Hari berganti hari. Matahari telah menggantikan bulan hari ini dan gue melalui semuanya seperti biasa kembali, monoton. Farasya Mahendra yang sungkan ribet telah kembali setelah ditinggalkan kekasih yang katanya akan membawa hubungan ke jenjang serius.
Apa kalian pikir gue akan begitu hancur? Meratap dan kehilangan gairah untuk hidup? Seperti kebanyakan beberapa orang yang jaman sekarang seakan lupa ada banyak manusia lebih baik dari orang semacam si brengsek ini.
Mungkin untuk menangis dan merasa sakit hati itu wajar, tapi jangan sampai meratapi terlalu dalam dan mendzalimi diri sendiri sampai tidak makan dan minum seperti orang tidak punya akal. Sampai lupa jika tuhanpun dapat cemburu pada sikapmu yang sangat mencintai hambanya tapi melupakan hadirnya yang andil besar dalam perasaan hamba-hambanya.
Singkat cerita saja, tidak usah mengingat hal menyedihkan dalam hidup gue. Mengingat mata kuliah besok gue akan persentasi dan ketika mengecek meja belajar, gue tidak menemukan makalah yang sudah gue garap sendiri. Teman gue yang sekelompok, Abiandra yang tidak mungkin dapat gue andalkan dan Nadya yang malah nggak masuk besok. Ya, gue kehilangan makalah gue. Terakhir gue memegang makalah itu ketika di kantin tadi siang, bersama ketiga teman dora gue yang penuh keingin tahuan.
GRUP CHAT DORA
Faras:
Weh makalah punya gue sapa yang megang?
Salma:
ya mana saya tau.
Abiandra:
sayakan ikan
Farrel:
Bang
Abiandra:
Sat
Salma:
Ngomong kasar, gue kick lu dari grup!
Farrel:
ku...
Faras:
Gue serius nanya, anjimk!
Abiandra:
@Salmande. Silakan kick orang ini @Farasyasih, dia berkata kasar wahai Raja Salman!
Salma:
Maaf, Faras pengecualian!!
Farrel:
Tau ah!! Aku ngambek!!
Abiandra:
Kamumah meningambek ih!
Farrel:
Atu aku teh pengen SEBLAK!!
Salma mengeluarkan @Farrel deqil dari grup.
Abiandra:
Sodakallahul adzim. Aku tobat, beb.
Faras:
Tai ah! aku ngambek!!
Abiandra:
Makannya kalau mau ngetik, jarinya sekolah dulu biar kedengeran. Sini masuk sekolah bapak gue, gratis buat jari lo!!
@Farasya keluar dari grup
Abiandra:
Ih!! Maneh pundungan!
@Abiandra menambahkan @Farrel ke grup
@Abiandra menambahkan @Farasyasih ke grup.
@Abiandra keluar dari grup.
@Salma menambahkan @Abiandra ke grup.
Salma:
Tai kotok! Kenapa abis masukin dua curut ke grup lu yang keluar anjimk, Abi!!
Ah, sudahlah. Gue cape tertawa lihat balasan pesan teman yang nggak nyambung, sudah pasti ia harus print out lagi makalahnya. Untung saja 'softfile' masih gue simpan jadi gampanglah, besok tinggal datang lebih pagi dan mengunjungi tukang potocopy sebelum masuk kelas. Kalau besok tukang potocopy nya tutup, alamat gue nggak dapet nilai. Berdoa saja semoga dosen memberikan gue keringanan. Jadi sekarang gue hanya perlu menulis poin-poin saja untuk persiapan.
.
.
Abiandra pernah bilang dengan sombong begini.
"Semesta itu sering sebercanda itu ke kita, sama kaya gue yang kaya melintir ini. Nggak sebercanda itu harta keluarga gue!"
Iya, sebercanda itu sampai pengen nampol Abiandra setelah ngomong gitu. Gue sadar nggak ada jalan buat gue berbalik dan tidak menolak jalan yang orang tua tunjukkan. Kedua orang tua gue, yang melihat gue diam tidak bereaksi berarti setelah mengetahui pertunangan gue batal. Ibu dan ayah juga bersikap seakan tidak pernah ada Gibran dalam hidup gue, tapi melihat sudah hampir setahun kejadian itu gue masih juga diam tidak mengeluh.
Ibu dan ayah akhirnya turun tangan dengan meminta gue menerima lamaran seorang lelaki yang orang tua gue kenal pun keluarganya. Sebab kakek gue yang kolot itu juga sudah mengetahui perihal si laki-laki-yang-entah-siapa-namanya ini melamar gue kepada ayah.
"Sudah dari dua bulan yang lalu, laki-laki ini meminta kamu kepada ayah. Tapi melihat kamu masih diam tidak mengeluhkan perihal batalnya pertunangan kamu. Ayah kira kamu masih bersedih, salah ayah tidak bertanya lebih dulu. Tapi jika bisa, kamu menerimanya. Sebab sudah beberapa kali dia datang sendiri sampai sebulan yang lalu membawa keluarganya dan ayah malah menyuruh keluarganya menunggu, ayah lebih memikirkan perasaan anak satu-satunya yang ayah punya." Ucap ayah panjang lebar ketika itu sambil menggenggam tangan gue yang diam mendengarkan.
Gue terpaku diam dan meminta waktu untuk berpikir, gue bukanlah orang yang cepat menolak keinginan orang tua. Akhirnya kedua orang tua gue mengiyakan pun menunggu, sebab mereka paham. Hal seperti ini terlalu mendadak sekali bagi gue yang tengah menyendiri menutupi luka hati yang belumlah kering.
.
.
Gue manatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak dapat di tentukan. Rasanya tidak dapat teraba tapi gue merasa sesak dan kosong.
Perkataan ayah malah mengingatkan gue pada lelaki brengsek itu. Kenapa jadi begini sih, cukup gue menangisi keputusan dia selingkuh dan memutuskan pertunangan di tambah mempermalukan harga diri gue di depan banyak orang.
"Sialan!."
Masih sesakit itu ternyata. Gue memegang dada dimana jantung gue berdetak cepat. Apa iya, gue harus menerima?.
Tapi gue masih ingin sendiri, tidak mau menjalin hubungan lagi untuk sekarang. Percayalah, untuk sekarang gue seakan mati rasa. Gue menjadi lebih cuek dan tidak mau ambil pusing pada apapun.
Menjadi orang seperti itu juga menjadi beban bagi gue. Tapi secara tidak sadar gue melakukan itu agar diri gue tidak lagi disakiti. Percayalah, ada banyak orang diluar sana yang merasakan apa yang sekarang gue rasa.
Banyak dari mereka yang pada akhirnya lelah dan hanya ingin menunggu, terus menunggu sampai lupa untuk saling berjuang.