Mama yang sadar akan ucapan Putri memberikan tatapan terbaiknya saat itu, tanpa berkedip memandang lurus ke arah Putri. "Ehh,, Maaf." Ucap Putri singkat. Si kembar, Rian, Wira menatap bingung ke arah ayah mereka dan Putri.
Suasana berikutnya benar- benar semakin canggung. Tidak ada senyuman yang terpancar di raut wajah ayahnya. Mama sesekali mengalihkan percakapan, tetap tidak berhasil. Kali ini Bambang Soedarmo – Suaminya menghabiskan makan malamnya dengan cepat, kemudian segera berlalu. Mariana pun ikut menyusul suaminya.
Roy dan Renata juga menyadari suasana makan malam yang mulai tidak nyaman. Memutuskan untuk tidak menghabiskan makan malamnya dan membuat alasan untuk segera beristirahat di kamar.
Tinggallah para anak-anak di meja makan. "Wah Put, kamu benar-benar best trouble maker yaa tadi," Ucap Rafa dengan senyuman liciknya. Putri hanya mengkernyutkan dahinya memandang kakak kembarnya. "Apa sih ka Rafa." Putri mendengus kesal.
"Lagian gak apa-apa juga, gak ada mereka makan jadi enak. Lebih menghayati." Ucap Raja yang menyenggol Rafa dan mengambil beberapa lauk didepannya. Wira menatap kakak kembarnya dengan wajah datarnya.
"Sudahlah, ini kan bukan urusan kita juga. Tapi kok Put kamu bisa tau?" Tanya Rian yang meneguk minumannya. "Loh, kalian semua udah tau ya?" Tanya Putri dengan Aneh. Raja dan Rafa menyeringai ke arah Putri. Dan Putri semakin tidak menyukai tatapan si kembar.
"Kayanya kamu jadi orang terakhir yang tau soal kehamilan Kak Leyna." Ucap Rafa memperjelas. Kali ini Putri meletakkan sendoknya dengan cepat. "Ka Rian tau?" Tanya Putri dengan cepat dan menatap tajam ke arah Rian, "Tau kok." Jawab Rian Cepat.
"Kak Wira tau?" Putri berbalik arah menatap Wira. Wira tidak menjawab, hanya berucap "hmmmm" sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya. Putri mendengus kesal, kenapa bisa dia jadi orang terakhir yang tau.
"Terus, memang salah kalau Putri bicara seperti itu tadi." Tanya Putri serius. "Kamu bukan salah, tapi bodoh." Ucap Wira yang sudah menghabiskan makanan yang berada di mulutnya. Raja dan Rafa pun tertawa mendengar celetukkan Wira yang cukup dalam ke Putri. Rian masih sibuk menghabiskan makanannya, kali ini dia mengeluarkan handphonenya.
"Rian, urusan kita belum kelar loh." Ucap Raja yang sadar melihat Rian sudah mulai menghabiskan makanannnya. "Aduhh,, Hey Kembar, bisa tidak? Gak libatin gue." Ucap Rian kesal tanpa memandang.
Rafa bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Rian kemudian berbisik-bisik. Bahkan Putri melihat ekpresi wajah Rian yang mulai tertarik. "Ok... kalau begitu." Ucap Rian dengan senyumannya. "Apa sih, pakai rahasian sama Putri?" ucap Putri kesal.
"Bukan urusan kamu." Ucap Raja, yang juga sudah menghabiskan makan malamnya. Putri lagi-lagi hanya bisa mengkernyutkan dahinya. "Wira, ikutan yuk?" Tanya Rian, Wira pun menjawab dengan cepat. "Enggak bisa, lagi ada urusan."
"Putri, Putri bisa kok." Putri mengacungkan jari telunjuknya ke arah Raja, berharap tau apa yang mereka lakukan. Raja melirik licik ke arah Rafa, kemudian mereka pun menyeringai lebar ke arah Putri.
Putri yang sudah dibuat kesal oleh si kembar, memutuskan untuk pergi meninggalkan makan malam. Dan meninggalkan kakak laki-laki yang tersisa di meja makan, Putri pun menuju dapur bersih dan mengambil beberapa buah dan cemilan untuk di kamarnya.
Setelah dirasa cukup dengan semua makanan dan minuman yang sudah dia kumpulkan. Masih dengan tangan yang penuh, Putri mulai berjalan pelan menuju ke kamarnya. Kamar Roy terletak sama persis di lantai dua, berjejeran dengan kamar Putri. Bahkan sebelum menuju kamarnya, Putri harus melewati kamar kakak keduanya tersebut.
Terlihat lampu kamar masih belum padam, dan Putri yakin mereka belum tertidur. Putri sempat berpikir apakah perlu menawarkan cemilan di malam hari kepada Roy dan Renata. Putri hampir saja mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu kamarnya.
Tapi ada obrolan yang membuatnya penasaran. Ya dia tau sekarang dia sedang menguping. Dan Putri masih penasaran dengan perbincangan mereka di dalam kamar.
"Aduhh, lelah sekali hari ini. Rasanya aku mau bangun siang besok pagi," suara Renata terdengar dari balik pintu dan sepertinya dia tidak sadar suaranya cukup terdengar hingga ke luar. "Besok aku akan ikut dengan Papa, ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan." Terdengar suara Roy yang membalas ucapan Renata.
"hmm, baru saja menikah, belum menyelesaikan bulan madu kita dan kamu sudah sibuk dengan urusan pekerjaanmu Roy." Suara Renata terdengar sedikit kesal. "Sudahlah Renata, kau kan sudah tau sebelum pernikahan kita. Memang ada beberapa pekerjaaan yang ter-pending." Roy menjawab dengan nada kesal.
"Ya aku tau, tapi apa tidak bisa besok kau menemaniku pergi berbelanja. Sebentar saja." Intonasi Renata sedikit manja, dan Putri langsung menampakkan ekspresi mual tanpa sadar. "Tidak bisa Renata." Jawab Roy dengan datar.
"Roy, kamu tuh sebenarnya sayang dan cinta gak sih sama aku?" Nada suara Renata semakin meninggi. "Sudahlah Rena, kamu tau kan kita menikah karena perjodohan." Terdengar suara buk yang keras, (Seperti suara lemari baju yang ditutup keras, pikir Putri).
"Roy setelah apa yang kita lakukan kemarin saat kita berbulan madu, dan kamu masih bersikap dingin seperti ini." Ucap Rena dengan kesal. "Cukup Rena!" Kali ini suara Roy lebih meninggi dari sebelumnya.
"Kalau kamu memang hanya ingin berbelanja, kamu kan bisa ajak Putri. Lagian kalian kan sama-sama wanita." Ucap Roy melanjutkan omongannya. Putri yang mendengar hal tersebut, langsung menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. (No..no..no.. Ucapnya tanpa ada suara, dan masih menguping)
"Putri maksud kamu?" Terdengar nada suara Renata seperti meremehkan, "Kadang-kadang aku bingung dengan keluarga kalian ya. Contohnya Putri, anak perempuan satu-satunya di keluarga ini, tapi tampaknya adik perempuan mu itu butuh pelatihan khusus agar bisa menjadi wanita yang lebih terhormat dan terpelajar." Terdengar Renata menarik nafasnya dengan panjang sebelum melanjutkan omongannya.
"Kau lihat, bagaimana adikmu merusak suasana makan malam tadi. Belum kakak mu, Wira yang menikah dengan wanita rendahan, dan si kembar. Aku saja tau kalau mereka tidak pernah serius dengan kuliah mereka, Rian yang terlalu diplomatis, dan Wira yang terlalu pend.."
"RENA, Cukup!!" Suara Roy kini menggelegar, dan langsung membungkam suara Renata, dia pun langsung terdiam ("Bagus ka Roy." Pikir Putri).
"Walaupun kamu sekarang sudah menjadi istriku, kamu tidak berhak menilai saudaraku, dan menilai apa yang pantas untuk mereka." Tidak ada balasan dari suara Renata. Putri hanya mendengar suara gumam yang tidak jelas dan samar-samar mendengar suara keluhan Renata yang terdengar.
"Putri, tidak baik loh menguping pendengaran orang lain." Wira berbisik pelan dikupingnya, membuat Putri kaget melihat kakaknya sudah berdiri disamping Putri. "Kak Wira?" Ucap Putri dengan suara lirih.
"Sana, balik kekamarmu." Perintah Wira, yang memperhatikan ekspresi Putri yang langsung memerah malu. "Iya kak, maaf ya. Putri ke kamar dulu." Putri pun bergegas menuju ke kamarnya. Dan sangat malu, karena dia ketahuan menguping pembicaraan Roy dan Renata.
Putri yang duduk dibawah lantai, dan menyenderkan bahunya disisi tempat tidur terus mengunyah cemilan yang dibawanya tadi. Masih kesal dan memikirkan perkataan kakak iparnya mengenai dirinya dan kakak-kakaknya.
"Menjadi wanita yang lebih terhormat?? Maksudnya.. errgghhhhh." Putri berteriak pelan, saking kesalnya dia tidak sadar sudah menggigit bantal yang dipeluknya. "Dasar wanita bertopeng, wanita ular." Pikirnya masih kesal.
"Andi juga gak ada kabarnya sih?" Putri melirik ke layar handphone-nya. Menatap chat yang dikirimkan ke Andi, sama sekali tidak ada balasan.
"Keselll...keselll...keselll.." Ucap Putri yang sekarang mengertakkan kakinya berulang-ulang ke lantai, dan masih tetap menghabiskan semua cemilan ditangannya.