Katerina menghubungi panitia festival Shakespeare untuk membatalkan pendaftaran kelompok kelas 3C yang telah ia lakukan diam-diam. Ia berniat membatalkan pertunjukan dan berkonsentrasi merawat Chris, tapi apa daya, panitia bilang ia tak bisa mengundurkan diri. Ia bingung sekali. Belum selesai di situ, ia mendapat panggilan dari Bu Amelia yang mengatakan bahwa ia menerima ancaman surat kaleng.
"Pelakunya dari kelas 3C," kata Bu Amelia gusar. "Mereka rupanya tidak bisa bertahan jadi anak yang baik..."
"Apa buktinya bahwa yang melakukannya adalah kelas 3C, Bu?" tanya Katerina.
Bu Amelia mengeluarkan kertas ancaman itu dan meletakkannya di depan Katerina. "Laura mengakui kertas ini miliknya yang akan digunakan untuk membalas surat Michael, disobek sedikit khusus untuk menulis surat ancaman bagi saya..."
Katerina membacanya dengan dada bergejolak.
---Sekolah jelek ini membuatku susah. Kepala sekolah harus bertanggungjawab---
Siapa gerangan anak didiknya yang senekat itu...? Ia tidak mengenali tulisannya.
"Mungkin kebetulan... Siapa pun bisa mengambilnya, kan?" bantah Katerina. "Saya tidak percaya anak didik saya bisa melakukannya."
"Saya pun tidak tahu apa lagi yang bisa dipercaya..." Bu Amelia mendesah. "Sementara saya akan menganggapnya keisengan yang berlebihan... tapi kalau hal ini terjadi lagi, kelas 3C akan diperiksa seksama." Beliau menengok keluar jendela, "Barusan diadakan razia mendadak... sepertinya guru piket mendapatkan tawanan... dari kelas Anda."
Katerina melihat Pak Ricky menggiring Neill dan Sara keluar dari kelas, dibawa masuk ke kantor Bu Amelia.
"Ini rambutnya gondrong, Bu... tak mau dipotong... dan yang ini menyimpan ganja."
Katerina sangat terkejut. Ia menatap Sara yang melengos acuh.
"Saya pikir rambut panjang atau pendek nggak ada hubungannya sama kepintaran..!" tukas Neill segera. "Saya menolak memotong rambut saya kecuali Ibu bisa memberi alasan kenapa saya harus melakukannya."
Bu Amelia tertegun, "Kamu..!? Setiap anak laki-laki wajib memotong rambutnya sesuai peraturan sekolah demi kerapihan... Entah bagaimana caranya rambut kamu harus dipendekkan untuk kerapihan.!"
Neill mengangguk. "Baik... tapi beri saya waktu sehari, saya nggak mau dicukur asal-asalan sama sekolah..."
"Baiklah." Bu Amelia tahu kehormatannya dipertaruhkan bila ia beradu mulut dengan seorang murid, karenanya ia mengalah. "Besok kamu temui saya dengan rambut sudah pendek!"
Ia menulis surat peringatan pada Neill lalu membiarkannya pergi. Sekarang giliran Sara. Ia sama sekali tidak tampak takut, berdiri menatap bungkusan kecil yang ada di atas meja Bu Amelia.
"Kalau mau hukum silakan... Nggak perlu banyak ceramah, deh..."
Bu Amelia bertukar pandang dengan Katerina.
"Apakah ini alasannya kamu dikeluarkan dari sekolah yang lama?" tanya Bu Amelia lembut.
Sara mengangguk. "Benar."
"Apa kata papa kamu tentang itu?" tanya Bu Amelia lagi.
"Entahlah..." Sara mengangkat bahu. "Dia nggak bilang apa-apa...'
"Tunggulah di luar, saya akan membuat surat panggilan untuk orangtua kamu..." Bu Amelia mendesah. Ia menoleh pada Katerina meminta pertolongan. Sara segera keluar. "Bagaimana pendapat Ibu?"
Katerina menggeleng bingung. "Dia memang punya masalah dan rasanya kita harus membicarakan ini dengan orangtuanya... Sayangnya... mungkin orang tuanya pun bermasalah..." Katerina agak bingung menjelaskannya. "Dia pernah bilang.. silakan panggil orang tuanya kalau bisa menarik perhatian mereka dengan surat panggilan."
Bu Amelia termenung. Ia menyimpan kembali surat panggilan yang telah ditanda-tanganinya ke dalam laci.
"Bu Katerina, masalah Sara saya serahkan kepada Anda... Saya beri waktu untuk menyelesaikannya secara pribadi..." Ia tersenyum, " Saya yakin Anda orang yang tepat untuk menanganinya."
Katerina mengangguk. Ia permisi keluar untuk mencari Sara, tetapi anak perempuan itu tidak ada di luar kantor Bu Amelia. Katerina bingung. Ia berjalan mengitari sekolah dan mencari Sara dimana-mana. Pikirnya, mungkin Sara berusaha kabur dari sekolah.
Akhirnya ia tiba di halaman belakang. Ia melihat pohon besar kesayangannya yang berdiri tegak di dekat tembok dan berpikir mungkin Sara akan menganggapnya tempat yang cocok untuk bersembunyi. Ia mendekati pohon itu dan melongok ke atas.
"Sara...!" panggilannya membuat Sara yang duduk di salah satu cabang tersentak kaget dan hampir terjatuh. Ia sedang membaca sebuah buku dan benda itu melayang ke tanah dalam keterkejutannya.
Katerina memungut buku itu dan melemparkannya kembali ke atas. Sara menangkapnya dengan baik.
"Terima-kasih." katanya acuh. Katerina tersenyum lalu bersiap-siap menggulung lengan kemejanya dan mulai memanjat. Sara kaget sekali. "Hei..Ibu mau apa?"
Katerina tidak berkurang kelincahannya selama bertahun-tahun ini dan tiba di samping Sara dalam waktu singkat. Ia tertawa sambil mengibas-ngibaskan debu dari pakaiannya
"Dari mana Ibu tahu saya akan ada di sini?"
"Well...ini bukan tempat yang asing buat Ibu.. Semester lalu ada juga murid nakal dari kelas 3C yang hobby bernaung di sini. Ini juga tempat favorit Ibu untuk merenung." Katerina tersenyum ramah.
"Michael itu, ya?" tanya Sara. "Kedengarannya dia adalah anak nakal yang berhasil Anda jinakkan, benar?'
"Tidak benar." tukas Katerina cepat. "Saya bukan seorang penjinak monster atau semacamnya... Dia berubah oleh keinginannya sendiri. Michael cuma merasa kesal karena orangtuanya bercerai dan tidak memperhatikannya... Akhirnya ia sadar bahwa kehidupannya berharga, karena ia memiliki keluarga lain yang sangat peduli padanya, yaitu teman-teman sekelasnya, dan saya sendiri..."
"Oh," Sara melengos. "...bagaimana dengan surat peringatannya?"
"Bu Amelia memutuskan untuk menundanya. Tapi beliau mengharuskan kamu untuk tinggal di sekolah selama 30 menit usai sekolah setiap hari sebagai hukuman."
"Oh,"
Suasana hening beberapa lama.
"Kamu suka di sini?" tanya Katerina kemudian.
"Yah..begitulah... Rasanya duduk di sini menenangkan..." jawab Sara pelan. "Rasanya...akrab."
"Sama." Katerina mengangguk. "Saya sering ke sini dan bicara dengan pohon ini..."
Sara menoleh dengan pandangan tertarik. "Sungguh?"
"Hmh..sungguh."
Sara tersenyum untuk pertama kalinya. "Saya juga."
"Oh, ya?" Katerina menatap Sara keheranan. "Kamu tahu...rasanya kamu mirip sekali dengan Ibu dulu. Waktu SMP, Ibu terkenal sebagai anggota gerombolan anak paling nakal di sekolah, teman Ibu semuanya laki-laki dan biang masalah.. Malahan ada satu orang yang selalu punya ide konyol. Dia pernah menyetir mobil papanya dan membawa kami semua ke Dufan."
"Tapi kan dia belum punya SIM?"
"Itulah serunya... Dia berhasil menyamar menggunakan kumis palsu, jadi keliatannya tua sekali.. Dia memang hebat." Katerina tertawa mengenangkan masa-masa itu. "Dia juga pernah mengadakan kontes keberanian dengan berbagai permainan berbahaya, misalnya menantang orang untuk menyatakan cinta, menginap di kuburan Belanda semalaman, menendang petasan cabe... Juga pernah mengadakan lelang budak.."
"Lelang budak?"
"Iya... Yang terjual sebagai budak harus melakukan semua perintah pembelinya selama seminggu. Waktu itu heboh sekali..."
Sara ikut tertawa. "Pasti orangnya lucu sekali.."
"Memang."
Mereka terdiam lagi. Sara kemudian meneruskan bacaannya. Katerina mengamati judulnya dengan penuh minat.
"The Child Called It*." Ia mengerutkan kening. "Itu buku tentang anak yang disiksa ibunya, kan?"
"Iya. Isinya sangat menyedihkan..." jawab Sara pelan. "Ini diangkat dari kisah nyata."
"I have read it. Memang sangat menyedihkan." Katerina bertanya-tanya dalam hati apakah Sara juga mengalami perlakuan yang sama di rumahnya. "Selain membaca dan olahraga... apalagi hobi kamu? Kalau saya perhatikan bentuk tanganmu, sih... kamu suka musik, ya?"
Sara mengangkat wajahnya keheranan. "Anda tahu dari mana?"
"Jari-jari kamu kulitnya kapalan, tanda sering memetik gitar. Benar?"
"Benar." Sara tersenyum lagi. "Daripada saling menebak, lebih baik Ibu bilang terus terang, Ibu maunya apa?'
"Saya ingin bisa mengerti kamu... Kenapa kamu berbuat hal-hal yang menyusahkan dirimu sendiri. " Katerina menatap Sara dengan lembut. "Kamu tidak mengkonsumsi ganja karena kamu aktif berolahraga... Kamu sengaja mengakuinya karena mengharapkan surat panggilan untuk orangtua... Mungkin kamu kesepian. Dulu... saya juga merasa begitu. Saya pindah ke sekolah baru dan bersikap menentang seluruh dunia karena kecewa, papa saya meninggal tiba-tiba dalam kecelakaan lalu lintas dan sejak itu keadaan di rumah berubah dingin. Mama dan saya tidak pernah saling bicara lagi. Saya terpaksa mengatasi semua kesedihan sendirian dan akhirnya menjadi anak nakal. Untungnya saya memiliki teman-teman yang baik dan kami saling menolong. Ya, kami semua bermasalah.. kami semua nakal, tapi kami saling menjaga..."
"Kalau begitu Ibu seharusnya mengerti saya..." kata Sara pelan. "Mama saya meninggal waktu melahirkan saya, dan saya dititipkan pada tante untuk dirawat. Dua tahun yang lalu saya kembali tinggal sama Papa.." Ia terdiam. Katerina tahu tak baik bila ia memaksa. Ia diam juga, menunggu Sara menyelesaikan ceritanya. Lama sekali Sara bergulat dengan perasaannya, butir-butir airmata meleleh ke pipinya. "...Papa nggak pernah suka sama saya... Dia cuma melakukan kewajiban sebagai orangtua, menampung saya di rumahnya.. Tapi dia nggak pernah ada... Dia selalu sibuk bekerja ke luar kota.. ke luar negeri.. Selalu menghindari saya.."
"Mungkin dia benar-benar sibuk.."
"Surat panggilan demi surat panggilan datang dan dia nggak pernah bicara apa-apa... Saya sudah dua kali dikeluarkan dari sekolah... dan dia nggak bicara apa-apa..." Sara menekap wajahnya dengan kedua tangan. "...Saya.. lebih baik dipukuli seperti Dave Peltzer... daripada diacuhkan seperti ini..."
Katerina merangkul Sara dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Kamu harus tabah, Sara.. Mungkin papamu masih sedih karena kematian mama kamu... Kamu tidak boleh mencari perhatiannya dengan merusak diri... Kamu justru harus membuatnya bangga dengan nilai-nilai yang bagus. Guru-gurumu bilang kamu sebenarnya pintar..."
"Percuma, Bu... Saya pernah juara umum di sekolah, saya pernah memenangkan kontes piano...saya pernah memenangkan turnamen Basket... Dia tidak bangga sedikit pun. Saya sudah berusaha menggantikan anak laki-laki Papa... tapi saya nggak bisa menggerakkan hatinya..."
Katerina juga bingung. Ia menepuk-nepuk bahu Sara dengan lebih lembut. Ia tahu keadaan Sara sungguh malang.
Setelah tangisnya mereda, Sara tampak salah tingkah. Ia cepat menghapus sisa-sisa airmatanya dan melepaskan diri dari rangkulan Katerina. Ia melompat turun dengan bukunya lalu berlari pergi.
Katerina termenung lama sekali.
***
.
Keesokan harinya ia melihat Sara berubah menjadi lebih pendiam, tapi sikapnya tidak lagi sekasar dulu. Neill juga sudah muncul dengan rambut yang pendek. Lega rasanya melihat masalah pelan-pelan terselesaikan.
Hari itu kertas surat untuk Michael selesai diedarkan. Semua telah menulis di situ termasuk Nicky dan Neill, Katerina menyerahkannya pada Sara yang belum menulis apa-apa.
"Apa yang harus saya tulis? Saya bahkan tidak kenal orang ini.." katanya.
"Tidak apa-apa. Kalau ada orang lain yang bisa mengerti kamu, dialah orangnya... Mungkin kalian bisa jadi teman baik." Ia tersenyum melihat Sara mengangkat bahu dan mengeluarkan pulpennya.
Katerina kembali ke depan kelas dan mengambil tumpukan naskah A Midsummer Night's Dream yang sudah diedit jadi berdurasi kira-kira 60 menit dari versi aslinya yang hampir tiga jam. "Di sini ada naskah yang akan kita pentaskan. Masing-masing mengambil sebuah dan pelajari di rumah. Minggu depan akan diadakan audisi di aula sepulang sekolah. Kalian dipersilakan memilih peran yang kalian sukai."
Ia membagi mereka masing-masing satu naskah. Setelah selesai, ia menghampiri Sara dan membisikkan sesuatu padanya, "Nanti sepulang sekolah, kamu tunggu Miss di sini... ada yang mau saya bicarakan."
Sara mengangguk.