"Kau sengaja!"
Zei tak menggubrisnya. Terus tertawa seakan-akan lucu menonton kartun yang ia lihat.
Wajah Fiyyin seketika memerah melihat Zei terus berpura-pura tak melihatnya yang ia tahu Zei bisa melihatnya mengingat pertemuan pertama mereka di kamar Nain. Saat itu, Zei bergeser sedikit saat menyadari Fiyyin berdiri di depannya agar tidak menabraknya.
Fiyyin menyeringai kemudian mematikan tv dengan jentikan jari.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Masih ingin berpura-pura tidak melihatku?!"
Zei mengetuk-ngetuk remotnya dan mengarahkan ke tv, "Sepertinya, listriknya mati?"
Fiyyin semakin kesal. Matanya membulat. "Yang benar saja! kau," Fiyyin melirik ke arah lampu di langit-langit rumah. Sepertinya ide bagus untuk menyalakannya agar Zei berhenti mengelak.
Zei masih asik mengetuk-ngetuk remot. Ia tahu jika lampu menyala namun ia tetap berpura-pura tidak melihatnya.
"Sepertinya listriknya memang mati."
Fiyyin geram. Ternyata Zei masih berpura-pura. "Lihat di atas mu, bodoh!" Fiyyin hendak mendongak paksa kepala Zei namun terhenti melihat kedatangan Nain.
"Zei?" sapa Nain. Berjalan menuju sofa bersama Ran.
Zei tersenyum. Untunglah Nain datang sebelum hantu di hadapannya ini benar-benar mencekiknya. "Duduklah,"
Nain dan Ran mengangguk bersama. Kemudian duduk di masing-masing sisi Zei.
"Kenapa tidak menyalakan tv?" tanya Nain merasa suasana sunyi.
"Ahh, listriknya sepertinya mati." jelas Zei.
Nain heran. Hendak menoleh ke langit-langit belakangnya yang ia rasa lampunya hidup, "Tapi lam," kata Nain terhenti karena Zei menghalanginya.
"Sudahlah, lagi pula kita mau membicarakan mengenai hal tadi pagi."
"Ya? Iya," Nain mengangguk.
"Menyebalkan! Lihat saja nanti."
Fiyyin berjalan menuju sofa sebelah dan membangunkan Galtain. Tersenyum kecil sambil melirik Zei.
"Gal! Cepat bangun. Ayo pindah ke kamar atas. Cepat!"
Galtain terbangun lemas. Tak menghiraukan lagi Fiyyin yang membangunkannya menggunakan kaki dan berjalan sempoyongan ke kamar atas. Galtain benar-benar ngantuk berat.
Zei tergelak. Hantu pemalas itu benar-benar membuatnya kesal. "Jin cabul! Beraninya dia pindah ke kamar Nain ke dua kalinya."
Fiyyin tertawa kecil dan berlalu meninggalkan lantai bawah.
"Ran, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku akan menginap di sini menemani Nain. Banyak yang harus ku bicarakan dengannya," kata Zei.
Nain merasa tidak enak melihat Ran setelah mendengar ucapan Zei, "Tidak, Zei. Kau harus pulang dan mengantar Ran. Bahaya baginya untuk pulang sendiri. Kita bicarakan besok saja mengenai hal tadi pagi. Lagi pula besok kita masuk sekolah."
"Tapi," sanggah Zei.
Ran lekas berdiri dan menarik tangan Zei. "Ayo, Zei. Nain benar, ini sudah malam dan besok kita harus sekolah."
Zei masih menahan duduknya dan melirik Nain khawatir. Berat baginya untuk meninggalkan Nain bersama ke dua jin pria itu. Tetapi Nain tersenyum meyakinkan Zei.
Ran kembali menarik tangan Zei dan berjalan bersamanya. "Dah, Nai. Sampai bertemu besok."
Nain melambai. Zei masih menatap Nain hingga di luar dan berseru, "Hati-hati, Nai! Kebas kasurmu sebelum tidur dan jangan berpakaian terbuka."
Nain heran lalu mengangguk.
***
Galtain hendak merbahkan tubuhnya di atas sofa, namun Fiyyin lebih dulu menjatuhkan tubuhnya di sana. Galtain berdecak kesal dan mengusirnya sempoyongan karena mengantuk.
"Minggir! Aku yang lebih dulu ingin berbaring di sini."
"Apa masalahmu? Aku lebih dulu merebahkan tubuhku di sini." Fiyyin mengelak. Melirik kasur dan menyeringai, "Lihat itu. Di sana ada kasur. Tidurlah di sana."
Galtain menoleh sempoyongan kemudian tersenyum. Berjalan menuju kasur dan merebahkan tubuhnya di sana.
"Ahh... Ini sangat nyaman." Galtain merentangkan tubuhnya kemudian melirik Fiyyin dan bergumam. "Jangan menyesal menyuruhku di sini."
Fiyyin tersenyum penuh arti, "Tidak akan,"
Galtain tertidur pulas. Fiyyin berbalik menutup wajahnya di punggung sofa dan menutup telinganya dengan bantal sofa.
Tak lama, Nain masuk ke kamarnya dan memperhatikan sekitar.
"Kenapa Zei menyuruhku mengebas kasur dan mengatur pakaianku? Tidak biasanya."
Nain mulai berjalan ke arah kasur dan mengambil sapu lidi di dekatnya. Mengibas-ngibaskan kasurnya dan,
Brukkk!!! Galtain terjatuh dari atas kasur.
"Auw!!!" Galtain berteriak. Rasa sakitnya membuat kantuknya hilang seketika.
"Astaga! Yang benar saja. Beraninya dia mengusirku dengan cara seperti ini!" Galtain menatap Nain kesal. Mengusap-ngusap tubuhnya yang terasa sakit kemudian melirik ke arah Fiyyin yang dengan santainya tertidur dan menutup telinganya. "Fiy! Kau sudah tahu akan seperti ini. Beraninya kau mengerjaiku!" teriak Galtain kesal. Sahabatnya itu benar-benar menyebalkan.
***
Zei segera mengambil hp nya saat tiba di rumah dan mengirim pesan.
"Nai, apa kau sudah tidur?"
"Kau melakukan semua yang aku katakan padamu, kan?"
10 menit berlalu. Zei masih menatap hp nya. Nain belum membalas pesannya dan membuatnya semakin khawatir.
"Apa yang kau lakukan, kenapa belum membalas pesanku." Zei masih menatap hp nya. "Apa kau sudah tidur? Bersama makhluk itu? Ahk, yang benar saja. Aku tidak bisa berpikir jernih."
***
Pagi menyambut. Galtain bangun lebih awal dari Fiyyin dan Nain yang masih tertidur.
Galtain mengubah ukuran kecilnya menjadi normal setelah tertidur di atas punggung sofa dan bangkit. Menatap sekitar sejenak dan pandangannya tertuju pada Fiyyin yang masih tertidur pulas. Kemudian beralih menatap Nain yang juga masih tertidur. Saat itu juga Galtain terkejut dan heran.
"Apa yang terjadi? Kenapa Fiyyin tidak memasuki alam mimpi gadis itu?"