang-orang yang kurang beruntung di belahan bumi lainnya, serta beberapa topik yang membuat dirinya langsung berkecil hati, tapi usahanya selalu gagal—ia tahu bahwa dirinya memang keterlaluan selama ini, sadar melakukannya sepenuhnya, dan ia melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Alasan yang hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.
Sang dokter merupakan satu-satunya kakak dari tiga kakak perempuannya yang mampu membuat lelaki itu melempem seperti sekarang hanya dengan modal ocehan—selain karena adanya hutang budi yang membuatnya merasa tak enak hati.
"Kata-kataku sebelumnya sungguh keterlaluan, maafkan aku," gumam Shiori berbisik.
"Tidak. Itu benar. Aku memang salah selama ini, kejam dan sadis."
Pandangan mata Shiori melunak pada punggung adiknya di seberang meja. "Kalau begitu, kau akan berhenti jadi pemberontak mulai sekarang, kan?"
Lagi-lagi, lelaki itu diam.
"Penilaianku terhadap wanita itu tak akan berubah! Sampai kapan pun, aku tak akan setuju kau bersamanya," mata Shiori mengarah pada layar ponselnya di atas meja, menampilkan Aiko, pasangan dansa adiknya saat acara lelang reuni dulu. Di artikel hiburan itu, sang wanita baru saja berhasil mengadakan fashion show tunggal miliknya di Paris, dan dikabarkan salah satu rumah mode ternama dunia melirik bakat luar biasanya.
Pada foto bagian atas artikel memperlihatkan sang desainer tersenyum bangga dengan beberapa buket bunga pemberian dalam pelukannya—melihat buket bunga membuat Shiori bergidik. Sementara di bagian paling bawah terlihat beberapa foto lain: Aiko dan adiknya berdansa di bawah lampu kristal yang megah (wajah sang lelaki tak terlihat jelas: sebagian sengaja dikaburkan dan sebagian lagi diambil dengan sudut tertentu), kalimat di bawahnya berbunyi: Berdansa dengan sang dewa bisnis, apakah ini pertanda cinta lama bersemi kembali?
"Wanita tidak tahu diri! Berani sekali dia terang-terangan berdansa denganmu di hadapan ratusan pasang mata setelah meninggalkanmu begitu kejamnya! Kau tak punya otak? Tak memikirkan perasaan Fujihara sebagai pasanganmu saat itu?"
Apa yang dikerjakan Reiko? Kenapa berita ini sampai keluar ke publik? Batin Shiori bertanya-tanya.
"Berita gosip tak baik untuk kesehatan, masih saja kau baca yang begituan," gerutunya malas, "lagipula, Kumato sendiri yang menyarankannya untuk ikut lelang, dan itu lelang amal untuk korban bencana alam, mana bisa kutolak," tukasnya sebal, kemudian dengan melebih-lebihkan kenyataan yang ada, dan masih memunggungi Shiori ia melanjutkan, "Misaki juga asyik menggoda pria 100 juta dollar itu, cekikikan sok lugu kayak beo gagap, perasaan apa yang kau bicarakan?"
Sudut bibir sang dokter berkedut kesal.
Sebelum mencari berita terbaru mengenai Aiko yang tersulut oleh rasa penasaran dan amarah akibat percakapan tegang mereka, Shiori sempat membaca sekilas berita mengenai Uesugi Ishikawa.
Iseng, sang dokter meraih ponselnya, menggulir kembali berita itu, berniat memancing rasa penasarannya agar lelaki itu mau membalikkan badan. Judul berita itu berbunyi:
[Uesugi Ishikawa, General Manager* sekaligus calon pewaris tunggal Blue Sky Emperor Hotel ternyata adalah seorang filantropis* tampan yang rendah hati.]
Artikel itu menampilkan beberapa foto kharismatik Sang GM dengan senyum ramahnya, salah satunya bersama Misaki yang diambil oleh Jane setelah mendandaninya akibat dibully di toilet.
"Fujihara terlihat cantik sekali di foto ini, aku nyaris tak bisa mengenalinya jika Reiko tak menceritakannya padaku. Ia seperti seorang putri, hmmm, lebih tepatnya seorang ratu. Berita ini sangat memuji pasangan dansa lelaki itu. Mereka bertanya-tanya, siapa sosok menawan ini. Kau sudah lihat beritanya?"
Dan itu sedikit berhasil, lelaki itu hendak berbalik tapi diurungkan kemudian, komat-kamit tidak jelas tentang konferensi pers dan instagramb Nakagawa Jane.
"Kau ngomong apa, sih?"
"Dasar... Sadako mata duitan...." komentarnya pedas, sejurus kemudian.
"Sadako mata duitan? Maksudmu Fujihara? Dia tipe seperti itu?" bola mata Shiori membesar.
"Kau pikir kenapa dia kucap sebagai budak? Perempuan itu meminta 500 juta yen sebagai bayaran untuk menjadi tunangan palsuku. Masih mau membelanya?"
Shiori tercekat mendengar ini. Reiko tak pernah membahas hal itu—mereka berdua memang sempat bergosip ria tentang sang adik di telepon selama hampir tiga jam penuhnya, tapi Reiko tak pernah menyebutkan soal uang sebanyak itu.
"Lalu, apa itu alasan kau bersikap buruk padanya? Karena ia mata duitan seperti Aiko?"
Lelaki itu membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Diam membisu cukup lama, pikirannya tercerai berai.
"Wataru?" Shiori mengetuk-ngetuk tepian meja, kembali berusaha menarik perhatiannya.
"Perempuan itu...." katanya dengan nada lirih berbisik, "wajahnya sungguh menyebalkan... tingkahnya sok lugu dan polos... dan sok jijik padaku..." kemudian, ekspresinya berubah bengis dalam sedetik, berkata dengan nada berapi-api yang tertahan, "tapi diam-diam suka menarik perhatian para lelaki! Matre! Liar! Genit! Sok suci pula! Rasanya aku ingin 'merusaknya' sampai hancur tak berdaya!"
Sang playboy masih tak percaya ada perempuan yang memilih meminum racun ketimbang tidur dengannya, kurang apa dirinya dibanding lelaki lain yang digodanya itu? Menyebalkan! umpatnya dalam hati.
"He-HEY! Apa kau tak keterlaluan berkata seperti itu? Kasar sekali! Tidak heran dia jijik padamu! Ditambah lagi kau juga seorang playboy sadis yang menjadikannya budak!" sembur Shiori, kupingnya panas mendengar perkataan tak bermoral itu.
"Itu hanya keinginan tergelapku. Tenang saja, aku tak akan benar-benar melakukannya. Selama dia tak bertingkah...."
"Oi! Wataru!" pekik Shiori cemas, kedua pundaknya naik. "Ngomong-ngomong, seberapa dekat, sih, kau dengannya? Kalian baru saling kenal, kan? Dari penuturan Reiko, kudengar kalian berdua baru berinteraksi kurang dari sebulan meski sudah menjadi tetangga cukup lama. Mungkin kau hanya salah paham padanya. Apa kau tak pernah berniat mengenalnya lebih jauh secara pribadi? Bukan hanya sekedar ikatan antara bos dan anak buah?"
"Budak! Dia budak! Bos dan anak buah, apaan?" hardiknya, kemudian nada suaranya nyaris berupa gumaman. "Aku sudah mengecek latar belakangnya. Dia bersih. Tak ada peristiwa luar biasa terkait bekas luka yang kau bicarakan itu. "
"Sungguh?" Shiori tercengang keheranan, "lalu, apa yang bisa menjelaskannya?"
"Kau juga manusia, bisa salah, kan?"
"Aku meragukan itu. Aku tahu kemampuanku. Kau, kan, dulu mantan asisten detektif, coba saja periksa sendiri punggung perempuan itu. Eh..." Shiori berhenti sesaat, tampak salah tingkah. "Ba-Bagaimana kalau kita periksa sekarang saja agar kau yakin?" sarannya spontan, takut jika si adik memeriksanya seorang diri malah menjurus ke 'hal-hal yang tak diinginkan'—merinding mengingat kalimat sebelumnya.
Meski Shiori tak suka dengan status playboy berhati dingin sang adik, itu masih lebih baik ketimbang mendapat status sebagai pemerk*sa sadis yang barbar.
Namun, tak seperti perkiraan Shiori, diam-diam lelaki itu sedikit terguncang, matanya terbelalak kaget, dan hatinya bergetar. Entah kenapa ia tak mau melakukannya, hanya ingin mempercayai hasil penyelidikan yang diterimanya mentah-mentah. Apa ia sedang menghindar? Menghindar dari apa?
Pikirannya kini dipenuhi oleh kontradiksi dan kebingungan yang muncul tiba-tiba, menusuk-nusuknya seperti ribuan jarum.
"Hasil penyelidikan detektif Futaba selalu yang terbaik dan akurat. Tak ada alasan aku meragukannya," elak lelaki itu kemudian dengan suara parau.
"Sepertinya kemampuan detektifmu berkarat, ya? Kelamaan jadi playboy bikin otakmu isinya cuma hal-hal mes*m saja. Nggak berguna sama sekali! Sumbangkan saja otakmu itu pada orang yang membutuhkan!" sindir sang kakak, sedikit mulai kehilangan kesabaran.
"Ya.... Ya... sekalian bedah saja aku... Mungkin lebih berguna untuk kemajuan dunia medis ketimbang jadi boneka pria tua itu..." ujarnya masa bodoh dengan nada malas yang lirih.
Sudut bibir Shiori tertekuk, matanya menyipit tajam ke arah punggung sang adik.
"Dengar! Aku setuju agar latar belakang Fujihara diperiksa, tapi cara terbaik untuk mengenal seseorang adalah dengan mendekatinya secara langsung, hati ke hati, bukan dengan diam-diam memeriksa latar belakangnya seolah ia seorang kriminal atau penjahat kemudian bertingkah sok tahu segala hal tentangnya dengan data kaku semacam itu! Duduk bersama dan saling membuka hati adalah cara efektif dan sopan yang bisa meruntuhkan jarak dan dinding antar dua manusia! Memang kau pernah tanya dia butuh uang sebanyak itu untuk apa?"
Lelaki itu baru saja sadar, hal itu luput dari penyelidikannya. Untuk apa uang sebanyak itu? Meski mata duitan, pasti ada alasan kuat di baliknya. Misaki juga bukan tipe gila dandan sejauh yang ia tahu—walau menurutnya, ia suka bergenit-genit ria pada pria lain (yang tentu saja hanya khayalan Sang Playboy semata).
Kenapa ia begitu bodoh mengabaikan alasan Misaki menginginkan uang sebanyak itu?
Selama ini, ia hanya mengatai dan menuduhnya sesuka hati demo ego dan kepuasannya semata. Siapa perempuan itu baginya sampai mempengaruhinya sejauh ini? Misaki benar-benar bikin otaknya macet, tak berfungsi secara normal. Sialan! Umpatnya dalam hati.
*Catatan kaki:
1. General Manager, manajer yang memiliki tanggung jawab kepada seluruh bagian/fungsional pada suatu perusahaan atau organisasi.
2. Filantropis, istilah yang umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal.