Chapter 68 - Jarak Psikologi

Benar... Tahu apa dia soal perempuan itu? Kenapa ia baru sadar akan hal ini?

Dipikir-pikir, ia nyaris tak mengetahui apapun mengenai Misaki. Saat melihat foto ibunya dan memeriksa isi ponsel yang minim data, perempuan itu seolah bagaikan kotak misteri untuknya.

Tiba-tiba saja, sebuah hasrat kuat untuk mengetahui segala hal tentang budaknya itu memekik nyaring hingga berdentum-dentum di sudut belakang otaknya.

Berbagai macam pertanyaan muncul bertubi-tubi silih berganti memenuhi hatinya, tangan kanannya mengepal kuat, ekspresinya menegang.

Kenapa ia ingin menghancurkan seseorang yang tak dikenalnya hanya karena kesal melihatnya?

Sekoyong-koyong, ia merasa dirinya tidak masuk akal sama sekali.

"Aku sudah selesai." Wataru bangkit, tangannya meraih nampan, berlalu tanpa berbalik sedikit pun pada kedua kakaknya.

"Hoh? Makananmu belum habis, tuh!" tegur Reiko, tapi tak digubris sama sekali.

Kedua perempuan itu keheranan memandangi kepergian sang adik yang begitu tiba-tiba.

"Reiko, apa kau yakin ingin mempertemukan ayah dengan perempuan itu? Apa kau sudah menyelidiki latar belakangnya? Kau tahu, kan? Ayah sangat cerewet soal perbedaan kelas dan status sosial untuk calon istri Wataru?" Mata Shiori masih tertuju pada sang playboy.

"Belum. Tapi aku yakin Misaki anak baik-baik. Dia bahkan tak tertarik sama sekali pada Wataru. Masalah bekas luka tembak itu, tolong kau rahasiakan. Jangan sampai bocor sebelum ada penjelasan masuk akal." arah pandang Reiko juga sama dengan Shiori.

"Ya, ampun... Wataru sepertinya lebih bermasalah dari kau, ya, Reiko?" sang dokter tersenyum kecil.

"Kurasa begitu.... Hey! Apa maksudmu?" desisnya galak, matanya melotot ke arah sang dokter, detik berikutnya ia melunak dan kembali memandangi Wataru yang kini berjalan menuju pintu keluar. "Tapi, mungkin itu benar. Dia bikin kita repot dengan sikap seenaknya semenjak beberapa tahun terakhir ini. Sekarang, aku harus membujuk beberapa media agar tak menerbitkan masalah tunangan palsu yang ia buat, lalu mengancam dan menyuap beberapa orang yang hadir di acara reuninya agar tak menyebarkan gosip murahan mereka di segala tempat."

"Tunangan palsu?"

"Ya. Dia menghadiri reuni dua minggu lalu dengan membawa Misaki sebagai Akabane Merry lalu memperkenalkannya sebagai 'sang tunangan tercinta'. Apa dia lupa statusnya sebagai pewaris Miyamoto? Ceroboh sekali dia. Entah apa di pikirannya saat itu!"

"Wuah! Menarik! Jadikan saja mereka tunangan sungguhan. Kalau perlu buat mereka menikah secara paksa. Biasanya cinta sejati bermula dari drama klise semacam itu, kan?"

Reiko melirik pelan Shiori.

"Kau jenius, adikku sayang! Akan aku pertimbangkan," ia tersenyum jenaka, lalu wajahnya berubah pucat memandang punggung adiknya dari jauh, " tapi pertama-tama, dia harus memperbaiki sedikit sikap angkuhnya itu. Nanti malah tambah seenak jidat menindas Misaki. Orang normal macam mana mengklaim dengan bangganya punya budak jaman sekarang? Dia benar-benar seorang sadis*!"

"Yah... Satu masalah sudah ada jawabannya. Mungkin Fujihara-san adalah obat mujarab sekaligus penawar bagi kelakuannya itu. Aku perhatikan, dia memang sepertinya menaruh perhatian khusus padanya. Dia tampak begitu terpukul mendengar pertanyaanmu beberapa saat lalu." Shiori meminum jus jeruknya. "Meski playboy saat ini, kita tahu dulu Wataru tak seburuk itu, kan? Di antara kita semua, dia yang memiliki hati paling lembut, penyayang, dan rapuh. Mungkin dia hanya bertingkah seperti bocah labil yang sedang jatuh cinta. Itu, loh, bocah yang suka isengin anak perempuan yang dia sukai terus-menerus hanya demi dekat-dekat padanya. Yah, walau salah metode, sih."

Reiko mendecakkan lidah, matanya mengawasi sosok sang adik yang kini terlihat menjauhi kantin dari dinding kaca transparan. "Aku bakal senang jika memang seperti itu. Tapi, perubahannya beberapa tahun belakangan ini bikin aku stres bukan main. Kenapa ayah memilihku untuk jadi pembersih segala kekacauannya, sih? Aku, kan, kerepotan terus jadinya! Tunggu saja pelajaran yang akan kuberikan padanya!"

"Jangan mengerjai adik berharga kita terlalu kejam. Nanti malah jadi bumerang, loh!" tangannya meraih nampan, berdiri dari kursinya.

"Kau ini mengingatkanku pada seseorang saja!" omelnya gemas, ujung matanya menangkap gerakan Shiori. "Loh? Mau ke mana? Pergi juga?"

"Ada mulut yang mesti dikunci, bukan?"

"Oh. Benar juga. Terima kasih, ya!" Reiko tersenyum, melambai pelan pada sang adik.

***