Raven berdiri di ambang sebuah dunia yang tak lagi dikenalnya. Reruntuhan kota yang tertutup debu dan sinar biru dingin dari menara NexusNet mendominasi cakrawala, mengingatkannya bahwa segala sesuatu yang pernah dia kenal kini telah berubah. Langit yang dulu biru cerah sekarang terselimuti oleh awan gelap yang terus berputar, seakan menekan dunia ini ke dalam keputusasaan tanpa akhir. Di bawah kaki mereka, puing-puing bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah sisa-sisa mati dari dunia yang telah hilang.
Zephyr, pemimpin kelompok pemberontak, berdiri di sampingnya, matanya tertuju pada peta digital yang memproyeksikan wilayah mereka. Setiap titik merah di peta itu adalah menara NexusNet—penjaga digital yang tak pernah tidur, mengawasi setiap gerakan yang melawan tatanan yang diciptakan oleh Dominus, penguasa yang bersembunyi di balik NexusNet.
"Ini bukan dunia yang kau tinggalkan," kata Zephyr pelan, matanya masih menatap peta. "NexusNet mengendalikan semuanya sekarang. Bahkan udara yang kau hirup dikendalikan oleh mereka."
Raven terdiam, pikirannya berusaha keras menerima kenyataan ini. Di setiap pertempuran yang pernah dia lalui, musuhnya memiliki tubuh, mereka berdarah. Tapi sekarang, dia menghadapi musuh yang lebih berbahaya—jaringan yang mengendalikan pikiran dan tindakan manusia.
"Bagaimana kita bisa melawan ini?" tanya Raven, suaranya serak. "Ini bukan pertempuran yang aku pahami."
Zephyr menghela napas dan menatapnya. "Kami tidak hanya melawan mesin. Kami melawan gagasan. NexusNet bukan hanya teknologi, itu adalah kepercayaan yang telah ditanamkan dalam pikiran setiap orang di dunia ini. Mereka percaya bahwa ini adalah satu-satunya jalan. Tapi kami... kami tahu ada jalan lain."
Mereka melangkah melalui markas pemberontak, sebuah gua gelap yang tersembunyi di dalam reruntuhan, jauh dari pandangan NexusNet. Di dalamnya, para pemberontak bekerja tanpa henti, merencanakan serangan berikutnya. Suasana penuh dengan ketegangan, ketakutan, dan harapan yang tipis.
Seorang pemberontak muda, Kael, melirik Raven saat mereka lewat. "Kau baru di sini, kan?" katanya dengan nada rendah. "Hati-hati. NexusNet tidak memberi ampun pada siapa pun yang membuat kesalahan."
Raven hanya mengangguk. Dia merasakan beratnya tatapan semua orang di sekelilingnya. Mereka belum mempercayainya sepenuhnya, dan itu bisa dimengerti. Dia adalah orang asing, seorang prajurit dari masa lalu yang terlempar ke masa depan yang tidak dia pahami. Namun, dia tahu bahwa untuk bertahan hidup di dunia ini, dia harus mendapatkan kepercayaan mereka—dan lebih dari itu, dia harus memahami musuh baru ini.
Zephyr mengangguk ke arah peta digital di dinding. "Kami akan menyerang menara kecil di luar kota ini. Itu bukan menara utama, tapi simpul penting dalam jaringan mereka. Jika kita menghancurkannya, kita bisa memotong sebagian koneksi mereka ke wilayah selatan. Ini akan memberi kita waktu untuk merencanakan serangan yang lebih besar."
"Dan jika kita gagal?" tanya Raven, matanya menyipit memandang peta.
Zephyr menatapnya dengan dingin. "Jika kita gagal, mereka akan tahu kita ada di sini, dan kita semua akan mati."
Raven terdiam. Ini adalah jenis pertempuran yang belum pernah dia alami—pertempuran di mana setiap langkah harus direncanakan dengan cermat, setiap gerakan diawasi oleh mata tak terlihat.
Malam itu, mereka bersiap untuk serangan. Raven berdiri di pinggir, memperhatikan para pemberontak yang mempersenjatai diri dengan senjata buatan sendiri. Sementara mereka bersiap, Raven memeriksa senjatanya sendiri—sebuah senjata sederhana, jauh dari teknologi yang dia kenal. Dia merasakan getaran di udara, ketakutan yang melingkupi setiap orang di ruangan itu. Mereka semua tahu risiko yang akan mereka hadapi, tetapi mereka juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara.
Ketika mereka mendekati menara NexusNet, Raven bisa merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Menara itu menjulang tinggi di depannya, memancarkan cahaya biru yang tampak tidak berbahaya, namun dia tahu bahwa menara ini adalah mata dari NexusNet—mereka sedang diawasi. Suara dengungan drone mulai terdengar di kejauhan, dan Raven tahu bahwa waktu mereka terbatas.
"Jaga formasi!" seru Zephyr, suaranya rendah tapi tegas.
Mereka mulai bergerak, menyusuri reruntuhan, mendekati menara dengan hati-hati. Namun, dengungan itu semakin keras, dan Raven menyadari bahwa mereka sudah ditemukan.
"Drone datang!" teriak Kael dari belakang.
Raven melihat ke atas, melihat sekilas kilatan logam di langit malam yang gelap. Drone NexusNet bergerak cepat, sinar merah menyala dari tubuhnya, menembaki mereka tanpa ampun. Mereka berlindung di balik reruntuhan, tetapi Raven tahu bahwa mereka tidak bisa bertahan lama.
"Kita harus cepat!" seru Zephyr. "Jika kita tidak menghancurkan menara ini sekarang, mereka akan mengirim lebih banyak!"
Raven berlari menuju menara, otaknya berputar cepat, mencoba memahami cara kerja teknologi ini. Dia pernah menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih kuat, tetapi ini adalah sesuatu yang benar-benar baru. Di depan panel kontrol, tangannya gemetar saat dia mulai memanipulasi tombol-tombol yang terlihat asing.
"Ayo, Raven, lakukan!" desak Zephyr.
Dengan satu tarikan napas, Raven menekan tombol terakhir. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, dan menara itu mulai runtuh perlahan, memancarkan suara berderak keras. Namun, dia tahu bahwa ini hanya awal. NexusNet akan segera menyadari apa yang telah mereka lakukan, dan serangan balik akan datang lebih cepat dari yang mereka perkirakan.
Saat mereka kembali ke markas, Raven merenung dalam keheningan. Dunia ini bukan dunia yang dia kenal. Teknologi yang dulu dia anggap sebagai alat untuk kebaikan kini telah menjadi senjata untuk menekan dan mengendalikan manusia. Dia merasa seperti orang asing, terlempar ke dalam pertempuran yang tidak dia pahami sepenuhnya. Namun, dia tahu satu hal: pertempuran ini belum berakhir, dan dia harus siap menghadapi apa pun yang datang berikutnya.