Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar.
"Siapa kau!" desis lelaki yang memegang samurai itu.
Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako. Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur.
"Siapa kau!" Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya.
"Saya malaikat maut….." desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu.
"Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mereka anggota Jakuza…."
Suara Kenji terdengar lemah memperingatkan. Namun peringatannya sudah terlambat. Karena saat itu anggota Jakuza itu telah menghayunkan samurainya membabat perut si Bungsu.
Anggota Jakuza adalah bandit-bandit yang mahir dalam beladiri. Karate, Judo dan Aikido mereka kuasai dengan baik. Hanya saja tadi mereka dilumpuhkan oleh Kenji karena tingkatan kemahiran Kenji jauh lebih di atas mereka. Tapi selain beladiri tangan kosong, mereka juga menguasai dengan sangat baik teknik samurai!
Dan samurai adalah sesuatu yang tak dipahami oleh Kenji. Dan kini anggota Jakuza itu tengah memancungkan samurai pendeknya ke perut si Bungsu. Namun seperti kecepatan cahaya, selarik sinar putih panjang memintas gerak samurai pendek itu. Gerak samurai Jakuza itu terhenti. Ada rasa perih yang melumpuhkan terasa. Dan dengan terkejut bercampur heran dia menatap dadanya berdarah. Memandang ke kiri ke kanan. Dan dia berusaha melanjutkan gerak samurainya. Bukankah dia termasuk seorang yang mahir dalam samurai? Tapi kembali sinar putih yang amat cepat itu memintas. Dan kini tangannya yang memegang samurai itu putus. Potongan itu jatuh ke lantai berikut samurai pendeknya. Kepala Jepang itu berpaling heran dan takjub.
"Saya adalah malaikat maut…." Si Bungsu mengulangi kata-katanya tadi. Dan seiring dengan itu samurainya bekerja lagi. Kepala anggota Jakuza itu terdongak ke belakang. Lehernya hampir putus! Dia rubuh dan mati dengan darah menyembur-nyembur dari leher dan tangan serta dadanya. Anggota Jakuza yang seorang lagi, termasuk Kenji, ternganga melihat kejadian itu. Benar-benar takjub dan kaget.
Perlahan si Bungsu memalingkan tegak menghadap pada anggota Jakuza yang gemuk pendek itu. Anggota Jakuza itu sudah hancur mentalnya. Dia menggigil. Dia memang pintar memainkan samurai. Tapi melihat lelaki asing ini mempergunakan samurainya, dia merasa beraknya hampir keluar.
"Ini bukan orang, ini syetan. Hanya syetan yang bisa mempergunakan samurai secepat itu…" hati lelaki itu berbisik kecu.
"Engkau saya ampuni. Dan sampaikan pada pimpinanmu, disini Kenji-san dan saya si Bungsu dari Gunung Sago Indonesia, menanti kalian. Datanglah, dan akan kami nanti dengan samurai ditangan. Sebagai bukti bahwa kami menantang Jakuza yang telah menodai Hannako, bawa pesan berdarah ini…!!
Seiring ucapannya, samurai keluar lagi dalam kecepatan kilat. Dan sebelum Kenji atau lelaki Jakuza itu tahu apa yang dimaksud oleh si Bungsu dengan "Pesan Berdarah" itu, anggota Jakuza itu terlolong. Tangan kananya putus hingga bahu!Darah menyembur-nyembur dari bahu yang putus itu. Namun lelaki itu tak berani bergerak. Sebab ujung samurai si Bungsu melekat di lehernya.
"Katakan pada pimpinanmu, atau siapa saja di antara anggota Jakuza jahanam itu, jika mereka berani mengganggu Hannako, Kenji atau adik-adiknya, mereka akan menerima nasib seperti temanmu ini. Kini tinggalkan tempat ini segera!"
Dan lelaki itu tak usah diperintah untuk kedua kalinya. Lepas saja dari "syetan samurai" itu sudah mujur baginya. Dia segera angkat kaki seribu. Persetan dengan dua bangkai temannya yang tergeletak dalam rumah itu.
Dan lelaki itu tak mau melapor ke rumah Kawabata. Bikin apa dia kesana. Kalau dia datang kesana, dia pasti disuruh menunjukkan rumah Hannako. Dan itu berarti harus berhadapan dengan anak muda dari Indonesia itu kembali.
Ai mak, berhadapan dengannya? Minta ampun.
Daripada berhadapan dengannya lebih baik bunuh diri pikirnya. Dan dengan pikiran begitu, dia lalu berlari ke rumah sakit. Selesai mengobati tangannya yang pontong itu, dia naik kereta api. Pulang ke kampungnya di mudik sana. Persetan dengan Jakuza. Kalau mereka mau, biar berhadapan sendiri dengan anak muda itu, pikirnya. Dan selama perjalanan menuju kampung, lelaki gemuk pendek bekas bandit itu tak henti-hentinya mensyukuri nikmat Dewa yang telah memanjangkan umurnya. Kalau anak muda itu silap sedikit saja, dan samurainya dihadapkan ke jantungnya, iiii! Dan dia berniat untuk potong ayam sebagai tanda sukur bila sampai ke kampungnya. Isteri dan anak-anak serta mertuanya pasti akan kaget dan menangis melihat tangannya putus. Tapi dia akan berdusta, bahwa tangannya putus karena terjepit kendaraan bermotor. Dan kalau mereka tak percaya, dia akan ceritakan bahwa masih untung hanya kehilangan sebelah tangan. Bagaimana kalau dia kehilangan kepala?
Dalam perjalanan dengan kereta api itu, anggota Jakuza ini kembali membayangkan wajah anak muda Indonesia itu. Berwajah tampan, pendiam tapi di dalamnya seperti ada kawah berapi yang siap memuntahkan laharnya setiap saat. Bulu tengkuknya merinding bila mengingat betapa cepatnya anak muda itu mempergunakan samurai. Dia telah melihat beberapa orang Jepang yang mahir samurai. Misalnya Kawabata, gurunya sendiri. Tapi manakah yang lebih cepat? Ah, persetan pikirnya.
--000--
Tapi orang gemuk pendek ini hanya dua hari hidup dengan tentram dikampungnya.
Hari ketiga, datang ke kampung itu empat orang lelaki. Meski dia tak kenal, tapi dari caranya, dia tahu bahwa orang ini pastilah suruhan Kawabata, anggota Jakuza dari wilayah lain.
Memang begitu aturan permainan yang berlaku dalam Jakuza. Bila seorang anggota membelot misalnya, maka yang akan membereskan si belot itu adalah anggota dari wilayah lain. Dan si gemuk pendek ini yakin bahwa Kawabata pasti menyuruh menyudahi nyawanya.
"Hmm, gemuk. Kenapa kau pergi saja tanpa melapor pada Kawabata-san…." Yang memimpin utusan itu bicara dengan suara baritonnya.
"Si gemuk" itu hanya tersenyum. Dia yakin orang ini pasti tak begitu saja mau menyudahi nyawanya. Mereka ingin tahu lebih dahulu persoalan Hannako dan kedua temannya yang mati.
"Saya masih ada urusan lain yang penting. Nanti saya menghadap pada Kawabata-san…." Dia menjawab.
"Sekarang saja jelaskan. Kawabata-san sedang ke Hokkaido…"
"Biar saya yang menjelaskan sendiri padanya…"
"Jelaskan pada kami…."
"Apakah kalian ingin kekerasan?" si gemuk yang bertangan pontong itu menggertak.
Tapi dia salah duga. Keempat lelaki ini memang sudah diperintahkan untuk menyudahinya bila dia banyak tingkah. Salah seorang segera saja maju memukulinya. Tapi berbareng dengan itu, si gemuk ini juga sudah siap dengan samurainya. Begitu lelaki itu akan memukul si gemuk menghantamnya dengan samurai. Tak ampun lagi orang itu terjungkal dengan dada tembus. Tapi itu pulalah pembelannya yang terakhir. Sebab yang tiga orang lagi segera menikamnya dengan samurai. Tiga bilah samurai segera melumpuhkannya. Si Gemuk itu rubuh. Dai menyeringa kesakita.
"Jahanam kalian….kalian akan disudahi oleh orang Indonesia itu….percayalah, saya berdoa untuk itu…" dan dia mati.
Ketiga lelaki anggota Jakuza itu saling pandang.
"Dia menyebut Indonesia…." Salah seorang bicara.
"Apa yang dia maksud…?"
Tak ada yang mengerti. Dan mereka lalu pergi meninggalkan rumah itu persis ketika isteri si gemuk itu pulang dari pasar bersama anaknya. Ketika mereka naik taksi, mereka mendengar perempuan itu memekik. Dalam kekacauan setelah perang berakhir di negeri ini, kerusuhan demi kerusuhan timbul terus hari demi hari.
Kerusuhan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang ingin menangguk di air keruh. Untuk itu korban berjatuhan. Mereka tak peduli apakah mereka akan membunuh orang lain, ataupun saling bunuh sesama bangsanya sendiri. Yang dituju organisasi ini adalah kekayaan untuk diri pribadi mereka,.
--000—
Ketika perkelahian itu usai, ketika si gemuk itu melarikan diri dengan tangannya yang putus sebelah, si Bungsu menghampiri Kenji.
"Bungsu-san…engkau benar-benar luar biasa….Terimakasih, engkau kembali menyelamatkan kami….."
,"Tenanglah Kenji-san…"
"Tolong lihat bagaimana keadaan Hannako, dia…dia.. ya, Tuhan, tolonglah adikku itu Bungsu-san…"
Bungsu segera teringa Hannako. Dia tegak dan masuk ke kamar, Hannako tengah duduk di sudut pembaringan dengan kain asal membalut tubuhnya saja. Matanya berair menatap hampa ke depan.
"Hanako-san…"
Gadis itu tersentak. Dia makin menghindar ke sudut.
"Engkau tak apa-apa Hanako…?"
"Pergi, jangan dekati aku….pergi!"Gadis itu berteriak.
"Tenanglah Hanako…." Si Bungsu berusaha mendekat.
Namun gadis itu melompat ke bawah dan berusaha untuk lari. Si Bungsu mencegatnya di pintu.
"Pergi! Jangan dekati aku….pergilah….!"
Gadis itu memukul bahu si Bungsu hingga kain yang menutupi tubuhnya jatuh lagi.
"Tenanglah Hanako, mereka yang mencemarkan dirimu telah kubunuh…tenanglah.." dan tiba-tiba gadis itu memeluk si Bungsu. Menangis didadanya.
Si Bungsu mengambil kain dan menyelimutkan ke tubuh gadis malang itu. Lalu mengangkatkanya ke pembaringan. Gadis itu makin menjadi tangisnya.
"Nakanaide kudasai Hanako-san…nakanaide kudasai.." (Hanako, jangan menangis, jangan menangis..) katanya perlahan.
Tapi gadis itu menangis terus. Dia menelungkupkan wajahnya ke bantal.
"Mereka telah menodai saya Bungsu-san…mereka benar-benar jahanam…"
"Tenanglah….."
"Bungsu-san, apa jadinya diriku. Aku tak berharga lagi…apa artinya seorang gadis bila telah ternoda…?"
"Tenanglah Hanako. Tuhan akan melindungimu. Tuhan menyayangi orang-orang yang teraniaya…"
"Tetapi Tuhan tak menolong kami. Budha tak menolong kami. Budha membiarkan diriku tercemar, Budha membiarkan abangku teraniaya. Mereka tak menolong kami dari kekejaman bangsa kami sendiri…"
"Tenanglah Hanako-san. Bukan saya yang menolong kalian. Saya hanya penjalan takdir Tuhan. Tuhan telah mengatur segalanya…tenanglah. Tabahkan hatimu. Saya akan membantu Kenji-san.."
Gadis itu bangkit, duduk dan tiba-tiba memeluk si Bungsu erat-erat.
"Terimakasih Bungsu-san. Kami tak lagi punya orang tua. Engkaulah kini tempat kami berlindung. Engkau dan Kenji-san. Jangan tinggalkan kami…"
"Saya akan membantu kalian Hannako, percayalah…"
Hannako beberapa saat masih menangis dibahunya. Kemudian si Bungsu membaringkannya kembali. Gadis ini benar-benar patut dikasihani. Dia mendapat goncangan jiwa yang dahsyat.
Di ruang tengah Kenji tengah berusaha merawat lukanya.
"Bagaimana adikku, Bungsu-san?"
"Dia tak apa-apa. Dia tengah istirahat….bagaimana lukamu Kenji-san..?
"Mereka memakai samurai… dikamarku ada obat Bungsu-san…tolonglah…"
Dan mereka sibuk mengurus luka-luka Kenji. Mujur Naruito adik lelaki Kenji tak di rumah. Selesai merawat luka Kenji, si Bungsu memberesi ruang tengah yang berlumur darah itu. Dia mengintip keluar. Tak ada orang. Salju turun seperti kapas. Hari sudah sore.
"Kita buang kemana mayat ini Kenji-san?"
"Saya tak tahu harus dibuang kemana Bungsu-san. Saya tak sanggup berpikir. Nasib kami, saya serahkan padamu…" Kenji berkata dari pembaringan dengan lemah. Dia cukup banyak mengeluarkan darah.
Bungsu bertindak cepat. Orang tak boleh tahu tentang apa yang telah terjadi di rumah ini. Terutama adik lelaki Kenji yang kecil. Bungsu mengangkat mayat itu satu persatu.
Di belakang rumah mereka ada parit besar sekali. Parit ini dalam musim dingin begini penuh airnya. Airnya tak membeku karena seluruh air yang masuk ke sana disaring lewat penutup riol. Seluruh air akan berkumpul disaluran yang besarnya ada tiga meter bundaran. Dan saluran induk pembuang kotoran ini berada di belakang rumah mereka. Tanpa banyak pikiran Bungsu membuang mayat itu ke dalam riol besar tersebut. Tak peduli apakah mayatnya dihanyutkan atau tidak. Persetan. Kemudian dia membersihkan darah yang bergelimang di lantai. Lalu mengepel lantai itu hingga kering. Ketika dia berhenti, dia melihat Hannako tegak di pintu. Gadis itu sejak tadi tegak di sana dengan tubuh lemah melihat si Bungsu bekerja.
"Bungsu-san…" katanya perlahan.
Si Bungsu tersenyum. Mendekati gadis itu. Memegang bahunya. Dan tiba-tiba gadis itu kembali memeluknya. Menangis lagi dipundaknya.
"Tenanglah Hanako, semuanya sudah lewat…" Hannako menggeleng.
"Belum ada yang lewat Bungsu-san. Ini baru permulaan. Jakuza tak pernah meninggalkan sisa bila ia membereskan suatu soal. Mereka akan datang lagi dalam jumlah yang lebih banyak. Dan mereka akan membunuh kita. Engkau pergilah jauh-jauh Bungsu-san. Selamatkan dirimu. Biarkan kami menyelesaikan soal ini sendiri. Ini persoalan kami Bungsu-san. Jangan libatkan dirimu terlalu jauh…"
"Tenanglah Hanako. Siapa bilang ini bukan urusanku. Bukankah aku justru yang memulai membuat soal dengan Jakuza. Yaitu takkala membunuh ke empat lelaki yang akan membawamu dari terowongan di daerah Yotsui dulu? Nah, akan kita lihat bagaimana akhirnya soal ini. Kita sudah memulai bersama, dan kita akan tetap berkumpul bersama sampai soal ini selesai.."
Hannako kembali menangis. Dia baru menghentikan tangisnya ketika di luar terdengar suara anak-anak menyanyi.
Naruito pulang dari sekolah. Dia masuk dengan melompat gembira. Namun terhenti dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat takkala di pintu belik dia lihat si Bungsu tegak sambil tersenyum.
"Selamat sore Bungsu-san…" katanya.
"Selamat sore Naruito, kenapa sore baru pulang?"
"Saya sudah bilang sama kakak tadi, bahwa ada acara di sekolah…mana kakak?"
Hanako mendengar adiknya pulang segera ke kamar mandi membersihkan diri. Dia tak ingin adiknya mengetahui bencana yang telah menimpa mereka siang ini.
"Kakakmu di kamar. Nah, letakkanlah buku. Sudah saatnya kita makan bukan?"
"Haii…!" seru anak itu sambil berlari ke kamarnya.
Sementara itu Hannako muncul di kamar makan menyiapkan makanan adiknya. Mereka memang belum ada yang makan sejak siang tadi.
"Engkau bisa iku makan bersama Kenji-san?"
Si Bungsu bertanya pada Kenji yang terbaring di tempat tidurnnya.
"Ya, saya akan ikut makan. Perut saya memang lapar. Tapi, apa jawab saya kalau Ito bertanya tentang luka ini?"
Mereka bertatapan. Tak ada yang bicara.
"Katakan saja engkau cedera dalam latihan…"
"Mereka tahu, dalam latihan Karate dan Judo tak dipergunakan senjata tajam…"
"Bagaimana kalau dikatakan bahwa engkau mendapat kecelakaan mobil ketika ke pasar tadi?"
"Ya, itu lebih baik…" kata Kenji sambil bangkit.
Dan ketika makan Naruito menanyakan luka Kenji. Dan mereka menjawabnya sesuai rencana semula.
Lalu hari-hari setelah itu, mereka lalui penuh ketegangan. Pagi, siang, sore, petang dan malam mereka menanti dengan tegang. Tak seorangpun yang bisa tidur dengan lelap. Jakuza seperti akan tiba setiap saat. Mereka demikian tegangnya. Hingga Hannako jatuh demam. Meski demikian, Naruito tetap disuruh sekolah seperti biasa.
Anak itu akan tetap aman. Sebab mereka pergi dan pulang sekolah dijemput oleh bus sekolah yang dijaga oleh petugas keamanan. Kepada kedua kanak-kanak itu kejadian yang menimpa mereka tetap dirahasiakan. Akhirnya suatu malam.
"Kenji-san….kita bisa gila menanti begini…" si Bungsu berkata perlahan agar tak membangunkan Hannako yang baru saja tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam.
"Ya. Begini memang taktik Jakuza dalam menghancurkan mental lawan yang mereka anggap kuat Bungsu-san…"
"Mereka mengharap kita lengah. Atau menyerah. Atau mengharap kita pindah dan mereka menyikat kita di perjalanan…"
Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar penjelasan Kenji. Dan akhirnya si Bungsu memutuskan untuk datang sendiri kerumah Kawabata!
Menanti atau mendatangi, akhirnya toh sama saja. Yaitu pertarungan hidup atau mati.