Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 56 - Hannako

Chapter 56 - Hannako

Tiga bulan di Tokyo sejak kedatangannya dari Singapura, dia telah mengenal cukup banyak tentang kota ini.

Dia tahu, di dalam terowongan itu kini berkumpul anak-anak dan orang-orang gembel. Berkumpul para perempuan lacur. Ya disanalah tempat yang aman bagi gembel dan pelacur murahan. Jumlah mereka ratusan orang. Dimusim- musim tertentu jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tentara Amerika atau lelaki Jepang yang berhasrat tak usah payah-payah mecari hotel. Cukup masuk ke terowongan itu dan berbuat disana. Gembel-gembel serta anak-anak terlantar yang ayahnya mati dalam peperangan juga aman disini. Apalagi di musim gugur seperti sekarang. Terowongan ini pasti penuh sesak. Orang mencari perlindungan dari udara dingin yang menyakitkan ke dalam terowongan tersebut.

Di dalam terowongan itu, udara panas. Dia sudah masuk ke terowongan itu tiga kali. Dia ikut teman sekapalnya bernama Kenji. Temannya ini ketika sampai di Tokyo mendapatkan kedua orang tuanya tak ada lagi. Menurut tetangga ayahnya meninggal karena TBC, ibunya meninggal ditabrak Jeep tentara Amerika. Dan adik-adiknya yang berjumlah dua orang lenyap tak tentu rimbanya. Orang menyuruh Kenji untuk mencari adik-adiknya ke terowongan bawah tanah itu. Dan kesanalah mereka pergi. Namun adik-adik Kenji tak pernah bersua. Mereka menjalani semua terowongan itu dari pagi hingga sore. Mendatangi kampung-kampung miskin ditepi kota Tokyo. Namun adik-adik Kenji tetap tak pernah bersua. Dari Kenjilah si Bungsu banyak mengenal kota ini. Dan dari Kenji pulalah, sahabat sekapalnya itu dia belajar bahasa Jepang.

Si Bungsu dengan langkah pasti menuju ke terowongan itu. Kemana dia menuju, keterowongan di daerah Ocha Nomizu atau terowongan di daerah Yotsuya kah?

Ocha Nomizu terlalu dekat ke daerah Asakusa. Kalau ada razia tentu Ocha Nomizu akan digeledah pertama kali. Lebih baik ke terowongan di daerah Yotsuya saja, pikirnya. Dia melangkah dalam udara dingin sambil menjinjing bungkusan kecilnya. Bungkusan itulah penyambung nyawanya. Di sana ada perhiasan dan uang bekal yang dia bawa dari Bukittinggi. Yaitu perhiasan yang mereka peroleh bersama Mei-mei dari ruang bawah tanah rumah pelacuran tempat Mei-mei disekap di Payakumbuh. Dia menyelusuri rel kereta api menuju ke daerah Yotsuya. Angin dingin bulan November terasa menampar dan mengiris kulitnya. Dingin dan pedih. Di Ocha Nomizu dia ditegur seorang perempuan. Tegur sapa itu diiringi tawa cekikikan halus. Dia segera mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan malam yang mungkin mencari uang untuk menghidupi keluarganya dalam saat sulit seperti ini. Dia berjalan terus. Tak lama kemudian dia sampai di daerah Yotsuya. Dia berjalan menuruni sebuah tebing kecil. Dan di bawahnya ada pintu terowongan. Sambil berlari kecil, dia masuki terowongan itu. Membelok ke kiri. Terus ke kanan, dan dia mendapati tubuh manusia bergelimpangan disepanjang pinggir terowongan. Tidur dengan menyelimuti segenap pakaian yang ada.

Terowongan itu terang. Sebab pemerintah kota memberinya lampu listrik. Kini meski terowongan itu tak berguna lagi, namun pemerintah kota tetap memberikan penerangan lampu. Sebab pihak pemerintah kota nampaknya memaklumi, bahwa banyak warga kotanya yang melarat melindungkan diri dalam terowongan itu. Dalam keadaan parah begini, dengan tetap menghidupkan lampu dalam terowongan, sekurang-kurangnya pemerintah kota telah membantu meringankan beban warganya.

Si Bungsu berjalan mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia berjalan terus. Membelok kekiri, kenanan. Dia melihat perempuan-perempuan tidur berpagutan dengan lelaki. Dia melihat kanak-kanak juga berpagutan dengan ibunya. Melihat anak-anak miskin tidur dengan kain compang-camping. Dan diantara mereka tidur pula dua tiga anjing kurus. Isi terowongan ini menggambarkan isi kota Tokyo yang sebenarnya. Jauh berbeda dari keadaan di atas mereka. Dimana dalam gedung-gedung bertingkat, hidup orang-orang kaya, para kolabolator dan penghianat-penghianat dengan tenteram dan mewah. Isi terowongan ini, adalah lembaran hitam Kota Tokyo. Tapi inilah penduduk yang sebenarnya.

Dia berhenti disuatu tempat. Ada tempat ketinggian. Dan tempat itu kosong. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Merasa aman lalu dia naik ke atas. Meletakkan bungkusan kecilnya disudut dan dia membaringkan diri. Namun belum begitu lama dia berbaring, dia merasakan seseorang naik ke tempatnya.

Dia jadi waspada. Siapa ini? Pencuri? Pencuri bukan merupakan hal yang mustahil. Kanak-kanak, orang dewasa, lelaki atau perempuan, bisa saja jadi pencuri. Dan mereka tak pula dapat disalahkan. Keadaan memaksa mereka jadi begitu. Siapa pencuri yang menginginkan pekerjaan jadi pencuri? Tak seorangpun. Mana pula ada orang yang ingin diburu rasa takut berkepanjangan. Mana ada orang yang mau menyambung nyawa hanya untuk sesuap nasi. Tapi keadaan memaksa demikian. Daripada bertarung dengan rasa lapar, lebih baik bertarung dengan manusia. Orang yang naik itu membaringkan tubuhnya pula. Kemudian terdengar isakannya perlahan. Menangis. Dan dari isaknya si Bungsu tahu bahwa orang itu adalah seorang perempuan. Namun tak lama isaknya lenyap. Dan suara nafasnya terdengar perlahan.

Tertidur.

Perempuan itu tertidur. Kelelahan membuat dia tertidur. Dan tidur adalah kenikmatan yang paling indah dalam segala penderitaan. Dalam tidur buat sejenak orang dapat melupakan penderitaan dan sengsaranya. Dalam tidur buat sejenak orang melupakan rasa laparnya. Bukankah lupa meski agak sejenak terhadap penderitaan, kemalaratan dan kesengsaraan sudah merupakan suatu "kemewahan"? dan si Bungsu juga tertidur. Mereka tertidur saling membelakang.

-000-

Suara pertengkaran membangunkannya dari tidur. Perlahan dia bangkit. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring dia lihat empat lelaki Jepang tengah membentak-bentak. Memeriksa tas kain seorang lelaki. Kemudian mengambil jam tangan dari dalam tas itu. Demikian terus, keempat lelaki Jepang itu memeriksa orang-orang yang duduk atau berbaring dalam terowongan itu.

"Jakuza…" katanya perlahan.

Jakuza adalah nama suatu sindikat penjahat Jepang. Yang beroperasi mulai dari tingat paling bawah. Seperti halnya mengkoordinir tukang copet, meminta belasting seperti yang dilakukan sekarang, sampai pada mengkoordinir kejahatan tingkat atas. Mengatur pelacuran. Mengatur perampokan, pembunuhan.

Penderitaan rakyat Jepang saat itu selain oleh perang, ditambah lagi oleh kelompok yang menangguk di air keruh ini. Alat negara sendiri kewalahan menghadapi kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki tangan yang amat banyak. Dan mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya beroperasi dengan senjata samurai. Dan dikalangan pejabat sendiri, mereka mempunyai beking.

Si Bungsu mengetahui hal itu dari temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para Jakuza itu sampai pada dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa ratus Yen. Itu diserahkannya semua. Keempat anggota Jakuza itu menatap padanya agak lama.

"Anata wa Tai-jin desu" (Anda orang Muangthai) salah seorang bertanya.

"Watashi wa Indonesia-jin desu…" Saya orang Indonesia) jawabnya perlahan.

"Ooo… Anata wa Indonesia-jin desu…."(ooo, orang Indonesia he?)

"Hai.." (ya) jawabnya perlahan.

Dan keempat Jepang itu tak peduli. Di negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa berdatangan. Ada orang Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang Korea. Bagi mereka tak ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan bagi organisasi mereka, silahkan tinggal di Jepang. Tapi sekali orang itu salah jalan, artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza, maka mereka tidak hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.

"Anohito wa dare desu ka" (siapa ini) tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang berbaring disisi si Bungsu.

Dan untuk pertama kalinya si Bungsu menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah berbaring. Dan sejak saat itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya. Mereka tidur saling membelakang. Kinipun tubuh itu tidur membelakang padanya dengan kepala tertutup kain.

"Saya tidak tahu…"

Kembali keempat lelaki itu menatapnya.

"Anata wa Nippon-go o hanasukoto ga dekimasu ka" (apakah anda bisa bicara dalam bahasa Jepang?) tanya lelaki yang nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat itu.

"Hai, bisa sedikit" jawabnya.

"Nah bangunkan dia, dia harus bayar pajak" lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur itu.

"Maaf, saya tak mengenalnya. Dia datang ketika saya sedang tidur.."

"Bangunkan dia!" suara Jepang itu memerintah.

Si Bungsu tak mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan orang itu ketika tubuh tersebut bergerak dan bangkit duduk. Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut masai, keadaannya masi tetap memikat.

"Hanako…" Jepang yang bertindak jadi pimpinan itu berkata keheranan.

Gadis itu menatap dengan dingin.

"Apakah kalian masih belum puas?" tiba-tiba gadis itu berkata.

"Hanako, kenapa kau pergi dari rumah Kawabata?"

Gadis itu memandang muak pada keempat lelaki tersebut.

"Ayo kau ikut kami. Kalau kau tak senang di rumah Kawabata, kau boleh tinggal dirumahku…" lelaki yang bertindak sebagai pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.

Gadis itu terkejut. Namun dia tak diberi kesempatan. Tangannya ditarik dengan kuat. Dan saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang beryubuh besar itu keluar terowongan.

"Hmm, kau main gila dengan Hannako he…?" Jepang yang bertubuh pendek berkata.

Dan sebelum si Bungsu menyadari apa yang dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga kali. Dan ketiga Jepang itu menyusul pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar gadis itu berteriak dan menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu. Namun perlawanan gadis itu tak ada artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya. Dalam waktu dekat, mereka telah sampai diluar terowongan. Mereka tidak mengambil jalan ke rel kereta api. Tapi mengambil jalan ke belakang.

Penghuni terowongan yang ratusan orang jumlahnya itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut campur. Sebab masalah mereka saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus berhadapan dengan komplotan Jakuza. Oi mak, minta ampunlah!Keempat lelaki Jepang itu mulai melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari arah belakang. Mereka menoleh. Dan jadi terheran-heran ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si "Indonesia" tadi.

"Lepaskan gadis itu…." Suara si "Indonesia" yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar dingin.

Keempat lelaki itu saling pandang. Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu memberi isyarat. Sementara dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota Jakuza itu lalu mengelilingi si Bungsu.

"Hmm, kamu mau Hannako ya? Orang jajahan mau makan orang Jepang ha!?" yang pendek yang tadi menampar si Bungsu berkata.

Dan ketiga mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si "Indonesia" ini. Sementara itu yang tinggi besar tadi sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si Bungsu tadi menahan mereka. Dia sudah akan melangkahi parit kecil ketika kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan menoleh. Dan kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si "Indonesia" itu lagi. Dia tak melihat seorangpun diantara ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat kebelakang. Dan jauh disana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh terhantar di tanah tak bergerak!

Terdengar serapah dari mulutnya. Dia lalu menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis itu jatuh tertelungkup.

"Jahanam, berani waang melawan orang Jepang!" lelaki besar itu berkata sambil maju.

Dan sebuah tendangan khas Karate dilayangkannya ketubuh si Bungsu. Namun anak muda ini telah awas. Sarung samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu. Tendangan si besar menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam sarung samurai. Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu. Bukan main marahnya Jepang itu. Dia berputar dan kembali menyerang dengan pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia bukan lawan si Bungsu dalam hal begini. Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak berusaha melawan serangan maut itu. Dia hanya menghindar sebelum serangan itu tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya dihantamkan ke kepala Jepang itu. Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan rasa sabarnya. Tahu-tahu ditangannya kini terpegang samurai pendek.

"Kubunuh kau!" desisnya sambil menyerang dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang tersohor itu. Jakuza adalah kelompok bandit yang mahir dengan samurai.