"Apa bentuk mereka seperti ini?" Tanya Richard tidak yakin. "Tidak tentunya, tabung ini menahan energi mereka, dengan cara memecahkannya. Mereka tidak dapat kembali ke wujud mereka." Jelas Saboru.
"Aku harap kau mengerti, aku tidak perlu menjelaskan rumus dan hukum fisika kan?" Saboru menatap tidak percaya ke arah Richard.
"Tenang Saboru, aku percaya dengan mu. Wajar Lilian percaya dan memilihmu." Richard tersenyum lebar. Tidak lama Richard mendapatkan panggilan masuk, headset bluetooth masih ia kenakan. Dengan cepat ia menjawab panggilan tersebut.
"Richard." Suara wanita dengan intonasi berat dan tegas terdengar, "Ya Bu."
"Segera ke ruangan ku sekarang! Ada hal yang ingin aku bicarakan mengenai Dokter. Rachmat." Ucap wanita tersebut. "Rachmat? Rachmat teman Indonesia ku?"
Richard pun bergegas keluar dari lab, entah mengapa ia mendapatkan perasaan tidak nyaman ketika atasannya mengatakannya. Seperti akan mendapatkan sebuah kabar buruk.
**Sang Pencari Jejak
Arya menatap bangunan rumah berlantai dua. Rumah tersebut sudah penuh dengan pita garis polisi yang mengelilingi disemua area. Arya mulai membuka pagar rumah.
Ia memperhatikan taman depan, beberapa tanaman sudah tampak sangat layu. Mungkin sudah hampir satu minggu, tidak ada yang menyiramnya.
Arya juga melihat sepeda anak-anak berwarna pink cerah berbentuk kepala kuda, yang terbengkalai karena pemiliknya yang mungkin tidak akan pernah memakainya lagi.
Seketika Arya langsung membayangkan seorang gadis kecil berkuncir dua sedang mengenakan sepedanya dan tersenyum riang kearahnya. Arya mengeluarkan amplop cokelat, ia mengeluarkan foto dan memandang gadis cilik yang baru ia bayangkan. Gadis itu berusia delapan tahun, dan tewas mengenaskan ditangan ibunya sendiri.
Arya melangkah maju, dan sudah dekat dengan pintu masuk. Ia mengeluarkan sebuah kunci, dan mulai ia masukkan ke dalam lubang kunci. Suara klekk terdengar, dan ia mulai membuka pintu depan dengan perlahan.
Sebuah ruang tamu minimalis langsung menyambutnya, ruangan cukup gelap. Jendela-jendela tertutup dengan tirai yang sengaja ditutup dengan rapat. Arya menarik beberapa tirai dan membuat cahaya masuk kedalamnya.
Arya meletakkan amplop cokelatnya, di meja ruang tamu. Ia mulai merogoh sakunya, dan mengeluarkan alat perekamnya. "Rabu, 2411. No.124. Berdasarkan laporan cctv. Pelaku terbangun pada pukul satu pagi." Arya mulai melangkahkan kakinya ke arah dalam rumah, langkahnya terhenti dan menatap tangga yang terhubung dengan lantai dua.
Arya langsung membayangkan Mira yang sedang berjalan menuruni anak tangga. "Pelaku kemudian menuruni anak tangga, terlihat di kamera cctv pelaku mengambil pisau di ruang dapur." Arya melangkahkan kakinya ke arah ruang dapur. Ia melihat sebuah rak pisau, dan terlihat ada satu pisau yang sudah hilang dari raknya.
"Setelahnya, pelaku berjalan kembali ke arah kamar. Tidak! ada yang terlewatkan." Ucap Arya kemudian menghentikan langkahnya tepat di depan anak tangga. Matanya tertuju ke arah jendela yang berada persis tepat di depannya.
"Sebelum pelaku memutuskan naik ke kamarnya, berdasarkan kamera cctv. Pelaku terlihat terdiam selama dua menit, hanya menatap jendela dan masih memegang pisau." Arya mendekati jendela yang berada di depannya, membuka tirai jendela dan membiarkan cahayanya masuk.
Arya memandang ke arah sisi luar jendela, berpikir apa yang sedang dipikirkan oleh Mira saat itu. Sebuah pekarangan kecil terlihat, dan ada sebuah pohon yang cukup besar. Entah mengapa pada saat melihatnya Arya merasakan rasa tidak nyaman. Seakan pohon itu balik menatapnya.
Arya membalikkan badannya dan mulai melangkahkan kakinya kearah tangga. Tangan kirinya masih sibuk dengan memegangi alat perekamnya. Arya mulai berbelok ke arah kanan, tempat kamar Mira dan suaminya.
Pintu berwarna putih, sudah berada didepannya. Arya memegang gagang pintu dan mulai menarik gagang tersebut. Pemandangan kamar lebih berantakan dari perkiraannya. Pita polisi melingkar di area tempat tidur. Bahkan aroma darah masih tercium dengan sangat pekat.
"Di kamar ini Mira melakukan aksinya, ia menghabisi nyawa suaminya, menghunuskan pisau yang telah ia ambil sendiri dari ruang dapur." Arya mendekati tempat tidur yang cukup besar, berjongkok dan mulai melihat dengan teliti.
Tangannya mulai meraba lantai yang tidak jauh dari tempat tidurnya. " Tidak ada CCTV di dalam kamar ini." Ucapnya pelan. "Dari adanya bekas noda darah yang tercecer di berbagai tempat, bisa dipastikan korban terbangun pada saat pelaku mulai menghunuskan untuk yang pertama kalinya."
Arya mulai membayangkan dan melihat korban dan pelaku. Mirna yang masuk kedalam kamar, menatap suaminya yang tertidur lelap. Mirna berjalan pelan dan mulai dari sisi kanan tempat tidurnya, dan masih menatap wajah suaminya yang masih terpejam.
Arya memejamkan matanya sebentar seraya menarik nafasnya dengan perlahan, lalu kemudian ia membuka matanya. Ia melihat Mirna masih berdiri, dan masih memegang pisau dapur. Dengan cepat dan tanpa aba-aba, Mirna mulai menghunuskan pisau ke arah suaminya.
Arya melihat korban terbangun, dan menahan tangan Mirna yang tampak tidak mau berhenti. Korban berhasil memukul mundur Mirna, yang membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan.
Korban yang masih dalam keadaan terluka, bangkit dari tempat tidurnya. Tapi lebih cepat Mirna yang bangkit, dan langsung menarik korban hingga jatuh ke lantai.
Arya melangkah mundur, dan menatap ke bawah. Ia memperhatikan lantai yang masih meninggalkan noda darah yang sudah mengcokelat. Noda tersebut cukup banyak, Arya menelan ludahnya sendiri. Ia mulai merasakan pusing, entah mengapa tapi ia masih bisa merasakan aroma darah yang amat kuat.
Arya memejamkan matanya, dan kembali menghembuskan napasnya. Kelopak matanya dibuka dengan perlahan. Mira menyeret suaminya yang meronta-ronta kesakitan, Mira yang tubuhnya kecil tapi cukup mampu mengangkat suaminya dan menghempas tubuh suaminya ke atas kasur.
Arya menatap korban yang sudah mulai kehabisan tenaga. Tangan korban terulur ke arah istrinya yang masih menatap dengan sadis. Arya berjalan mendekat, dan berdiri di belakang Mira, masih menatap ke arah korban yang seperti mengucapkan sesuatu.
Arya mencoba membaca gerakan bibirnya, namun sulit baginya dalam keadaan gelap. Sebelum korban sempat mengatakan sesuatu, Mira kembali menghunuskan pisaunya, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. "Berdasarkan hasil autopsi, pelaku menusukkan pisaunya ke arah korban hingga 13 kali."
Arya menatap ke sekeliling kamar, ruangan itu sangat gelap. Sengaja ia tidak membuka jendela kamar, agar memudahkannya untuk berkonsentrasi. Arya berjalan keluar kamar, berdiri terdiam di depan pintu kamar. Menoleh ke arah bawah, ia bisa melihat noda ceceran darah yang mengarah lurus.
Arya pun mulai memejamkan matanya, dan kembali berkonsentrasi. Sekarang Ia dapat melihat Mira berjalan dengan langkah pelan, sebilah pisau masih ia pegang, sisa darah masih tercurah dan meninggalkan jejak di lantai.
Ia masih mengikuti langkah Mira, Mira masuk kedalam sebuah kamar. Arya bisa melihat seorang gadis kecil dengan piyama biru, sedang tertidur lelap. Bahkan tidak menyadari Mira yang masuk kedalam kamar.