Namaku Ranata, murid kelas tiga sebuah Sekolah Menengah Atas yang cukup bergengsi di kotaku.
Aku punya seorang gadis yang aku suka.
Namanya Nia Puji Astuti, panggilannya Nia.
Seorang gadis yang terlihat begitu sempurna di mataku.
Kulitnya putih mulus, wajahnya yang cantik menawan hati setiap lelaki di sekolah ini, apalagi ditambah dengan rambut hitamnya yang panjang sepinggang dan postur tubuhnya yang indah bagaikan seorang model.
Sudah lama aku ingin menembak dirinya, namun niat itu sering aku urungkan hingga saat ini.
Aku tidak takut ditolak, hanya saja, aku ingin membangun suasana akrab yang lebih intim lagi bersamanya lebih lama lagi.
Apalagi aku begitu menikmati tatapan iri dari semua lelaki yang melihat kami berdua sering bersama.
Rasanya bagaikan seorang VIP di tengah rakyat jelata.
Namun tak terasa, waktu berlalu begitu singkat.
Tak terasa tiga tahun akan segera berlalu, sebentar lagi kami akan segera lulus dari sekolah ini, yang berarti waktu dimana hari – hari yang bisa kami lewati bersama semakin sempit.
Aku harus segera menyatakan perasaanku padanya, namun aku merasa saat ini dia hanya menganggapku sebagai seorang teman saja.
Kemungkinan dia mau berpacaran denganku hanya fifty – fifty.
Apalagi kami sebentar lagi akan berhadapan dengan ujian akhir.
Walaupun dengan kemampuan otak kami, kami yakin bisa melewati ujian tersebut dengan mudah, karena kami berdua juga selalu masuk peringkat sepuluh besar di kelas.
Akhirnya aku putuskan meminta bantuan sahabat kami berdua, seorang gadis jenius bernama Arisa Valeria, keturunan setengah Jerman dengan mata berwarna coklat Hazel dan rambut coklat gelap sebahu yang biasanya dia ikat twintail dengan pita kuning.
Wajahnya yang cantik terkesan agak dingin dan banyak orang menganggapnya sebagai seorang gadis bule yang angkuh.
Padahal tidak demikian kenyataannya.
Aku dan Nia sering bicara dan bahkan jalan bersama.
Tak pernah kurasakan dia itu sombong.
Malahan kami bertiga selalu nyambung dan sependapat dalam banyak hal sehingga akhirnya aku, Nia dan Arisa menjadi sahabat yang sering belajar bersama dan main bareng di rumahnya yang besar dan luas.
Kutemui Arisa di lab biologi sekolah dan kuutarakan keinginanku untuk menembak Nia kepadanya.
Awalnya dia heran kenapa aku membicarakan hal ini dengannya,kemudian aku katakan kalau aku sangat percaya pada dirinya dan bahwa aku ingin meminta bantuannya untuk mendapatkan hati Nia.
Akhirnya sahabatku ini mengangguk – anggukkan kepalanya dengan penuh pengertian, menutup matanya sambil berpikir sebentar, lalu membuka matanya kembali sambil memperlihatkan senyuman khasnya yang nakal yang hanya aku dan Nia, sahabatnya, yang sering melihat senyumannya itu.
Aku langsung berpikir,
"Jiaahhhh...., kayaknya aku salah minta bantuan orang nih..."
Aku tahu betul, saat dimana dia mengeluarkan senyuman nakalnya ini adalah saat dimana dia menemukan "mainan" baru yang menarik hatinya.
Berdasarkan pengalamanku semua orang yang membuatnya mengeluarkan senyuman macam begitu, entah apakah dia itu preman kampus atau bahkan guru yang terkenal killer, semuanya selalu berakhir menjadi mainan di telapak tangannya.
Dengan keringat dingin membasahi punggungku, aku bermaksud untuk tidak jadi meminta bantuannya namun sebelum aku sempat berkata apa - apa, Arisa berkata duluan,
"Aku bisa bantu kamu mendapatkan hati Nia, tapi aku perlu material~"
"Material? Kamu mau bikin apa?" Tanyaku.
"Obat cinta. Resep turun temurun dari keluargaku. Ampuh dan kuat lho.... Mau?" Jawab Arisa sambil menjilati bibir bawahnya dengan nakal.
*gulp* "Aku tahu ini bisikan setan, tapi.... Demi Cinta, akan kulakukan apapun kecuali ke dukun!" pikirku dengan mantap.
"Baik, apa yang kamu butuhkan? Aku pasti akan carikan." Tanyaku lagi.
"Beneran kamu yakin? Janji kamu akan lakukan apapun yang ku suruh?" Tanya Arisa lagi.
"Aku janji! Jadi, apa yang perlu aku lakukan nih?"
"Oh, bagus kalau kamu sudah mantap. Ingat kamu sudah janji. Sekarang, lepas celanamu dan duduk disana!"
"WHAAAAATTTTT!?"
Mendengar perintahnya, aku sontak kaget.
10,000 Alpaca berderap – derap di dalam pikiranku, diikuti dengan 10,000 sirine polisi yang nyaring bersahut-sahutan di dalam kepalaku.
Dengan cepat otakku berputar, berpikir tentang apa yang sedang dan akan terjadi saat ini dan nanti.
"Shiit! Sudah kuduga aku pasti bakal dipermainkan olehnya.
Tapi aku tidak boleh kalah.
Dia bilang buka celanaku? Nih, aku peloroti sekalian dengan celana dalamku.
Aku mau liat kamu mau apa lagi habis ini."
Sesuai perintahnya aku pun mencoba duduk di bangku yang ada di hadapannya.
Tapi sebelum duduk, kupeloroti celanaku sekalian dengan dalemannya, menunjukkan kejantananku yang menjulang tinggi dengan penuh kebanggaan.
Aku mencoba menatap Arisa, namun tak kusangka dia segera duduk bersimpuh di hadapanku dan memegangi batang kejantananku, mengelus - elus nya dengan tangan kirinya lalu membenamkan ujung kejantananku ke dalam rongga mulutnya yang hangat dan basah.
Rasa kaget karena kejadian tak terduga yang terjadi dengan sangat cepat ini ditambah dengan kenikmatan luar biasa yang pertama kali kurasakan yang diberikan oleh sensasi mulutnya membuatku tidak bisa berpikir apa – apa tapi batangku lagi membesar dan menegang, seolah berontak ingin mengamuk di dalam mulutnya.
Apalagi tidak lama kemudian kepala Arisa mulai bergerak naik turun, memberikan oral service yang begitu luar biasa kepada batang kejantananku.
Sensasi mulutnya yang begitu hangat dan basah, ditambah dengan hembusan nafasnya yang menyentuh kulitku semakin meningkatkan rangsangan yang dia berikan dan membuat penis ku tak bisa berhenti bergolak dalam rongga mulutnya.
Akhirnya setelah beberapa jilatan, hisapan dan kecupan, dia menghentikan blow jobnya untuk mengambil nafas tapi sambil tetap mengocok – ngocok penisku yang telah basah kebanjiran air hangat dengan kedua tangannya yang sangat lembut dan halus.
Sambil tersenyum nakal, dia memandang garuda di selangkanganku sambil berkata,
"Aduh, burungnya Ranata gak bisa tenang di dalam mulutku."
Lalu Arisa menatap mataku.
Wajahnya yang cantik bersemu merah muda membuat jantungku seolah berhenti.
Untuk sesaat, tempat yang kusediakan dalam hatiku untuk Nia terasa seolah tergantikan oleh dirinya.
Tak pernah kukira Arisa bisa secantik dan semanis ini.
Apalagi desahan nafasnya yang panas mengebu - gebu di ujung kejantananku semakin membakar hasrat yang tumbuh di hatiku.
"Ehehehe.... Reaksi yang bagus...." Katanya sambil tersenyum manis menatap mataku.
Arisa lalu mengecup ujung kejantananku, lalu menjulurkan lidahnya untuk menjilati ujung penisku dengan gerakan memutar, kemudian menjilatinya seperti lolipop, mengulumnya sambil menutup mata menunjukkan ekspresi yang penuh nikmat.
Aku tak kuasa hanyut terbawa dalam kenikmatan permainan lidahnya.
Aku mendesah dan terengah – engah menahan raungan nikmat yang mencoba keluar dari mulutku.
Tak lama berselang, penisku meledak di dalam mulutnya, mengeluarkan madu putih yang langsung Arisa hisap dan tampung di dalam mulutnya.
Setelah ejakulasiku berhenti dan spermaku telah habis dihisapnya, barulah dia melepaskan penisku dari mulutnya lalu mengelap sperma yang lolos dari celah bibirnya dengan jarinya sebelum membawa ujung jarinya masuk ke dalam mulutnya untuk menghisap sperma yang menempel di ujung jarinya.
Sungguh pemandangan yang indah dan sexy.
Baru kali ini aku lihat dia mengeluarkan ekspresi mesra yang bisa mencuri hati para lelaki dalam sekejap.
Matanya yang menatap ujung penisku dengan penuh kehangatan membuat batang kejantananku kembali berdiri dengan tegak siaga.
Sambil tersenyum manis, Arisa menutup mulutnya dengan tangan kanannya tapi tak berhenti menatap kejantananku dengan tatapan yang membara.
Arisa kemudian berdiri, membalikkan badannya, lalu membuka laci meja lab biologi untuk mengambil sebuah tabung reaksi.
Lalu spermaku yang dia tampung dalam mulutnya dia pindahkan ke dalam tabung tersebut.
Kemudian dia membalikkan badannya, aku pun juga segera memakai celanaku kembali.
"Nah, sekarang bahan yang kubutuhkan sudah kudapat. Bagaimana? Rasanya enak, gak?" Tanya Arisa dengan senyum menggoda.
Aku diam tidak menjawab.
Aku tidak tahu harus bicara apa.
Tapi aku yakin Arisa tahu jawaban pertanyaannya dengan melihat reaksi dan ekspresi wajahku.
Gadis ini benar – benar pintar.
"Obat cintanya akan segera kubuat. Oh iya, Kamu juga pasti gak tahu cara membuat Nia meminum obatnya, kan? Tenang saja, karena aku udah janji bakal bantu kamu, aku juga gak akan setengah – setengah. Begitu obatnya selesai, aku bakal bantu kamu ngasi obatnya ke Nia. Kamu siap – siap aja ya."
Aku cuma bisa mengangguk mengiyakan Arisa, yang segera menutup tabung berisi spermaku lalu memasukkannya dalam sebuah kotak dan membawanya pergi.
Beberapa menit kemudian aku akhirnya berdiri dan meninggalkan ruang lab biologi itu.