Chereads / Katerina / Chapter 19 - Drama Lagi

Chapter 19 - Drama Lagi

"Sudah kuputuskan." kata Katerina tiba-tiba. "Aku mengganti namanya menjadi Chris. Nggak enak, kan, manggil dia Rio terus... Anjingku pikir dia yang dipanggil dan menggonggong ribut banget."

"Oh, baguslah." sahut Rio kalem.

"Kamu nggak protes?" tanya Katerina heran.

"Why should I?" Rio mengangkat bahu. "Aku suka namanya. Kalau punya anak nanti aku sudah berpikir untuk memberinya nama Chris juga."

"Baguslah..."

Mereka berdua membawa bayi itu menemui dokter anak untuk mengecek kesehatannya. Katerina menimang Chris dengan penuh kasih sayang dan sengaja memutarkan lagu-lagu klasik di tape mobil Rio. Ia tahu musik klasik baik untuk anak kecil.

Dokter Ferian memeriksa Chris dengan sangat teliti dan sesekali memberi komentar.

"Kalian mau full check up atau cuma pemeriksaan biasa?" tanya dokter itu kemudian.

"Kami mau yang lengkap, Dok.." jawab Rio segera. Kami ingin memastikan bahwa anak ini benar-benar sehat."

"Baiklah.." Dokter Ferian membuat catatan kecil dan memberikannya pada perawat. "Siapkan rontgen dan peralatan lainnya."

"Baik, Dok.."

Dokter Ferian memandang pasangan itu dengan senyum geli. "Anak pertama, ya?"

Katerina dan Rio saling pandang, keduanya tersenyum satu sama lain dan mengangguk.

"Kecemasan kalian wajar. Nah, silahkan tunggu di sini saya akan membawa anak kalian untuk pemeriksaan selanjutnya."

Katerina dan Rio tersenyum penuh arti.

"Anak ini sungguh merepotkan," kata Rio.

"Tapi manis."

"Hmmh..."

Mereka kemudian berjalan-jalan ke mal mencari perlengkapan bayi untuk Chris. Mereka membeli pakaian-pakaian yang menurut Katerina cute dan banyak sekali popok serta susu dan makanan bayi dalam jumlah gila-gilaan.

"Polisi sudah memberi kabar?" tanya Katerina saat mereka makan siang. Ia meminta air panas pada pelayan dan membuatkan susu untuk Chris.

"Nope. Aku curiga mereka nggak mengurus kasus ini..." jawab Rio. Ia menggamit bahu Katerina dan menunjuk ke belakang gadis itu. "Hei... di sana ada yang ngeliatin kita terus... Apa kamu kenal?"

Katerina menoleh ke belakang dan melihat Laura yang melongo melihatnya, juga ada Dian dan Desty yang pura-pura melihat ke arah lain.

Katerina melambai pada mereka dan ketiganya segeranya datang merubung.

"Hallo, Miss..." sapa mereka malu-malu. "Hallo, Pak..."

Barulah Rio tertawa karena dipanggil Bapak. Ia mengangguk ramah pada mereka.

"Kalian kenapa sembunyi-sembunyi?" tegur Katerina heran. "Kenalkan... ini Chris—kalian sudah kenal Rio."

"Hallo," kata mereka lagi, kali ini pada Chris yang menatap mereka keheranan.

"Anaknya lucu banget, Miss..." kata Laura bersemangat.

"Ini titipan..." kata Katerina cepat, "Kalian jangan bikin gossip, ya..."

"Iya, dong... Kami kan tahu Ibu belum married..." kata Desty sambil tertawa. "Tapi sumpah, dari jauh kalian keliatan kayak orangtuanya..."

"Oh, ya?"

Mereka ngobrol cukup lama sebelum akhirnya saling berpisah. Rio mengantar Katerina dan Chris pulang.

"Yo, gimana kalau orangtuanya nggak ketemu juga..? What should we do?" tanya Katerina dalam perjalanan.

"Anak ini kan butuh orangtua, Rin... Kita harus menyerahkannya untuk diadopsi."

"Tapi..kita kan bisa jadi orangtuanya... Sebentar lagi kita akan menikah... I mean..aku sayang banget sama anak ini..."

"Kamu jangan menurutkan emosi, ya, Rin... Pertimbangkan dulu baik-baik semua untung ruginya.. Lagipula kamu ini suka terlalu cepat membuat keputusan, yang akhirnya akan disesali..."

"Entahlah..." Katerina mendesah pelan. Ia tidak bicara apa-apa lagi. Rio yang justru jadi tampak khawatir.

"Kamu marah?" tanyanya hati-hati.

"Nggak..." Katerina tersenyum memandangnya, "Kamu benar, mengadopsi anak bukanlah hal yang bisa dilakukan asal-asalan. Aku pengen kita berdua memikirkannya baik-baik."

Rio mengangguk.

***

Katerina membagi-bagikan sinopsis beberapa drama Shakespeare pada kelas 3C. Ia sudah memilih 3 judul yang paling ia sukai, Romeo & Juliet, A Midsummer Night's Dream, dan Hamlet.

"Kalian silahkan baca sinopsisnya dan pilih cerita mana yang paling kalian sukai. Semuanya bagus, Romeo & Juliet masuk dalam tipe drama romantic, A Midsummer Night's Dream adalah cerita comedy, dan Hamlet adalah history."

Mereka serentak membaca dan segera berdiskusi dengan ribut. Kebanyakan tertarik pada Romeo & Juliet karena cerita itu sangat terkenal di antara remaja. Romeo berusia sekitar 17 tahun dan Juliet baru 14 tahun saat keduanya jatuh cinta. Katerina sebenarnya khawatir memperkenalkan cinta di umur semuda itu pada murid-muridnya, tapi ia sadar bagaimana pun juga pada usia seperti itu di antara mereka tentu telah mulai saling tertarik pada lawan jenis dan bertanya-tanya tentang cinta.

"Kalian siap mengadakan pemilihan?" tanya Katerina. "Pikirkan juga jumlah pemain yang kalian miliki, lalu kostum dan desain panggungnya..."

Anak-anak semua saling berbicara mengemukakan pendapat masing-masing. Akhirnya Hendry yang ditunjuk jadi moderator dan tiap-tiap orang dibagi dalam 3 kubu yang mendukung masing-masing drama. Mereka semua diberi waktu untuk menjelaskan opini masing-masing.

"Romeo & Juliet kan terkenal, pasti bagus kalau kita mainkan itu...!"

"Justru karena terkenal dan sudah banyak dipentaskan, orang akan membandingkan dengan pementasan lain..."

"A Midsummer Night's Dream terlalu banyak butuh pemain...prajurit, pelayan, dan peri-peri itu kan banyak banget..."

"Kita kan bisa pake sistem double casting. Mereka diganti-ganti peran, jadi kita bisa meminimalkan jumlah pemain..."

"Hamlet sepertinya agak berat...lagipula ceweknya cuman ada dua dan semua orang mati di akhir cerita..."

"Wah, yang mana, dong..?"

Akhirnya mereka sepakat memilih A Midsummer Night's Dream karena keunikannya yang melibatkan dunia manusia dan dunia peri yang bertemu karena dua pasangan kekasih yang melarikan diri ke hutan.

Katerina sangat menyukai keputusan itu, ia membuat janji pertemuan dengan mereka untuk membahas lebih lanjut tentang pementasannya. Setelah selesai, ia meminta mereka semua untuk tenang dan ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.

"Ini adalah surat dari Michael. Dia sudah pasang e-mail dan kalau kalian ingin membalasnya akan Miss berikan alamat e-mailnya. Kalo lewat pos, perangkonya kan mahal sekali.." Mereka semua mendengarkan baik-baik. "Suratnya dalam bahasa Inggris...mau dibaca langsung atau diterjemahkan?"

"Terjemahkan!" teriak mereka serentak.

"Hmm... Hallo, apa kabar... teman-teman? Apa kabar, Miss? Bagaimana keadaan kelas badungku tercinta? Aku rindu sama kalian. Sekolah di sini juga sudah dimulai, aku kan ikut semester musim panas, dan sudah mulai punya banyak teman yang asyik."

"Acara paling rame bulan kemaren waktu perayaan The 4th of July... Parade dan kembang apinya meriah sekali, tapi mereka kalah rame sama Indonesia, nggak ada lomba balap karung atau panjat pinang. Nama sekolahku adalah George Washington High School."

"Di sini aku masuk kelas 10. Lumayan, pelajarannya lebih mudah daripada di Bandung... soalnya kita masih pelajarin Aljabar dan Aritmetika. Kalian pasti sekarang masuk Trigonometri, kan? Selamat, ya..."

"Oh,ya..kalo Miss married nanti kirimin foto-fotonya, dong. Aku kan pengen liat bagaimana acaranya. Kasih tahu tanggalnya biar aku kasih hadiah (ha..ha..aku udah nyiapin, lho..)."

Katerina memandang berkeliling. "Kalian semua mau menulis surat balasan untuk Mike?"

Rata-rata orang mengangguk.

"Bagaimana kalau kita ngirimnya barengan biar perangkonya murah..." usul Denny.

"Mm... Miss punya ide, bagaimana kalau kalian tulis suratnya dan Miss kirimin pake e-mail, nanti balasannya Miss berikan pada kalian."

"Wah..nggak bisa nulis yang rahasia, dong...! Miss pasti tahu..."

"Bagaimana kalau kita semua bikin e-mail sendiri, jadi balasannya bisa langsung kalian terima... Kita bisa bikin mailing list karena nanti setelah lulus SMP kalian pasti berpisah..."

"Iya...tapi,kan nggak semua orang di sini gape teknologi. Banyak juga yang gaptek..." keluh Denny.

"Nanti aja, deh..kalau benar-benar udah mau lulus..."

"Elu kali, gaptek..!" ledek Andy. "Kalo gaptek ya gaptek sendiri aja, dong...jangan bawa-bawa orang."

Akhirnya mereka mendengarkan usul Laura. Ia memiliki kertas tipis di rumahnya yang sangat panjang dan mereka berhak menulisinya sesuai dengan urutan absen. Kertas itu cukup tipis untuk dimasukkan dalam amplop surat biasa hingga biaya prangkonya lebih murah.

"Mam... Who's Michael?" tanya Nicky keheranan. Ia tampak bingung melihat seisi kelas begitu bersemangat membicarakan surat itu.

"Well... he was a student in this class, and played as the leading actor in our last drama... He is now living in New York. We miss him very much..."

"Ow.." Nicky mengangguk. "That sounds nice."

Katerina tersenyum. "Yeah, it is nice.. " Ia beralih pada semua muridnya. "Well, I haven't taught you any song yet in this term. Would you like one?"

Semua mengangguk dengan semangat.

"OK. Hendry would you please borrow the guitar from the art room?"

Hendry mengangguk dan segera pergi keluar, sementara Katerina mengambil spidol dan mulai menulis di whiteboard.

"Lagu ini sangat indah dan syahdu. Di Amerika selalu dinyanyikan pada upacara kematian yang membuatnya terdengar sangat sedih. Mungkin sebagian dari kalian pernah mendengarnya..."

Amazing grace, how sweet the sound

That saves a wretched like me

I once was lost, but now am found

Was blind, but now am see

"Ada yang bisa menjelaskan lagu ini?" Ia menatap seisi kelas dengan penuh perhatian. Tak ada yang mengangkat tangan. "Lagu ini adalah suatu ungkapan hati yang bersyukur. Ia merasa bahagia karena hidupnya yang rusak telah dipulihkan—wretched itu artinya remuk, cacat, rusak, tak berguna—Ia menyamakan dirinya dengan orang hilang yang sudah ditemukan, orang buta yang kini bisa melihat. Kini ia kembali pada Tuhan dengan hidup yang sudah dipulihkan..."

Semua mendengarkan baik-baik. Hendry kemudian muncul dengan gitar dan menyerahkannya pada Katerina. Gadis itu memajukan kursinya ke tengah ruangan lalu mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu itu dengan sungguh-sungguh.

Semua diam dan tampak terpesona. Lagu itu memang sangat menyentuh. Katerina menyelesaikan lagunya lalu mengajak mereka semua bernyanyi dari awal. Semuanya tampak sangat menikmati lagu itu. Neill bahkan menyanyi sambil memejamkan mata.

"Aku suka sekali lagu ini... Kalau nanti aku mati, aku ingin lagu ini dinyanyikan..." katanya. Hendry yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum.

Mereka mengulang lagu itu berkali-kali. Sampai beberapa hari kemudian masih terdengar Amazing Grace dinyanyikan di kelas 3C. Katerina sangat terharu.

Amazing Grace...

How sweet the sound

That saves a wretched..like me...

***