Chapter 76 - Sisi Lain

Shiori dan Sora yang melihat reaksi spontan ini hanya bisa melongo seperti orang bego. Menonton aksi Wataru yang mulai menginjak-nginjak bunga itu seperti anak kecil manja, menggerundel dengan ucapan-ucapan yang sama sekali tak dimengerti oleh kedua wanita itu.

"Hey! Hey! Wataru! Hentikan! Kau ini kenapa, sih?!" tegur sang kakak, tapi tak ditanggapi olehnya, yang ada malah buket itu ditendang menjauh ke arah pintu balkon, alhasil benturan buket itu membuat pintu ganda bergetar cukup keras. Untung saja kacanya tak pecah.

"SEMUA INI GARA-GARA, REIKO!" kartu ucapan di tangannya diremas kuat-kuat hingga nyaris sobek.

"Apa salah Reiko dalam hal ini? Kau ini kenapa, sih?" sang dokter memandang penuh tanda tanya padanya, ia hendak mendekat tapi takut lelaki itu melakukan tindakan tak terduga, memukulnya tanpa sengaja, misalnya.

"Si bodoh itu—" ia menahan kata-katanya sesaat, mata dipejamkan kuat-kuat, rahangnya mengeras, tampak berusaha menahan diri, kemudian samar-samar melanjutkan dengan nada setengah lesu, "dia sudah terlalu jauh mencampuri urusanku kali ini."

"Apa yang dilakukan Reiko?" suaranya terdengar menuntut.

Wataru tak menjawabnya, matanya hanya melirik ke arah Misaki.

Sang dokter memahaminya dalam sekejap tanpa perlu penjelasan lebih lanjut.

"Wataru.... Aku tak tahu dengan pasti apa yang terjadi antara kalian bertiga, oh, salah, maksudku berempat," matanya menatap ngeri kartu ucapan di tangan sang adik, "tapi, jika perempuan itu berarti bagimu, maka jangan pernah mempermainkannya seperti yang lain. Kudengar lelaki itu adalah pasangan dansanya di acara reunimu. Mengirim hal seperti ini pastinya bukan hal main-main baginya, dia tahu nama asli perempuan itu sampai-sampai langsung menyebut nama depannya, terang-terangan pula mengatakan isi hatinya. Apa kau ingin membiarkan ini berlanjut? Aku juga dengar kau tak bersikap ramah pada Fujihara dan mempertahankannya sebagai budak. Ini seperti bukan dirimu, Wataru!"

"BERISIK!" ia meninju keras meja kaca di samping sofa malas hingga retak jatuh berhamburan, luka di buku-buku jarinya yang mulai sembuh kini kembali terluka dan bertambah luas.

"WATARU!" pekik Shiori, ia buru-buru meraih tangan sang adik, meraih sapu tangan di kantongnya dan membalutnya.

"Lepaskan..." katanya pelan, terdengar agak merajuk.

"Ini harus diobati! Ada apa denganmu, sih?" matanya melotot pada sang adik yang kini tertunduk diam. "Sora! Periksa laci meja tulis, harusnya ada peralatan P3K di sana! Cepat! "

Sora yang masih terkejut, buru-buru berlari ke meja yang berada di samping ranjang pasien, meraih kotak kecil, dan menyerahkannya dengan gugup pada sang dokter.

"Ambilkan aku air hangat secukupnya," ia mengedikkan kepala ke arah dapur, lalu menatap tajam sang adik, "dan kau! Duduk!"

Tanpa banyak protes, Wataru hanya menurut. Ia duduk dengan kepala tertunduk lesu di sofa malas. Wataru benar-benar kacau luar-dalam! Untungnya, ia bersama Shiori saat ini, bukan Reiko. Kakak keduanya itu adalah orang yang tak mudah dibantahnya seperti Reiko, sang playboy terlalu hormat padanya, sekaligus memiliki hutang budi yang mungkin tak sanggup dibalasnya seumur hidup.

Dengan telaten, sang kakak membersihkan lukanya, sesekali sang adik meringis kesakitan dan setiap kali itu pula Shiori mendampratnya dengan omelan pedas. Siapa suruh melakukan tindakan bodoh begitu, sih? Sang playboy hanya bisa cemberut dan menahan emosinya sampai sang dokter selesai mengerjakan tugasnya.

Shiori menghela napas panjang. "Kau sudah meninju apa sebelumnya? Jangan memulai kebiasaan burukmu lagi. Tanganmu itu bukan besi. Kau juga sudah berumur, kemampuan penyembuhan tubuh manusia berkurang seiring usia bertambah. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Tubuhmu itu berharga, dan bukan hanya milikmu. Paham?"

"Aku bukan properti...." gumamnya pelan dengan nada protes.

"Meski kau berkata seperti itu, kau tahu bahwa kita tak bisa melawan ayah, bukan? Dia tak akan memaafkan siapapun yang merusak rencananya menjadikanmu sebagai pewaris satu-satunya

Miyamoto Group."

Wataru terdiam, tahu betul dan benci dengan kenyataan memuakkan itu.

"Mungkin sebaiknya kau menjernihkan pikiranmu dan mengevaluasi tindakanmu akhir-akhir ini. Sejauh ini, ayah masih bisa tahan dengan pemberontakan kecil-kecilanmu yang nyeleneh, entah apa yang akan dia lakukan jika sudah tak tahan. Dewasalah sedikit!"

"Jangan bertingkah seperti Reiko! Aku tidak suka..."

"Dan masalah Reiko," ia kembali menghela napas panjang, "ia tak akan mengganggumu seandainya kau mulai bersikap layaknya seorang Miyamoto."

"Seorang Miyamoto? Bukankah aku sudah menjadi seorang Miyamoto? Seorang playboy yang persis seperti si penguasa itu, bukan?" ujarnya dengan nada jijik.

"WATARU!" semburnya galak.

"Anak dan ayah sama saja. Bukankah itu sebuah kebanggaan?" senyumnya menyeringai licik, namun samar-samar ada rasa lelah terpancar dari kedua bola matanya.

"Meskipun kau bersikap seperti ini, ayah hanya memikirkan perusahaannya semata. Kau pikir, kenapa dia begitu menganak-emaskan dirimu? Lebih baik kau mulai memperbaiki hidupmu dan menyayangi orang-orang berharga di sekitarmu, khususnya dia," ia mengedik ke arah Misaki.

"Dia tak ada artinya buatku...." ia memalingkan wajah, menghindari tatapan Shiori.

"Bohong. Dengan reaksi seperti tadi kau masih mau menyangkalnya? Sampai kapan kau mau bersikap begini? Kehilangan Aiko di masa lalu apa begitu traumatik buatmu? Dia itu wanita murahan! Tak pantas untukmu!"

"JANGAN MENYEBUTNYA WANITA MURAHAN!" tanpa sadar, lelaki itu berdiri dengan tangan mengepal.

"Lupakan dia! Fujihara bukanlah Aiko! Jangan menghukum orang lain dengan dosa yang tak seharusnya ia tanggung, Wataru!" desis Shiori tajam, ia menampakkan aura menantang.

"SEMUA PEREMPUAN SAMA SAJA! DAN MISAKI BENAR-BENAR PEREMPUAN PENUH TIPU DAYA! PEREMPUAN ITU LAYAK UNTUK DIHUKUM!" ingatannya kembali pada temuannya tentang kota asal Misaki, dan ini merembet pada hal-hal buruk saja mengenai perempuan itu, otomatis berakhir dengan kesimpulan bahwa Misaki adalah seorang wanita penggoda.

"Astaga.... Wataru..." Shiori memijit-mijit keningnya, bergumam pelan pada dirinya sendiri, "tidak heran Reiko kewalahan menghadapimu."

"Mawar ungu? Apa-apaan itu? Ia menggoda pria brengs*k itu seperti apa sampai dikirimi bunga semacam itu?"

Shiori menyipitkan mata, memandang tak percaya pada adiknya yang kini mencengkeram bagian bawah ranjang pasien seraya menatap penuh kebencian pada Misaki.

"Adik bodoh...." komentarnya pelan.

"Eng... Anu..." Sora, sang perawat yang sedari tadi diam saja jadi penonton akhirnya buka suara, dan Shiori berbalik menatapnya dengan reaksi sedikit terkejut, "mawar ungu melambangkan cinta pada pandangan pertama dalam hal percintaan."

Hening.

Sang perawat, tampaknya tak menyadari telah berbuat sebuah kesalahan fatal. Niatnya, sih, hanya ingin menjelaskan makna bunga itu agar menjernihkan kesalahpahaman sang playboy, namun hal itu sepertinya jauh dari harapannya, karena kini ia dihadiahi tatapan tajam menusuk penuh aura membunuh, dan cengkeraman lelaki itu semakin kuat pada ranjang Misaki.

"Sora.... kau keluar duluan. Kumohon..." Shiori menunduk lesu, tangan kanannya bergerak-gerak di udara ke arah pintu, "aku ingin bicara empat mata dengan adikku."