Chereads / Mengambil kembali cintanya / Chapter 29 - Kenyamanan yang adiktif: Faras

Chapter 29 - Kenyamanan yang adiktif: Faras

[NIKMATIN MANIS-MANIS DULU YA, GUYS.^^]

[Maaf karena sudah lama tidak upT_T]

________

Aku senang karena selama berada didesa, perasaan tertekan itu menghilang. Perasaan terkhianati dan kehilangan juga tidak aku rasakan.

Namun sayang, pukul sembilan pagi Gibran didatangi oleh sekretarisnya. Seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari umur kami berdua.

Kemudain Gibran meminta maaf padaku dan berkata kami perlu pulang karena ada urusan yang perlu dia selesaikan dikota. Jadi dengan berat hati aku menuruti dan berpamitan pada keluarga yang mengijinkan kami untuk tinggal.

Mobil Gibran yang dibawa oleh sekretarisnya itu berjalan membelas jalan desa yang tenang nan damai. Disetiap jalan, aku tidak pernah melewatkan untuk menatap warga desa yang sibuk disawah dan berjualan.

Terlihat harmonis, tentram dan syahdu.

Rasanya tidak ingin meninggalkan tempat ini, aku benar-benar enggan.

Tapi aku tidak boleh egois dengan memaksa Gibran untuk tetap tinggal seperti janjinya, sepertinya urusan Gibran sangat mendesak. Karena setelah mobil melewati desa dan masuk jalan besar, kami bisa mendapat jaringan telepon dengan baik.

Gibran tidak pernah lepas dari ipad miliknya, pun ponsel miliknya yang terus berbunyi.

Aku memegang ponsel milikku juga yang mati. Aku menyalakannya dan menunggu, kemudian pesan dan telepon memenuhi popup notifikasi handphone milikku.

"Hahhh..."Helaki yang merasa sesak. Melihat pesan paling banyak pertama ditempati oleh ibuku kemudian Abi dan ayah.

Perasaan melow itu kembali, aku benci ini. Karena sekarang aku merasa penting, tapi apa perlu dia menghilang lebih dulu agar mereka mencarinya. Agar mereka mengingat jika ada aku yang menunggu.

Gibran melihat kearahku ketika isakan itu keluar dari mulutku yang ku tahan merapat.

"Kemari." Ujarnya sambil menarik tubuhku dalan pelukan hangatnya.

Kemudian aku menangis dalam pelukan Gibran, aku mulai merasa adiktif dengan kedekatan kami kembali. Masa lalu kebersamaan kami menjadi momok menyenangkan untuk diulang.

Aku tidak bisa lepas, karena selama ini Gibran lebih banyak ada ketika aku terpuruk di banding mereka yang merasa berkah atas diriku.

Kemudian aku tertidur dalam perrjalanan penuh air mata itu dengan Gibran yang terus memeluk tubuhku, aku nyaman dan merasa terlindungi. Gibran tetap fokus pada pekerjaannya namun tidak mengabaikan aku.

Jadi itu baik-baik saja bagiku.

.

.

Gibran mengecup dahiku dan melambai pergi, dia benar-benar pergi meninggalkan aku sekarang yang merasa kosong.

Dia tidak bisa mampir lebih dulu karena pekerjaan yag dia tinggalkan sehari benar-benar butuh perhatian darinya. Dia akan datang lagi setelah jam makan malam dan menceritakan apa yang terjadi.

Aku berjalan pelan kedalam rumah, membuka gerbang yang mana satpam rumahku terkejut dengan aku yang menyeret koper.

"Non!! Non dari mana ya Allah, bapak sama ibu khawatir karena non Faras nggak ada dirumah dan gak bisa dihubungi!!." serobot satpam rumahku dan hanya aku jawabi dengan senyuman sambil berjalan berlalu.

"Ya Allah non, dijawab toh. Bukan cuma disenyumin," timpal satpam rumahku sambil mengambil koper yang kuseret.

Aku tetap tidak menjawab berjalan kerumah yang terlihat sepi, sepertinya aku akan berada dalam kesepian lagi. Mungkin menunggu Gibran sambil melukis atau membawa buku novel yang kemarin Gandi belikan bisa membunuh rasa bosan dan kesepian.

Mendorong pintu rumah yang tidak terkunci, aku masuk namun terhenti ketika melihat mamah dan ayah tengah berpelukan. Mamah menangis dan mata ayah memerah, mereka berteriak memanggil namaku dengan rasa syukur.

Berhambur memeluk tubuhku yang hampir oleng karena mamah, begitu juga ayah yang datang memeluk tubuhku.

Aku benar-benar tertegun dan stagnan diatas pijakanku sendiri. Mendengarkan mamah dan ayah mengucap syukur karena mereka melihatku pulang, mereka terus merapalkan namaku sambil menangis.

Aku tidak mengerti tapi tidak membalas pelukan kedua orangtuaku. Rasanya seperti memenangkan lotre disaat kamu benar-benar putus asa, aku tidak dapat mendeskripsikan apa yang kurasa saat ini.

Mamah masih memeluk erat diriku sambil berucap berantakan dalam tangisnya."Maahff nak, maafkan mamah huhhh. Maafkan kelalaian mamah..."

Tangisan mamah benar-benar membuat sakit, aku langsung balas memeluk dan menelusupkan wajahku pada leher ringkihnya. Dan ketika itu kami bertiga larut dalam suasana haru biru akan kepulanganku.

Dan aku memanggil mamah dalam tangisku sanga merindukannya,"Mahhhh... Mamahhhuhhh..."

.

.

Sekarang setelah tangisanku dan kedua orangtuaku, mamah membawaku untuk duduk disofa kemudian disitulah aku sadar. Jika perut besar mamah sudah tidak ada. Menatap paras mamah yang tersenyum dalam wajah pucat pasi, wajahnya terlihat lelah dan menampilakn wajah seorang perempuan berumur.

Keriput pada wajah mamah juga terlihat dalam pandanganku.

Mamah yang tersenyum memandangku bertanya, karena aku memperhatikan bagian perut mamah cukup lama.

Kemudian mamah berkata,"Mamah sudah melahirkan ketika diluar kota. Itu jauh dari tanggal yang dokter katakan, ayah sangat panik sampai lupa mengabari karena mamah pendarahan hebat."

Mamah meremas tanganku sebagai bentuk permohonan maaf, beliau menatap tautan tangan kami cukup lama sebelum melanjutkan ucapannya.

"Adik kamu lahir... Namun dia perlu berada dalam inkubator selama seminggu lebih. Hari ini kita bisa jemput adek bersama. Maaf karena tidak memberitahu kamu, meninggalkan anak gadis mamah dirumah. Mamah dan ayah salah karena terus berpikir kalau kamu akan mengerti dengan kesibukan kami... Mamah sayang kepada kamu, ayah juga. Kamu yang mamah besaarkan, ketika kamu baru saja dilahirkan, mamahlah yang menggendong kamu pertama kali." Mamah tersenyum dengan rasa syukur menatapku.

"Mamah dan ayah sangat bersyukur. Pada akhirnya kehadiran kamu merubah kami, kamu adalah berkah dari tuhan yang tidak terkira. Tapi ketika dewas kami tidak bisa. Kami tidak bisa, ka."

Mamah terdiam, kedua pasang matanya kembali berkaca-kaca. Aku penasaran dan bersuara.

"Nggak bisa apa, amah?."

"Kami tidak bisa. Ji...Jika saja kami bisa..."

Mamah kemudian menangis lagi, mamah tidak melajutkan dan memilih memelukku.

Aku penasaran namun tidak bisa mengabaikan tangisan mamah, pelukannya mengerat ketika aku merasakan sesak tercekik akibat lilitan lengan mamah pada leherku.

Kemudian mamah mulai meracau,"Mamah takut... Mamah takut kamu huhhh.. pergi nakhhh... kami tidak mau kamu meninggalkan kami. Menuruti keinginannya adalah jalan satu-satunya yang bisa mamah dan ayah lakukan..."

Tidak lama ayah datang karena racauan mamah semakin tidak terkendali, aku tidak mengerti. Sebab ketika itu ayah menarik tubuh mamah dan memintaku untuk ke kamar dan biarkan ayah menangkan mamah sebentar.

Ayah tau sesuatu tapi aku tidak. Sebab dengan tatapan memohon membuatku mengiyakan perintah ayah.

"Jangan dengarkan omongan mamah, ya kak. Mamah hanya sedang tertekan karena adikmu tidak lahir seperti bayi sehat kebanyakan.."Ujar ayah ketika kakiku melangkah menaiki tangga.

Aku mengangguk dan masuk kedalam kamar.

Didalam kamar aku segera mengambil handphone yang sedari tadi bergetar didalam kantung hoodieku.

Aku buka aplikasi pesan online dan mendapati panggilan masuk dari Abi, aku menatap saja sampai panggilan itu berakhir. Kemudian panggilan daari Salma masuk kemudian berganti Farrel.

Pesan mereka masuk bergantian, tapi aku tetap abaikan. Aku masih tidak dapat berkabar maupun bertatap muka dengan ketiganya.

.

.

[JANGAN LUPA TINGGALKAN GIIFT DAN PS KALIAN^^. TERIMA KASIH MASIH MAU MEMBACA GIBRAN DAN FARAS>_<]