"Apa yang kau lakukan disitu?" Kevlar bertanya pada Jhana yang berdiri di tangga penghubung lantai 2 dan lantai 3. Jhana kontan saja menoleh kebelakang setelah Kevlar melontarkannya pertanyaan tersebut.
"S-saya merasa ada yang tertinggal di ruang mesin cuci dan sedang memikirkannya," jawab Jhana.
"Pikirkanlah segala hal yang tidak penting selagi aku berusaha untuk membongkar identitas aslimu. Hari ini aku memiliki kesempatan untuk pergi ke kantor dinas kependudukan, jadi santai saja dengan pikiran tidak pentingmu itu."
"Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan, Tuan."
"Kau tahu? Satu-satunya manusia yang membuatku sangat muak di dunia ini adalah kau. Kau masih saja bisa berbohong meskipun aku sudah mengetahui segalanya," Kevlar kemudian menuruni tangga tersebut.
"Anda tidak mengetahui segalanya, Tuan," ucap Jhana ketika Kevlar berada di depannya.
"Aku tidak yakin," ujar Kevlar yang tetap melanjutkan langkahnya.
'Aku harus membuatnya tidak mencurigaiku lagi. Kevlar pasti akan goyah jika aku terus bersikap seperti ini, aku tidak boleh menunjukkan sisi geram dan mata-mataku padanya. Aku harus tetap bersikap seolah aku benar-benar tidak tahu apa-apa agar dia tidak mencurigaiku lagi. Meskipun kecurigaannya agak sedikit menyimpang dari apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tetap saja aku harus membuatnya tidak mencurigaiku lagi,' batin Jhana.
"Dan kenapa Raya baru menjalankan aksinya sekarang? Kupikir dia sudah menghancurkan keluarga ini dari dulu, bahkan sejak aku bekerja, baru ini aku mengendus rencana jahatnya. Pengakuannya padaku tidak membuatku berpikir kalau dia hanya akan menghabisi Rasyid, tapi juga keluarga ini. Cukup mengejutkan kalau sampai sekarang dia baru akan melancarkan aksinya, baguslah, artinya aku tidak terlambat untuk menjadi perisai keluarga ini," gumam Jhana.
"Pertama Raya, kemudian Kevlar dan sekarang anaknya teman ibu juga akan bersandiwara. Aku harus mencegah ibu melakukan sandiwara itu dengan anak temannya, bahkan mungkin aku harus mencegah perjodohan itu terjadi, tapi sebaiknya aku mengetahui perangai anaknya teman ibu dulu, jika dia buruk, maka aku memang harus mencegah perjodohan itu terjadi. Jika tidak, ancaman di keluarga ini akan semakin bertambah. Aku tidak pernah menyangka jika kelak keluarga ini akan terancam seperti ini."
Di rumah makan Populer, semuanya sudah berkumpul dan segala aktivitas berjalan seperti biasa. Pelanggan pagi ini cukup ramai, namun tidak seramai sampai pak Toni tidak bisa memilih kursi untuk di duduki. Pria paruh baya itu kini tengah menunggu Joshua dan bibi Vey sebab Yahya sudah menceritakan soal lamaran bibi Vey kemarin.
"Maaf, pak, saya lupa membuat janji pada wanita itu untuk memastikan jam berapa mereka akan bertemu dengan bapak. Jika saya melakukannya, pasti bapak tidak akan menunggu mereka dari pagi seperti ini," ucap Yahya sambil menghampiri pak Toni.
"Tidak apa-apa, aku juga tidak keberatan untuk menunggu dari pagi seperti ini," kata pak Toni, Yahya membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Bisakah kau tidak terus menerus mengabaikanku seperti ini? Aku akan pulang ke kampung halamanku dua minggu lagi, dan kita mungkin akan berpisah dalam waktu yang cukup lama," ujar Andra pada Wanda.
"Kau mau apa?" tanya Wanda.
"Kau berubah akhir-akhir ini, kau tidak seperti dulu lagi."
"Kau lah yang berubah, kau memintaku untuk terus tidak mengabaikanmu padahal aku tidak mengabaikanmu."
"Wanda, tolong, jangan seperti ini."
"Tidak ada yang salah dariku, Andra."
"Pesanan!" salah seorang pekerja di dapur berteriak, pertanda kalau sebuah pesanan siap untuk diantarkan ke pelanggan yang memesannya. Wanda kemudian mengambilnya dan meninggalkan Andra dengan senyuman yang tidak jelas artinya.
"Mereka terlihat bertengkar, tapi kenapa kak Wanda tersenyum?" Salma berbisik pada Arvin yang berdiri disampingnya, menunggu pesanan yang siap atau pun menunggu pesanan dari pelanggan yang baru datang.
"Entahlah," ucap Arvin secara cepat, singkat dan padat, pandangannya lurus kedepan dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Pria itu tampak sedang kesal, ia berbeda dari biasanya, dan Salma bisa merasakan hal itu sebab biasanya Arvin selalu menggodanya.
"Apa kau baik-baik saja?" Salma akhirnya bertanya pada Arvin setelah melihat sikapnya yang agak berbeda.
"Aku baik-baik saja, terima kasih," jawab Arvin.
"Tapi kau tidak seperti biasanya."
"Aku baik-baik saja, ok?"
"Tapi kau tidak senormal biasanya."
"Aku berusaha untuk normal!"
"Itu artinya kau sedang tidak normal. Ada apa? Ceritakan padaku."
"Pesanan!" seorang pekerja di dapur lainnya berseru.
"Nanti saja, sedang ramai," pungkas Arvin seraya berjalan menuju pesanan yang siap ia antarkan kepada pelanggan yang memesannya.
Salma lantas hanya bisa mengernyitkan dahinya.
"Apa semuanya baik-baik saja?" Yahya bertanya pada Salma, pria itu kembali duduk di kursi kasir setelah ia berbincang pendek dengan pak Toni tadi.
"Tidak. Aku menemukan dua orang yang sedang tidak normal pagi ini," jawab Salma.
"Hahaha, siapa?"
"Kak Wanda dan Arvin."
"Ada apa dengan mereka?"
"Kak Wanda tersenyum setelah bertengkar dengan Andra, sedangkan Arvin, aku tidak tahu kenapa dia menjadi aneh hari ini."
"Jadi, kau lebih suka Arvin yang suka menggodamu?"
"Tidak juga, aku suka dengan Arvin yang agak aneh hari ini, tapi aku lebih terbiasa dengan kenormalannya."
"Ok, sepertinya kau memang menyukai Arvin."
"Kita sedang membahas 'suka' dalam arti yang lain, kak."
"Ups, maaf."
"Huh, ketemukan tiga orang yang sedang tidak normal hari ini," keluh Salma.
"Hey! Aku normal."
"Ya, kau lah yang paling normal di antara kak Wanda dan Arvin, kak."
"Terserahmu saja," dengus Yahya.
Sekitar 10 menit kemudian, rumah makan itu menjadi sepi, dan disaat yang tepat itulah bibi Vey datang bersama dengan Joshua. Yahya sedikit terkejut melihat Joshua yang menggunakan kursi roda, ia bertanya pada dirinya sendiri apakah si pemuda dengan kursi roda itu yang akan melamar kerja di rumah makan tersebut?.
"Nyonya, Anda yang kemarin, kan?" Yahya bertanya pada bibi Vey.
"Ya, apa saya datang terlambat?" bibi Vey bertanya balik.
"Tidak juga. Pemilik rumah makan ini sudah menunggu Anda dan keponakan Anda disana," ucap Yahya sambil menunjuk pak Toni.
"Terima kasih." Bibi Vey lantas membawa Joshua menghampiri pak Toni.
"Aku rasa kita tidak kekurangan pekerja disini, untuk apa pak Toni mencari pekerja baru?" tanya Salma.
"Aku lebih memikirkan apa anak itu yang akan bekerja disini?" ujar Yahya.
"Dia terlihat normal," timpal Arvin.
'Tadi dia menjadi tidak normal dan sekarang dia malah membahas soal kenormalan orang lain,' batin Salma.
"Permisi, Tuan," bibi Vey menyapa pak Toni.
"Ya, siapa?" sahut pak Toni.
"Saya Veyani Koeratsan, wanita yang kemarin menanyakan perihal lowongan pekerjaan disini pada pria yang itu," jelas bibi Vey sambil menunjuk Yahya.
"Oh, iya. Silakan duduk."
"Terima kasih." Bibi Vey lantas duduk.
"Pria itu bernama Yahya. Yahya menjelaskan pada saya kalau Anda sedang mencari pekerjaan untuk keponakan Anda, benar?"
"Iya, benar Tuan."
"Apa ini 'keponakan' yang Anda maksud?"
"Iya, Tuan. Jangan heran kenapa dia memakai kursi roda, ini hanya akan berjalan selama dua minggu. Dia mengalami kecelakaan kemarin dan mengalami cukup banyak luka lecet dan lebam dibagian kakinya, tidak ada luka yang fatal, Dokter bilang dia memang bisa berjalan, tapi itu akan menimbulkan rasa sakit yang sangat, jadi dia disarankan untuk memakai kursi roda dulu selama dua minggu kedepan."
"Jadi, Anda berharap kalau saya akan memberikan pekerjaan ini pada keponakan Anda yang baru bisa beraktivitas kembali pada dua minggu kedepan?"
Bibi Vey lalu terdiam.
"Dengar, pak. Awalnya bibi saya ini mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri, tapi menemukan sebuah pekerjaan itu sangat sulit baginya. Satu-satunya lowongan pekerjaan yang bibi saya temukan setelah seharian mencari hanya disini. Tapi sayangnya bibi saya sudah melewati batas usia yang tertera pada syarat yang Anda sertakan pada iklan di koran itu, jadi bibi saya berharap kalau Anda bisa menerima saya yang baru bisa bekerja dua minggu lagi. Kami tidak terlalu berharap bahwa Anda akan menerima saya. Saya sudah mengatakan pada bibi saya kalau Anda kemungkinan besar akan menolak saya karena mungkin saja Anda membutuhkan seorang karyawan dalam waktu dekat," ucap Joshua.
Pak Toni menghela nafasnya, kemudian kembali bertanya. "Dimana orangtuamu?"
"Mereka meninggal sejak saya masih bayi," jawab Joshua.
"Kau hanya tinggak berdua dengan bibimu?"
"Ya."
"Sepertinya kau sudah pernah bekerja sebelumnya, benar?"
"Ya, dan saya dipecat karena mengalami kecelakaan ini."
"Mana data dirimu?"
Bibi Vey lantas memberikan fotocopy data diri Joshua.
"Baiklah, saya menerimamu untuk bekerja sebagai pelayan disini," ujar pak Toni usai dirinya melihat data diri Joshua.
"Tuan, Anda boleh menolak lamaran ini jika Anda mau, saya sendiri sadar kalau sebenarnya dua minggu itu terlalu lama. Jangan kasihani kami. Saya bisa mencari pekerjaan lain untuk saya," kata bibi Vey, wanita itu terlihat tidak menyangka dengan keputusan pak Toni.
"Sebenarnya saya baru membutuhkan seorang pelayan baru disini dua minggu lagi," ucap pak Toni.