Kepala divisi pun membungkuk pertanda dirinya mengerti dengan arahan dari bosnya. Pria itu pun keluar dari ruangan Dika untuk menjalankan perintah. Empat orang yang resign itu akan diberikan gaji full meskipun hanya bekerja dalam 15 hari.
Dika menghembuskan napas berat, setu minggu ini adalah hari yang berat baginya. Bagaimana tidak? Di usianya yang hampir menginjak 30 tahun sang Ibu menuntutnya untuk segera menikah, kemarin dirinya terpaksa menemui gadis yang akan dijodohkan dan betapa terkejutnya ia melihat gadis yang akan menjadi istrinya itu adalah seseorang yang baru lulus sekolah. Dika menghela napas panjang, ia harap dirinya bisa melewati semua ini.
Detik kemudian, ponsel Dito berbunyi. Itu adalah panggilan dari Ibunya. Seberanya pria itu malas untuk mengangkatnya, namun akan menjadi sebuah masalah jika dirinya tidak menjawab panggilan tersebut.
"Dika, malam minggu ini kamu harus bersiap-siap ya," ucap Gina di sebrang sana.
"Siap-siap? Untuk apa?" tanya Dika tidak mengerti.
"Untuk apa? Tentu saja untuk acara pengenalan dengan keluarga Mira."
"Ibu, ini terlalu cepat untuk melakukan pengenalan keluarga."
"Memangnya kenapa? Ibu sangat ingin cepat-cepat melihat kamu menikah, jadi sebelum kamu berubah pikiran Ibu akan melakukannya secepat mungkin."
Dito menghembuskan napas berat. "Bu, untuk anak yang baru lulus sekolah, dia pasti belum siap dengan pernikahan, mungkin Ibu bisa melakukannya setelah kita mengenal setengah tahun lamanya."
"Setengah tahun lamanya? Dito, kamu ini mengambil kesempatan dalam kesempitan ya? Setengah tahun itu adalah waktu yang lama. Kamu pasti ingin memperpanjang waktu sendiri kamu itu dan jika sudah setengah tahun berlangsung kamu pasti akan berubah pikiran dan mengatakan bahwa kalian berdua tidak cocok sehingga pernikahan akan dibatalkan."
"Saya sudah tahu semua gerak gerik kamu Ditooo!!!" omel Anne panjang kali lebar. Dito mendengarkannya dengan setengah hati, hal yang seperti ini sudah ia alami sejak lama. Jadi, yang pria itu lakukan hanyalah masuk kuping kiri dan keluar di kuping kanan. Hari-harinya berat belakangan ini, ia tidak ingin menjadi stress hanya karena masalah-masalah yang sedang dialaminya.
"Iya, iya, terserah Ibu aja deh," kata DIto menyerahkan semuanya pada sang Ibu. Dirinya tidak tahu lagi harus bagaimana. Dirinya tidak berani melawan wanita yang melahirkannya itu, ia takut dosa.
"Oke kalau begitu, malam sabtu kamu harus datang ke tempat yang Ibu kirimin alamatnya."
Detik kemudian, sambungan pun terputus.
Tak ada satu menit Dika mendapatkan sebuah pesan.
Pesan tersebut berisi alamat yang harus ia datangi untuk acara pengenalan keluarga.
Untuk kesekian kalinya Dika menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Pria itu menahan emosinya.
Dirinya tidak suka jika ada orang yang ikut campur dalam urusannya. Ia tidak suka dikekang, apalagi di suruh-suruh. Tapi, jika orang yang melakukan hal tersebut adalah Ibunya, Dika tidak bisa berbuat apa-apa.
Hanya Ibunya lah yang bisa melakukannya. Menuntutnya untuk mencari pacar, mencarikannya seorang gadis yang akan menjadi Istrinya. Namun semua keputusan masih ada pada Dirinya, jika Dika cocok dengan wanita itu, ia akan secepat mungkin menggelarkan acara untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.
"Alamana Resto," ucap Dika membaca nama restoran yang akan di datanginya malam minggu nanti. Tempat itu adalah restoran bintang lima yang didatangi oleh orang-orang berkepentingan. Biasanya restoran tersebut dipesan jika ada pertemuan bisnis atau acara-acara lamaran dan semacamnya. Dika tidak percaya ini. Ibunya sangat exited sehingga memilih Restoran tersebut untuk melaksanakan acara pengenalan keluarga.
"Tapi kalau di pikir-pikir, dia tidak buruk juga," pikir Dika mengingat gadis itu. Apa yang terjadi kemarin, pria itu mengingatnya.
****
Di sela-sela bicara mereka, seorang pelayan datang membawa pesanan. Tentu saja pesanan tersebut ditentukan oleh Gina. Jadi, meskipun keduanya tidak memesan makanan, makanan tersebut akan datang ke meja mereka.
"Silakan di nikmati makanannya," ucap pelayan tersebut.
"Terimakasih, Mba," ucap Mira dengan senyum manisnya.
Dika memperhatikan senyuman gadis itu. Tidak buruk, ucapnya dalam hati.
Merasa dilihat oleh pria di hadpannya, Mira pun tersenyum pada pria itu juga. Kayaknya dia mulai suka sama gue.
Gadis itu menatap Dika dengan tatapan penuh kemenangan, pasalnya kemarin pria itu mengatakan bahwa dirinya sangat tidak tertarik dengan gadis itu namun di sini dia malah melihat ke arahnya terus.
"Kenapa kamu senyum-senyum ke saya?" tanya Dika dengan nada sedikit tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Mira. Ia menatap gadis itu dnegan tatapan tidak suka dan mengucapkannya dengan nada galak. Dika yang dilihat Mira sekarang tak jauh beda dengan yang ia lihat di tempat kerja.
"Habis Bapak ngeliatin saya terus, saya senyum aja ke Bapak." Sesimple jawaban Mira memberi alasan. Gadis itu segera menikmati makanan yang ada di hadapannya. Makanan yang disediakan di Restoran ini sangat enak. Mira menyukainya. Sementara untuk lidah international seperti Dika terlihat biasa saja dalam menyantap makanan tersebut. Baginya, makanan yang ada di kantin kantornya jauh lebih enak dibandingkan dengan makanan di Mira ini. Ia memakan makanan tersebut dengan setengah hati, kebetulan sekali dirinya belum makan siang tadi.
"Bapak terlihat tidak niat untuk datang ke sini," komentar Mira tentang pria itu.
"Apa pantas kamu berkomentar seperti itu pada orang yang baru kamu kenal?" tanya Dika dengan nada judes.
"Eeeh, nggak kok. Saya gak maksud untuk berbicara buruk tentang Bapak."
"Terus yang tadi itu apa?"
"Hehehe … maaf kalau Bapak tersenginggung."
"Tapi saya melihat dari raut wajah Bapak kalau Bapak itu kayak gak senang ada di sini."
Apa yang diucapkan oleh gadis itu benar untuk Dika. Dirinya memang tidak niat untuk datang ke pertemuan tersebut namun ia terpaksa melakukannya.
Meskipun Mira bilang bahwa dari raut wajahnya saja gadi situ tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak ingin datang, seharusnya dia tidak membahas hal tersebut sepertti wanita-wanita sebelumnya. Tapi Mira berbeda, gadis itu membahasnya seperti mengerti apa yang ia rasakan saat itu.
Mungkin benar dengan apa yang dikatakan Ibunya, Mira adalah orang yang tepat.
*****