Sekitar 70.000 pasukan siap perang terkumpul. Ini yang membuat Fiyyin bersemangat. Hanya butuh sekitar 500 pasukan lagi yang harus ia kumpulkan, setelah itu ia akan bebas tinggal di alam fana dan menjadi alasan baginya untuk tinggal.
Sesuai rencana, Fiyyin akan tinggal di alam fana dengan tujuan memutar balikan keinginan Vaqsyi yang sebenarnya tidak menginginkan keberadaannya di alam fana. Fiyyin masih penasaran apa alasan Vaqsyi melarangnya di alam fana.
Terlebih sekarang ia sudah mendaftar sekolah di alam fana. Mudah baginya untuk membatalkannya, namun setelah ia pikir kembali. Dengan ia bersekolah di sana, akan lebih mudah mengawasi Nain di sana. Terlebih ini akan menjadi alasannya untuk tinggal.
Dengan gagahnya Fiyyin berdiri di atas istana Jalis IX. Menatap seluruh pasukan berbaris rapi. Tersenyum manis berwibawa dan mengarahkan pasukannya untuk selalu siaga di tempat yang telah ditentukan. Telah selesai dengan urusannya, Fiyyin berjalan ke dalam istana dan memasuki ruang rapat.
Satu meja panjang dengan beberapa kursi yang berhadapan telah siap dan di duduki. Kecuali kursi kebesaran raja dan dua kursi khusus di dekat raja masih kosong.
Tak lama Fiyyin masuk dan duduk di antara dua kursi tersebut. Diikuti oleh Galtain dan Raja Hartis. Dan rapat istana dimulai.
"Salam hormat kami, Raja!" ucap seluruh peserta rapat saat Raja Hartis menduduki kursinya.
"Mulailah," Hartis mempersilahkan.
Semua membicarakan masing-masing tugas dan persiapan di isatana, termasuk perjanjian antara Fiyyin sebagai Knight di istana.
Beberapa jam kemudian, rapat berakhir dengan damai.
Fiyyin tak henti-hentinya tersenyum setelah seluruh penghuni rapat keluar dan yang tersisa hanya dirinya, Galtain dan Hartis.
"Apa yang membuatmu bahagia?" tanya Hartis heran, diikuti oleh Galtain yang ikut bingung.
Fiyyin mengakhiri senyumnya dan menunduk hormat, "Karena tinggal 500 pasukan lagi dan hamba hanya butuh sehari saja mengumpulkannya. Lalu setelah semuanya siap, hamba mohon izin kembali untuk tinggal di alam fana sementara waktu. Bolehkah Raja?"
Hartis tersenyum, "Apa maksudmu? Tentu saja boleh. Bukankah sudah ada perjanjian, kau akan bebas kemanapun setelah mengumpulkan prajurit perang sebanyak 7500 pasukan perang,"
"Benar, dan... Aku ingin ikut bersamamu. Ya, ayah?" sahut Galtain cepat.
Hartis menatap Galtain horor. Galtain lekas menutup mulut disela senyumnya. Kembali Hartis menatap Fiyyin dan melanjutkan ucapannya.
"Pergilah setelah pekerjaanmu selesai, nak. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik sebagai Knight di istana ini. Aku mengizinkanmu." lanjut Hartis.
Fiyyin tersenyum dan mengangguk,
"Terima kasih, Raja. Aku akan mengurus pekerjaanku yang belum selesai dengan baik sebelum aku meninggalkan istana."
Hartis mengangguk dan beralih menatap Galtain yang masih tersenyum penuh mohon.
"Kau, cepat selesaikan pekerjaanmu! Mencuci piring, menyapu, mengepel, mengumpulkan makanan, dan lainnya."
Galtain mengerutkan dahinya, "Yang benar saja, ayah. Sejak kapan aku melakukan semua itu."
Fiyyin dan Hartis tertawa setelah melihat wajah Galtain yang berubah masam setelah Hartis mengerjainya.
***
"Bagaimana? Apa ada sesuatu, Zei? aku takut." bisik Nain dari belakang punggu Zei sambil memperhatikan sekitar dengan waspada.
Zei berbalik dan menggenggam tangan Nain. Mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Ayo! Ikut aku." sambil menarik tangan Nain.
Nain seketika terkejut setelah perlakuan Zei. Rona merah hadir di pipinya dan membuatnya diam terpaku.
Zei terhenti melihat Nain terdiam tak mengikutinya. "Nai?" Nain tersadar, lalu Zei kembali menarik tangannya menuju sofa ruang tamu di lantai bawah.
"Duduklah." ucap Zei seiring memegang kedua bahu Nain. Nain duduk lalu menatap heran pada Zei yang duduk di lantai.
Zei menyadari Nain menatapnya bingung dan memastikan, "Aku hanya ingin menatapmu dari bawah sini." zei tersenyum.
Nain mengangguk mengerti dan membuang perasaan luluhnya, "Baiklah, Zei. Cepat beritahu aku, apakah di sini memang ada makhluk itu?"
Zei tersenyum dan menggenggam kedua tangan Nain. "Tenang saja, Nai. Tak ada apapun, sekarang bersiaplah untuk tidur."
"Benarkah? Tidak ada apapun? Tapi tadi siang," perkataan Nain terhenti seiring senyuman Zei yang terlukis manis dan menyela perkataannya.
"Aku akan menemanimu di sini."
Nain berdiri perlahan dan kembali bertanya. "Tapi," Nain merasa canggung karena sudah lama Zei tidak tidur di rumahnya. Terakhir kali Zei menginap sebelum orang tuanya meninggal. Dan kini hanya mereka berdua rasanya agak aneh. Tapi, rasa takutnya kini lebih penting. Lagi pula ia mempercayai Zei sepenuhnya.
"Baiklah. Jangan tinggalkan aku."
Zei mengangguk dan berdiri. Lalu mengelus pelan puncak kepala Nain dan tersenyum.
Nain tersenyum dan berlalu meninggalkan Zei. Zei lekas berbaring dan menatap langit-langit rumah sambil tersenyum. Sesekali mengelus dadanya yang merasa jantungnya berdetak semakin cepat.
Nain masuk kamar dengan waspada. Menatap kiri dan kanan bergantian. Meskipun Zei yang memiliki indra keenam mengatakan sudah tidak ada lagi makhluk tak kasat mata yang ia lihat. Namun tetap saja kejadian tadi pagi masih menghantuinya.
Nain segera menutup jendelanya yang masih terbuka dan bersiap untuk tidur. Tak lama ia terhanyut dalam mimpinya.
Tak!
Tak!
Tak!
Suara langkah kaki terdengar jelas seiring Nain berjalan. Ia mencoba mencari jalan keluar, namun nihil. Gua ini begitu gelap, sehingga ia hanya bisa mengandalkan indera perabanya. Memegangi dinding gua yang menuntunnya berjalan.
Angin berhembus terasa dingin memasuki tubuhnya seperti menusuk-nusuk tulang rusuknya. Ia mencoba melawan rasa takutnya hingga menemukan jalan keluar.
Akhh! Brukkk! Nain terperosot di tengah licinnya tanah yang berlumut. Air matanya mulai jatuh dan membanjiri pipinya.
"Aku takut," tangis Nain yang tak tertahankan lagi. Menangkup kedua lututnya dan memejamkan kedua matanya. Berharap seseorang yang selalu ia nantikan datang menolongnya. Namun rasa itu pupus saat ia mengingat kembali kejadian sebelumnya, saat pria itu tidak hadir di mimpinya. Dan ini sudah terlalu lama, namun pria itu masih belum datang. Nain semakin merasakan sesak di dadanya dan memukulnya berkali-kali, mencoba menahan tangis yang menyesakannya.
Apakah aku akan mati di sini? Di dalam mimpiku? Ibu! Ayah! Tolong aku!
Teriak Nain dalam hati. Tak lama tangan yang begitu dingin memegang lengannya dan menariknya paksa berdiri. Membuat Nain terhuyung dan jatuh tak jauh dari tempat sebelumnya. Nain menjerit. Namun perlahan kedua tangannya diraih lembut.
Tok! Tok! Ketukan pintu yang dari tadi terdengar membangunkan nya. Zei segera membuka pintu karena sudah cukup lama ia mengetuk namun tidak ada jawaban. Zei terkejut mendapati Nain yang terduduk dengan wajah sangat pucat.
"Apa yang terjadi padamu, Nai?" Zei panik dan mencoba meraih tangan Nain.
"Dingin sekali!"
"D-Di-ngin," ucap Nain terbata-bata, lalu merangkup tubuh Zei. Berharap mendapati kehangatan.
Zei membalas rangkupannya, "Apa yang terjadi?"
"Te-taplah se-perti ini. A-ku ha-nya butuh 5 me-nit..." Nain memejamkan matanya.
Zei mengangguk dan menunggu lima menit berlalu, karena bingung harus melakukan apa, sementara Nain memeluknya sangat kuat. Zei mencoba meraih selimut di sebelahnya yang tergulung berantakan dan lekas menutupkan seluruh tubuh Nain agar hangat.
Lima menit berlalu. Tubuh Nain kembali normal. Nain seketika tersadar dan membuka matanya. Nain tergelak. Melihat dirinya memeluk Zei. "Apa yang aku lakukan? Apa aku sudah gila?" lalu secepat kilat Nain melepaskan pelukannya.
"Ah, Zei. Maafkan aku. A-aku tidak bermaksud," ucapannya terhenti oleh Zei yang kembali memeluknya.
"Berhentilah membuatku khawatir. Aku sungguh takut."
Nain terdiam. KemudianZei tersadar menyadari perilakunya dan melepas pelukannnya.
"Ma-maaf, Nai. A-aku tidak," Zei diam sebentar dan berpikir. Zei mencoba menutupi kesalahnnya dengan keisengannya.
"...sudahlah. Tadi kau yang memeluku dahulu."
"Apa maksudmu, Zei. Aku hanya tidak menyadarinya tadi." sanggah Nain yang tak ingin disalahkan.
"Tetap saja," Zei tersenyum dan mengacak rambut Nain. Nain mengerucutkan bibirnya, lalu tersenyum dan hendak membalas mengacak rambut Zei.
"Ehh, tunggu." Zei menangkap tangan Nain.
"Aku marah padamu, Nai. Sekarang jelaskan apa yang terjadi?" tanya Zei serius.
Nain memudarkan senyumnya dan menurunkan tangannya. Kini percuma baginya untuk menutupinya lagi, cepat atau lambat Zei akan mengetahui tentang mimpinya itu. Lebih baik mengatakan yang sebenarnya sebelum Zei kecewa jika ia tahu dari orang lain. "Ah, emmm, anu, Zei. Sebenarnya,"