Chereads / The Secret Of My Dream - tahap revisi / Chapter 6 - 6. Menyebalkan

Chapter 6 - 6. Menyebalkan

Hingga sampai di halaman sekolah. Mata mereka saling bertemu sebentar ketika pria itu menyuruhnya duduk, kemudian pria itu langsung mengalihkan pandangannya dan duduk di sebelah Nain yang hanya berjarak 2 meter. Entah apa yang di pikirkan pria berwajah tampan itu dengan pandangan lurusnya, tak lagi melirik Nain yang berada di sebelah nya. Berbeda dengan Nain yang terus menatapnya karena penasaran. Jantungnya berpacu cepat. Ia tidak menyangka, wajah pria di samping nya benar-benar mirip seperti di mimpi nya.

"(Apakah dia nyata? Dia pria misterius itu? Bagaimana bisa aku sering memimpikan seseorang yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya? Tapi aku tepat di sebelah nya, terlebih dia menarikku ke sini. Apakah dia mengenalku? Jadi, Pria yang selalu aku nantikan di dalam mimpiku benar-benar nyata? Ini sungguh membuatku bingung? Aku harus menanyakannya),"

Nain hendak membuka suara, namun seketika ia teringat dan berpikir kembali.

"(Tunggu, bukankah aneh jika aku menanyakan mimpiku langsung padanya? Bagaimana jika dia bukan pria misterius itu? Ya ampun!)" Nain mengernyit. Kemudian kembali menatapnya, "(Baiklah. Pertama aku harus menanyakan kenapa dia membawaku ke sini),"

Fiyyin mendengus kesal mendengar semua ucapan Nain yang bisa ia dengar melalui telepati. Rasanya ingin sekali ia menyuruhnya berhenti berpikir namun tidak mungkin. Gadis ini akan menganggapnya aneh jika ia mengaku bisa mendengar isi pikirannya.

"Kau... " belum sempat Nain menyelesaikan ucapannya, Fiyyin langsung membuka suara.

"Dengar, jangan katakan apapun. Aku menarikmu kesini hanya untuk menghindari gangguan dari manusia-manusia itu. Jika kau khawatir ketinggalan pelajaran, guru akan mengadakan rapat hingga pelajaran berakhir. Jadi, duduk saja dengan tenang dan diam!" Fiyyin menyenderkan punggungnya dan melipatkan kedua tangannya, kemudian memejamkan matanya.

Nain mengangguk mengerti, "(Ahh, menghindari keruman tadi maksudnya? Dan tentang pelajaran? aku tidak begitu memikirkannya saat ini. Tunggu, apa dia memanfaatkanku?!)" Nain berdengus kesal dan memalingkan pandangannya. "(Benar! dia bukan pria misterius itu)," kali ini Nain yakin. Nain kembali melirik sebentar kemudian berpaling, "(Pria ini ... ternyata sungguh menyebalkan. Bagaiman dia bisa mendapatkan wajah itu? Tidak seperti yang kuduga. Mendengar ucapannya sungguh membuatku ingin membuatnya seperti kertas yang remuk dan)," Nain menyatukan ke dua tangannya dan membuat remasan kosong.

"(Wanita ini! Tidak bisa membuatku tenang. Bukan hanya di alam mimpi, tapi di alam fana dia sungguh berisik! Akh, astaga. Telingaku rasanya tersumpal dengan ocehannya)," kata Fiyyin kesal dalam hati selama Nain bicara dalam hati. Sontak Fiyyin membuka matanya karena sudah tidak tahan dengan Nain yang sedari tadi tidak berhenti mengoceh dalam hati. Fiyyin membalikan badannya cepat dan menghentakkan kursi.

"Kau bisa diam tidak?!"

Nain tergelak mendapati pria itu berteriak tiba-tiba, terlebih saat ini wajah mereka sangat dekat untuk beberapa saat.

"(Tampan... Tidak! Astaga, kenapa pria ini memarahiku? Memangnya aku salah apa? Aku bahkan dari tadi hanya mengeluarkan satu kata. Menyebalkan!)" Nain mengernyit. Kemudian Nain menarik sudut bibirnya, membuat senyuman kecil, "(Kalau begitu ...)" segera Nain meletakkan tangan nya di wajah Fiyyin dan mendorongnya jauh dari hadapannya. Telah selesai, Nain menatap tajam pria dihadapannya dengan penuh kekesalan.

"Kau ini! Dari tadi hanya kau yang berbicara, dan kau memarahiku dengan kesalahan yang tidak kulakukan?!"

Fiyyin menghentikan membersihkan wajah nya dan membalas mengoceh,

"Beraninya kau meletakkan tanganmu di wajah ku!"

"Kenapa?! Tidak suka?!" kata Nain kesal, kemudian cepat berdiri dari duduk nya dan berbalik meninggalkan Fiyyin yang masih menatapnya sinis.

"(Menyebalkan!)" kata mereka bersamaan.

Nain berjalan cepat, "Sungguh menyebalkan! Beruntung dia bukan pria misteriusku." Nain bersyukur.

"Ahh... Aku jadi tidak ingin tidur setelah melihat pria menyebalkan itu!" Nain mengacak rambut nya sementara berjalan menuju kelas.

"Ahh... Hancur sudah mimpiku, kenapa harus dia yang berwajah sama dengan pria misteriusku." Nain mengepalkan tangan nya dan semakin mempercepat jalan nya.

Saat tiba di depan kelas. Detik berikutnya bell berbunyi, Nain seketika teringat dengan Zei yang tidak masuk sekolah. Segera ia mengambil tas nya dan berjalan menuju rumah Zei, melewati murid yang menatapnya penuh tanya.

***

Nain menghela napas dan menatap sekitar rumah Zei. Berjalan masuk dan mengetuk pintu rumah nya. Beberapa detik berlalu, namun tidak ada jawaban. Nain kembali mengetuk hingga berulang kali, namun jawaban tetap hening.

Nain berpikir untuk kembali pulang ke rumah. Saat hendak melangkah, ia menemukan surat yang ia injak di bawah pintu. Nain mengulurkan tangan nya dan membukanya. Di sana tertulis. "(Nain, maaf membuatmu khawatir. Ponselku rusak jadi tidak bisa memberimu kabar. Aku hanya pergi ke rumah Ran karena ia sedang sakit setelah yang terjadi padanya semalam. Jangan terlalu cemas. Sampai nanti. Jaga dirimu)."

"Syukurlah, Zei baik-baik saja. Seharusnya aku menyuruhnya kemarin untuk memastikan keadaan Ran, tapi, Zei sepertinya tidak akan mendengarkanku. Semoga Ran baik-baik saja." Nain menghela napas lega. Nain menatap sekitar dan tersenyum kecil, "Kalau begitu lebih baik aku pulang sekarang sebelum gelap. Perutku juga sudah lapar, belum sempat makan siang tadi."

***

"Di mana hantu itu. Kenapa belum kembali?" Galtain mundar-mandir khawatir di depan singgasana kerajaan Jalis. Menatap sebentar-sebentar pintu gerbang istana, berharap Fiyyin segera datang.

Hartis tersenyum dan mulai bernyanyi, mengejek anaknya.

"Di mana... Di mana... Di mana..."

"Ayah... " Galtain menghentikan langkahnnya dan menatap kesal pada Hartis.

"Sudahlah, nak. Fiyyin sudah seperti anakmu saja sampai kau menghawatirkannya seperti itu," Hartis melanjutkan ledekannya.

"Ayolah, yah. Aku hanya menghawatirkan si hantu itu. Kau tau, aku menganggapnya melebihi sahabat," jelas Galtain dan kembali duduk di sebelah ayahnya.

"Melebihi sahabat? Gal?" Hartis tertawa geli mencoba mengejek anaknya lagi.

"Sudah berdebatnya. Pacarmu di sini," timpal Fiyyin, berjalan mendekati Galtain dan Hartis sambil tersenyum.

Hartis dan Galtain menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Menghela napas lega kemudian kesal dengan ucapan yang baru saja mereka dengar.

"Pacar?"

"Ahahaha...." Hartis tertawa puas. Memukul pundak anaknya karena geli.

"Yang benar saja, ayah. Sini kau Fiy, dasar hantu pembawa pengaruh buruk." Galtain bangkit dari duduk nya dan menghampiri Fiyyin. Kemudian Melilit leher Fiyyin menggunakan kedua tangan nya sekuat tenaga.

Wajah Fiyyin memerah. Berusaha menarik tangan galtain yang melilit lehernya, berharap Galtain melepaskan tangannya. "Akh...."

Hartis menggeleng setelah tertawa melihat tingkah mereka.

"Sudah, Gal. Lepaskan. Ayah ingin bicara serius padanya." Hartis melerai.

Galtain tahu jika ayahnya tengah serius. Dengan terpaksa Galtain melepaskan tangannya dan mendengus kesal, "Cih! Tidak seru."

Fiyyin tersenyum dan memijit pelan lehernya. Kemudian menatap Hartis tersenyum hormat, lalu menekukkan satu kaki nya dan membungkuk, bersiap mendengarkan Raja Hartis yang hendak berbicara padanya.

"Dengar, Fiy. Aku tahu kau sibuk dengan urusan keluargamu. Tapi imgat tanggung jawabmu sebagai Knight di sini." Fiyyin mengangguk mengerti dan kembali mendengarkan, "Tadi, pelayanku melihat thawab Vaqsyi mengikutimu hingga ke alam fana. Aku khawatir ia memberi tahu Vaqsyi tentang melemahnya pertahanan di sini saat kau tidak ada." jelas Hartis lagi.

"(Thawab Vaqsyi mengikutiku?)" Fiyyin heran.

"Baik, ayah. Aku akan mengatur waktuku." kata Fiyyin dan kembali berdiri.

Galtain kembali berdiri dari duduk nya dan menatap Hartis sebentar.

"Tenang saja ayah, justru Vaqsyi tidak ingin Fiyyin ke alam fana. Jadi aku harus meminjam Fiyyin sekarang. Oke." timpal Galtain dan berjalan menarik Fiyyin.

"Ah iya, Fiy. Aku belum memastikan alasan Vaqsyi tidak ingin kau di alam fana. Tapi tetaplah kesana dan kembali sebelum gelap." lanjut Galtain sebelum akhirnya meninggalkan Hartis.

"Tidak sopan!" gumam Hartis menatap Galtain kesal.