Chereads / Decode : Breaker / Chapter 2 - Bagian 2 - Kecerdasan Buatan, Alice

Chapter 2 - Bagian 2 - Kecerdasan Buatan, Alice

"Alice?"

Yuka bergumam karena gadis peri AI itu ternyata telah memiliki nama. Yuka mencoba memanggilnya sekali lagi.

Sebagai balasan Alice meresponsnya layaknya seorang pemandu wisata.

"Dunia AR ini adalah dunia alternatif yang dapat digunakan untuk membantu kehidupan sehari-hari anda. Ada begitu banyak fitur yang dapat digunakan seperti halnya informasi pekerjaan, pendidikan, olah raga, referensi wisata yang terkenal di Jepang, dan yang paling populer saat ini adalah game ARMMO."

Mendengar juga memandangi bagaimana cara Alice menjelaskan semuanya begitu menggemaskan. Kebanyakan gadis itu pergi terbang kesana kemari dengan menunjuk arah yang berbeda.

"Apakah anda tertarik untuk melakukan sesuatu?"

Jika ini adalah galge maka Yuka yakin akan keluar pilihan jawaban untuknya, namun Alice adalah kecerdasan buatan. Dia akan mengembangkan jalan cerita sesuai dengan perkataan Yuka.

Data inti para AI tersimpan pada jaringan internet sesama AI. Selain mereka dapat menggunggah jawaban serta mencari penyelesaian melalui internet, kerja sebuah AI juga akan mempengaruhi AI lainnya.

Itulah mengapa terkadang AI bisa membuka jalan cerita yang serupa serta menyelaraskannya dengan AI lainnya dalam sebuah game berbasis MMO.

Namun tetap saja ada sebuah batas privasi yang tidak mungkin sesama AI mengetahuinya. Data tersebut dilindungi guna menghindari disalahgunakan untuk tindak kejahatan.

Karena itu Yuka tak perlu khawatir karena Alice tidak akan tanpa sengaja melakukan kesalahan dengan menyebarkan identitas data pribadi miliknya yang baru saja dia isi.

"Untuk saat ini tidak ada. Kau bisa beristirahat."

Alice yang terdiam setelah mengajukan pertanyaan mulai memproses jawaban yang diberikan Yuka.

Sebagai kecerdasan buatan yang dibuat khusus untuk membantu pekerjaan seseorang, sudah sepatutnya dia membutuhkan waktu pula untuk menemukan jawaban yang layak dia ucapkan pada lawan bicaranya.

"Baik! Panggil namaku jika kau membutuhkan sesuatu. Kalau begitu selamat malam!"

Karena Yuka menggunakan bahasa yang akrab dengannya Alice tidak lagi menggunakan formalitasnya. Dia menjadi gadis yang ceria dan periang.

Awalnya Yuka berpikir peralatan AR itu begitu simpel, namun Yuka menyadari seberapa detail yang Kimura Makoto tunjukkan untuk mewujudkan teknologi masa depan ini.

Saat ini teknologi VR dan AR tengah bersaing dalam era globalisasi. Banyak perusahaan teknologi yang mulai beralih pada dua teknologi canggih tersebut untuk menciptakan berbagai macam penemuan baru.

Jika Kimura Makoto adalah penemu AR dalam sejak lima tahun yang lalu, maka seorang penemu teknologi VR adalah Tetsudo Kouga yang menjadi penemu juga pengguna pertama VR dalam tiga tahun terakhir.

Selama musim semi berlalu, kedua teknologi itu bersaing dalam segi pemasaran, kualitas barang, harga, dan protokol keamanan penyimpanan data.

Nama mereka terus bersaing hingga kancah internasional mulai membicarakan mereka. Tak heran Kimura Makoto melakukan semua ini hanya demi mempertahankan posisi pertamanya.

Persaingan utama mereka saat ini adalah sebuah game berbasis MMO apalagi tipe RPG. Kimura Makoto berhasil mendapatkan popularitasnya lebih cepat karena lebih dahulu berhasil menciptakan sebuah game berbasis ARMMORPG.

VR saat ini masih sebatas alat bantu kebutuhan medis layaknya rehabilitasi virtual atau menjadi alat komunikasi jarak jauh.

Dengan begitu Kimura Makoto berhasil mengambil hati semua masyarakat Jepang untuk menggunakan Raft-glass.

"Baiklah, sekarang aku harus memulainya dari mana?"

Awalnya Yuka berniat melanjutkan, namun waktu pada peralatannya telah menunjukkan pukul 20:14. Dia tak bisa mengawali panduan awal game yang mungkin akan memakan waktu lebih lama dari yang dia perkirakan.

"Mungkin aku juga perlu istirahat. Hari esok akan menjadi hari yang panjang."

Untuk tidak melepas Raft-glass selama tidur sama sekali tidak menjadi masalah karena memang peralatan itu tidak menimbulkan radiasi berlebih layaknya ponsel pintar.

Cukup mematikan layar proyeksi itu dan tertidur dengan posisi yang tidak terlalu menekan peralatan AR sudah cukup.

Namun menghindari kerusakan fisik akibat tertekan oleh kepalanya, Yuka memilih melepaskan peralatan itu dan meletakkannya diatas nakas pada samping tempat tidurnya.

Kemudian dia tertidur dengan pulas.

Yuka tak menyadari saat dimana peralatan AR-nya menyala dengan sendirinya memproyeksikan sesosok gambaran seseorang yang kini berdiri menatapnya dibalik selimut putihnya.

"Segalanya, baru saja akan dimulai... Goshujin-sama."

★★★

"Arrgh!!! Pagi ini berisik sekali, memangnya ada apa sih?!"

Yuka terbangun karena keributan yang dia dengar pada luar rumahnya. Dirinya berusaha memaksakan diri untuk berjalan dengan mata yang setengah mengantuk.

Pada saat jendela kamar di lantai dua rumahnya terbuka, Yuka memandangi aneh kerumunan orang berlarian dari sesuatu padahal tak ada yang mengejar mereka.

"Ada apa ini? Ini bukan hari dimana semua orang menjadi gila bukan?"

Pikirnya lagi, apalagi dengan pemandangan dimana terkadang orang berjatuhan dan berteriak pada sesuatu dibelakang mereka seolah memang mereka merasakan sakit.

"Tapi aktingnya terasa begitu hidup, lagipula mereka semua kompak sekali."

Tidak orang tua, anak kecil, pria ataupun wanita, mereka semua memiliki wajah ketakutan dengan sangat bahkan tidak mempedulikan apakah teriakannya begitu mengganggu ketenangan orang lain.

Namun entah mengapa Yuka menyadari sesuatu yang cukup membingungkannya. Kebanyakan orang dijalanan itu semuanya menggunakan peralatan AR.

Seketika itu membuka jalan pikirannya.

"Apakah..."

Pandangannya jatuh pada peralatan AR-nya yang entah mengapa menyala mengaktifkan layar proyeksi tanpa Yuka memintanya.

Sontak hal tersebut menimbulkan pertanyaan juga kebingungan Yuka. Dia berpikir saat menggunakannya akan menemukan semua jawabannya.

"Jika aku menggunakannya... Apa ini?"

Tepat setelah Yuka mengenakan peralatannya sebuah pemberitahuan muncul bahkan sebelum Yuka dapat meresponsnya, sebuah pengunggahan kembali muncul.

'Mengkonfirmasi keberadaan...

Memulai 'Ghost Protocol'...

Mengeksekusi data...

Pengaktifan sistem 'Reverse Reality'...'

"Eh, apa yang... AAARRRGGHHH!!!"

Gelombang kejut penghantar listrik tiba-tiba mengejutkan Yuka dan mulai menyetrum isi kepalanya.

Sekelebat data bermunculan di depan matanya. Angka dan berbagai macam simbol yang tak dimengertinya bermunculan seakan merayap memasuki otaknya.

Rasa sakit terus berdenyut akan menghancurkan isi kepala Yuka, namun entah mengapa dia masih sanggup bertahan hingga satu menit kemudian goncangan listrik itu berhenti.

Yuka akan terjatuh karena kakinya tak bisa menahannya untuk tetap berdiri. Tubuhnya terhuyung jatuh secara perlahan.

Tepat sebelum Yuka benar-benar merasakan dinginnya lantai, Yuka justru merasakan sedikit kehangatan dari puncak kepalanya. Rasanya seperti seseorang tengah mendukungnya.

Namun begitu Yuka menyadari seharusnya tidak ada siapapun didalam rumahnya, karena itulah Yuka segera bangkit meski dengan tubuh yang belum benar-benar pulih.

Matanya terbelak menyadari sosok yang telah menyelamatkannya itu.

Itu adalah sesosok gadis yang mungkin masih sekolah dasar, dengan dress putih semata kaki dan rambut hitam yang tak diikat. Manik matanya ikut memandang kearah Yuka.

Entah mengapa Yuka begitu familiar dengan penampilan itu. Terlebih gadis itu tidak memperlihatkan kekhawatirannya pada Yuka.

Setelah menyadari siapa gadis itu, Yuka terdiam. Dia tak bisa mengerti apa yang terjadi, namun sesuatu itu begitu mengganggunya.

"Kau... jangan-jangan, Alice?!"

Benar. Sosok itu tentu menyerupai Alice yang semalam Yuka baru saja mengenalnya, karena dia memang Alice yang sama. Itu dapat dijelaskan dari fisik juga warna bola mata dan rambutnya.

Hanya saja Yuka masih belum bisa memahami bagaimana Alice melakukan semua ini. Terutama merubah bentuknya. Dia juga saat ini tidak memiliki sayap.

Alice yang tetap terdiam beberapa saat kemudian bangkit berdiri dengan tegap menatap kearah Yuka. Tatapannya kosong, dan Alice mulai berbicara dengan nada monoton

"Goshujin-sama telah terpilih sebagai subjek eksperimen manusia massal demi mengumpulkan data."

"Mengumpulkan... data? Apa maksudmu, terlebih lagi..."

Yuka segera kembali menatap melalui jendela kamarnya. Dia begitu terkejut setelah tau apa yang dikhawatirkannya ternyata adalah sebuah kebenaran.

"Sudah kuduga semua ini hanya bisa dilihat menggunakan peralatan AR."

Sepertinya semua pertanyaannya sudah terjawab. Namun Yuka tak bisa mempercayai saat ini kekacauan disebabkan oleh hanya sebuah data.

"Tapi bagaimana mungkin mereka bisa ketakutan? Semua ini hanyalah data."

"Aku yang akan menjawabnya, Goshujin-sama."

Alice yang sempat Yuka hiraukan kini kembali bersuara. Yuka berbalik karenanya. Dia memandangi Alice penuh tanya.

"Apa maksudmu?"

"Saat ini Goshujin-sama secara paksa telah bergabung menjadi player ke 205.312 pada jaringan lokal Minato."

"Player? Jangan-jangan game itu..."

"Benar, Goshujin-sama. Game ini diberi nama... 'The Last Phantasm'."

Mendengarnya dari Alice sama sekali tidak membuat Yuka tenang. Dia berpikir mungkin saat ini Kimura Makoto sedang membuat sebuah event berskala besar untuk meningkatkan semangat para pemain.

"Tapi bagaimana mungkin semua ini... Eh?!"

Karena kepalanya dipenuhi oleh rasa sakit yang belum hilang, Yuka mencoba menggapai tubuh Alice. Tangannya yang bergetar berhasil menyentuhnya, namun barulah Yuka menyadari keganjilan itu.

"Aku bisa menyentuhmu! Kau juga bisa menyentuhku! Apa yang... Jadi begitu."

Meski dibilang menyentuhnya, Yuka hanya seperti merasakan sentuhan gumpalan udara padat dengan gelombang elektromagnetik yang mengalir pada tubuh Alice.

Gumpalan udara padat itu mungkin berfungsi sebagai otot dan kulit, sedangkan gelombang elektromagnetiknya adalah bentuk lain Alice untuk mengerti perasaan dan membagikannya pada orang lain.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi disini, Alice? Siapa kau sebenarnya!?"

Yuka tidak mungkin hanya mempercayai Alice sekadar AI. Pemrosesannya berjalan begitu cepat. Entah mengapa Yuka bisa berpikiran seperti itu.

"Namaku Alice. Selain itu adalah data 'rahasia' yang tak bisa kami ungkapkan pada siapapun."

"Tapi... tapi..."

Yuka merasa dirinya seakan bisa gila bila terus memaksakan semua realitas itu sekaligus. Dia yang bahkan belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi semakin dibuat kebingungan dengan penjelasan Alice yang sulit dimengerti.

Namun ada satu hal yang mampu Yuka sadari setelah semua. Itu adalah... bahwa Jepang saat ini sedang dilanda kekacauan besar yang disebabkan oleh AR.

'Apa yang sebenarnya telah terjadi?!'

★★★

Pagi, 23 Juni 2026...

Itu adalah tanggal yang tertera pada sudut kanan atas Raft-glass yang mana semua orang dapat memandanginya sebagai pengingat waktu mereka.

Dan juga pada akhirnya mereka bisa mengingatnya... hari dimana pencipta peralatan AR, Kimura Makoto menunjukkan sisi gelapnya.

"Alice, sebenarnya aku masih bingung cara kerja sistemmu. Kau terlihat berbeda dari kebanyakan AI dalam game yang pernah ku ketahui."

AI, tidak lebih seperti Npc yang bergerak sesuai sistem. Hanya saja AI memiliki memori tersendiri yang membuatnya dapat mengembangkan jalan cerita.

Menggunakan sebuah protokol untuk menghubungkan sesama program AI lainnya, secara tidak langsung sesama AI membagi ingatan mereka dan menggunakan ingatan itu sebagai jembatan untuk menentukan pengembangan cerita secara paralel.

Tidak banyak AI dalam game dirancang hanya sebagai pembuka cerita, namun terkadang ada juga beberapa game RPG dimana AI juga bisa bertarung, namun tentu dia bergerak mengikuti pola sistem musuhnya untuk menentukan gerakan atau skill yang akan mereka gunakan.

Yuka sangat mengerti itu, namun kasus Alice berbeda. Dia bisa dengan mudah memahami gaya bicaranya dan bahkan dengan sendirinya mampu mengembangkan cerita tanpa perlu menunggu syarat syarat terpenuhi.

"Seperti Goshujin-sama sama ketahui, AI memiliki memori tersendiri yang telah diamankan dalam 'Database'. Setiap ingatan AI lainnya akan tersimpan pada database yang kemudian juga mampu digunakan AI lainnya. Kami juga memiliki kemampuan untuk memahami lawan bicara kami menggunakan 'Parallel Concept' sehingga lawan bicara kami merasa begitu nyaman berkomunikasi dengan kami. Dengan 'Perfect Learning' juga kami mampu menciptakan sebuah kepribadian dengan membuka sedikit kepingan ingatan owner kami."

"Jadi begitu... itulah mengapa AI sering digunakan sebagai sarana komunikasi intraface pada seseorang demi menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan ingatan yang telah dikubur seseorang."

Tak heran jika Yuka berpikir demikian. Pasalnya teknologi AR sangatlah berbeda dengan VR yang membuat sebuah realitas baru pada pemakainya yang sering dianggap sebagai tiruan.

Berbeda dengan AR yang menggunakan pemahaman bahasa juga tingkah laku untuk memperlihatkan ingatan masa lalu yang mungkin tidak pernah diingat oleh orang itu sendiri.

Awalnya kemampuan AI ini dipergunakan dalam dunia medis, namun sepertinya telah merambat hingga pemakaiannya dalam dunia game.

Rumor mengatakan hanya dengan memperhitungkan kepingan berbagai kejadian dalam beberapa waktu, AI katanya akan mampu memiliki kemampuan penglihatan masa depan.

Namun tentu saja itu terbatas dengan bagaimana AI itu mampu menemukan semua kepingannya. Jika hanya sebagian, mereka hanya dapat memberikan sebuah hipotesis yang memiliki kemungkinan benar hanya 50 persen.

"Setelah memberitahukan semua ini. Perlukah aku melakukan scaning pada ingatan Goshujin-sama?"

Yuka tak bisa menjawabnya langsung. Rasanya berbagi masa lalu dengan sebuah program lantas tidak membuatnya senang. Yang dia butuhkan hanyalah teman bicara sepertinya yang sama sama memiliki masa lalu yang menyakitkan sehingga mereka bisa saling mengerti.

Tapi Alice mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang sangat disayanginya dan Yuka tidak ingin melupakannya.

Jika Alice bisa menyimpan ingatan itu untuknya, Yuka akan sangat senang.

"Ya, lakukanlah!"

Setelah mendapatkan konfirmasi. Alice menyalakan program yang menghubungkannya dengan peralatan AR milik Yuka.

Sengatan listrik mulai dapat Yuka rasakan, namun tak semenyakitkan sebelumnya. Baginya yang ini hanya sekadar gelitikkan pada tubuhnya.

Pemindaian Alice selesai dengan terdiamnya Alice. Pergerakan motoriknya terhenti seperti dia baru saja di shutdown.

Tak begitu lama mata Alice kembali terbuka. Kini dia memiliki lengkungan senyuman manis yang begitu akrab dengannya. Pergerakan AI itu juga mulai menjadi lebih bebas hingga sulit menebak apakah Alice ini sama dengan Alice beberapa saat lalu.

"Onii-sama, apa kabar?"

Mendengar celotehan yang serupa dengan mendiang adik perempuannya, Yuki. Yuka merasakan lembap pada pipinya.

"Yu...ki...?"