Kenangan yang mana yang masuk di dalam ingatanmu ketika ia hancur di sapu oleh dinginnya air yang membeku di hati.
Tak tersampaikan hingga tak sedikit pun terlintas di benak ini. Apa yang ingin tersirat jika tak ada terbersit titik-titik bayangan hitam.
Aku melupakan ketika itu tak layak ada di ingatan ini.
Malikah, apa benar kau trauma karena dirinya tak ada lagi karena ketidak wajaran dalam kepergiannya? atau kau tak bisa berpikir apa itu yang di sebut dengan kehilangan? atau.. masih ada yang lain? Semua layak terucap dan tak bisa keluar dari mulut ini.
***
"Habis ini kita ke kilo 32, gratis!" kata Melinda semangat.
"Kalau Gratis cepat banget ya."
"Wajah gratisan sudah tertera dari dulu di wajahku. Yang penting Heppy!" kata Melinda menimpali candaan Malikah.
"76!" kata Fadil menyusul kedua wanita yang senda gurau di sambut tawa Fadil.
***
"Ohy, Fadil. Kamu ngak minta kontaknya Malikah?" kata Melinda sambil menepuk pundaknya dari belakang.
"Belum saatnya," kata Fadil dingin.
"Kenapa? Dia sudah di depan mata. Dan Malikah sepertinya masih mencintaimu."
"Entahlah," jawab Fadil ragu.
"Jangan sampai dia hilang baru kamu menyadari, dia saat ini ada di depanmu!"
"Maksudmu?"
"Entahlah."
***
"Halo,"
...
"Maaf sepertinya aku langsung balik ke rumah. Aku titip Malikah ya..."
"Enggak ah, aku pulang bareng kamu saja."
"Emm, sorry aku langsung mampir ke suatu tempat. Ngak apa ya.. sorry!"
"Emm, baiklah." Malikah pasrah.
***
"Kita jadi jalan?" kata Fadil.
"Fadil, kali ini yang terakhir pertemuan kita. Aku harap kamu tak akan pernah temui aku walau pun aku yang meminta."
"Kenapa? Kenapa kamu selalu punya alasan yang tidak jelas untuk menghindariku?" kata Fadil menahan amarahnya.
"Aku ingin pergi secepatnya dari sini." Malikah mendorong tubuh Fadil yang berusaha mengintimidasi dirinya.
***