Kaki sang perawat mundur teratur, wajahnya seperti baru saja melihat hantu, tak menyangka lelaki tampan rupawan yang selama ini dilihatnya (dan dipujanya diam-diam, tentu saja) bisa berubah mengerikan seratus delapan puluh derajat.
Sora keluar ruangan dengan panik, tersandung berkali-kali oleh kakinya sendiri menjauhi ruangan VIP itu. Padahal perempuan itu terkenal sebagai perawat profesional berwajah tegas dan tenang.
***
Di waktu yang sama, berkilo-kilo meter dari rumah sakit tempat Misaki dirawat, suara mesin treadmill dan derap lari cepat memenuhi keheningan apartemen elit nan mewah yang berada di salah satu daerah termahal di Minato*, si pelari lelaki berambut panjang diikat ini, menghadap ke dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan langsung Tokyo Tower* di luar sana. Ia memakai kaos putih tanpa lengan dan celana panjang training hitam. Napasnya berat terengah-engah. Peluhnya menuruni kening dan leher jenjangnya yang indah.
"Ichigo-san, kita mendapat beberapa naskah baru, drama dan film layar lebar kali ini. Coba kau lihat-lihat dulu, mana yang menurutmu menarik."
Seorang pria yang lebih tua dua tahun dari si pelari berjalan masuk ke arahnya. Ia memakai pakaian serba hitam: jas, kemeja, sapu tangan, bahkan dasinya. Satu-satunya yang berbeda adalah rambut pendek berponi panjangnya yang hitam keabu-abuan. Wajahnya kaku dan serius, meski matanya begitu tajam cemerlang. Mungkin dia akan lebih menarik dan ramah, seandainya si lelaki berjas ini tersenyum dengan bibir tipis seksinya.
Ia meletakkan beberapa tumpukan kertas di atas meja bundar rendah, tepat di depan sofa besar berwarna putih gading tanpa sandaran.
Seluruh dinding di apartemen ini terbuat dari kaca tembus pandang, menampilkan hampir seluruh bagian terindah di sekitar Tokyo Tower—salah satu alasan yang membuat apartemen ini menjadi yang paling mahal di daerah itu.
Si pelari ini melirik ke kanan, menatap naskah sekilas, lalu kembali meluruskan pandangan.
"Anak tertua Miyamoto Group bersikukuh untuk bertemu denganmu secara pribadi. Aku sudah menolaknya berkali-kali sesuai instruksi-mu, tapi ia tak mau menyerah. Bahkan beberapa naskah ini adalah tawaran darinya. Apa yang harus kita lakukan kali ini?"
Lelaki itu tak menjawab, ia masih terus lari beberapa saat, kemudian mematikan mesin larinya. Berjalan meraih handuk kecil di sofa besar dan menghempaskan diri, masih tak tertarik pada tumpukan kertas itu. Di sampingnya terdapat majalah fashion bergengsi yang menampilkan si pelari sedang berpose pakaian terbaru untuk trend musim panas tahun ini.
"Ichigo?"
"Duduklah, Ryu. Apa kau tidak capek bekerja terus seperti itu? Mukamu tegang sekali, "ia terkekeh pelan, "di luar kau adalah asisten sekaligus manajerku, di ruangan ini kau adalah saudara bagiku."
Ryu, si pria serba hitam ini tampak tersipu malu, ia berdehem dengan kepalan tangan di depan mulutnya. "Ichigo-san," katanya ragu-ragu, "aku lebih nyaman seperti ini."
Ichigo menggeleng pasrah, geli mendengarnya, "kau memang kaku sekali, ya?" tangannya meraih air mineral botol di samping tumpukan kertas, dan terkunci pada naskah dengan judul yang tertutupi sebagian: PERTEM-
Dengan wajah mengkerut, ia meraih naskah itu.
PERTEMUAN LINTAS WAKTU, judul lengkap dari naskah itu.
"Ah! Itu salah satu tawaran dari Miyamoto Group. Naskah itu yang berasal dari webnovel yang sedang populer saat ini. Kau tahu, kan? Bahkan sudah mulai diterjemahkan untuk pembaca Internasional. Jika kau mengambilnya, pesonamu akan semakin melambung. Karakter pemain utama laki-lakinya sangat menarik dan kaya karakter. Tapi...." Ryu memandang takut-takut pada Ichigo yang menatap serius judul itu, khawatir berpikir seenaknya.
"Atur pertemuanku dengan anak tertua Miyamoto Group itu," perintahnya tanpa ragu.
"Apa?" Ryu sedikit terkejut.
"Aku akan mempertimbangkan naskah ini. Perempuan itu, siapa namanya, anak tertua Miyamoto Group itu? Reiyou? Reisho? Reikyou"
"Re-Reiko, Miyamoto Reiko," gagap Ryu pelan.
"Ah, benar. Aku pernah bertemu dengannya sekali. Dia memang memiliki karakter kuat. Dia menang. Aku akan membaca naskah ini, buang sisanya!" ia berjalan menuju dapur tanpa sekat, meletakkan naskah itu di dekat konter, dan mulai membuka-buka halamannya secara acak. Tangannya meraih sebuah apel merah, mengunyahnya keras-keras.
"Kau akan menemuinya?" Ryu melempar tatapan heran, setengah melongo.
"Iya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari naskah di depannya.
"Tapi, kenapa?"
"Karena ada yang tidak beres, Ryu. Aku sudah cukup bersabar," ia menutup naskah itu, meraba nama yang ada di depan: Black Andromeda.
"Apa kau tidak terlalu terburu-buru?" Ryu terlihat gelisah, ia melonggarkan kerah bajunya, berniat menjulurkan leher melihat nama sang novelis, tapi diurungkan.
"Entahlah..." ia diam menatap nama itu lekat-lekat, "tapi aku punya firasat, Miyamoto Group adalah malapetaka baru untuk kita."
Ryu tak bisa berkomentar apa-apa. Ichigo memiliki insting kuat, turunan dari klan Kurosawa yang terkenal saat ini, dan itu telah terbukti selama keluarganya mengabdi bertahun-tahun pada klan sang model.
"Kita hindari konflik seminimal mungkin. Aku tidak ingin ada jatuh korban lagi kali ini," Ichigo menyabet naskah itu dan berjalan cepat menuju ruang tamu, ia meletakkan naskah dan apel yang telah digigitnya di atas grand piano.
"Itu artinya kita akan main halus?" gumam Ryu, berpikir serius.
"Mereka tak berbahaya, tapi keluarga Miyamoto punya kekuasaan dan kekuatan yang tak bisa diremehkan," satu tangannya menyapu bagian atas tuts-tuts piano dengan lembut, tak ada nada yang keluar.
"Tapi.... Ichigo... Apa kita harus bergerak secepat ini?"
"Aku benci siapapun yang mengganggu milikku," ia termenung sesaat, "terlalu banyak lalat pengganggu, singkirkan sebelum menjadi penyakit. Bukan begitu, Ryu?" ia tersenyum cerah, tampak antusias.
Dan dengan perkataan penuh makna itu, percakapan mereka terhenti. Ichigo mulai memainkan piano dengan nada menyenangkan sekaligus memompa adrenaline, sang model menikmati setiap tekanan tuts dan irama yang berdentang merdu dari jari-jarinya. Suasana hatinya perlahan membaik dan riang di setiap detiknya.
Ekspresi Ryu menegang, skenario ini di luar dugaannya. Kecemasan mulai merangkak memenuhi benaknya. "Dasar budak cinta." gumamnya pelan.
***