Ke 20 Jakuza lainnya jadi menciut saking takutnya akan murka yang akan menyembur dari Tokugawa. Anak muda ini benar-benar mencari penyakit, pikir mereka.
Tapi lagi-lagi mereka melihat suatu keanehan. Tokugawa bukannya murka. Malah tegak dengan diam dan menatap dengan tepat-tepat pada si Bungsu.
"Terimakasih atas peringatanmu anak muda. Engkau membangkitkan kebanggaan saya terhadap keluarga Tokugawa. Akan saya ingat ucapanmu itu"
Semua orang terdiam. Si Bungsu sendiri kaget. Tak dia sangka orang tua ini sabarnya begitu hebat.
"Nah, katakanlah, apa perhitungan yang akan kau buat dengan Kawabata…"
"Saya datang kemari untuk mengajukan dua hal. Pertama, hentikan mengganggu Hannako, Kenji dan adiknya. Kedua, kalau hal itu tak dapat dilakukan dengan baik-baik, saya mempertaruhkan jiwa saya agar Kawabata tidak menggangu gadis itu…"
Tokugawa diam. Kawabata diam. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza Tokyo itu diam. Tantangan anak muda ini benar-benar luar biasa. Luar biasa beraninya. Luar biasa hebatnya.
"Apakah engkau mencintai Hannako?" suara Tokugawa terdengar lagi. Semua orang saling diam menunggu jawaban anak muda itu…
"Tidak…saya hanya menyayanginya…."
"Engkau mempertaruhkan nyawa bagi orang yang tak kau cintai. Lalu apa sebenarnya alasan pengorbananmu?"
Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada Tokugawa. Aneh, tiba-tiba dia merasa simpati pada orang tua gagah kepala rampok ini. Dan tiba-tiba dia teringat pada orang tuanya.
Tokugawa dan seluruh anggota Jakuza dalam ruangan itu jadi heran bercampur kaget takkala pipi anak muda itu basah oleh air mata.
"Saya datang kemari karena seluruh keluarga saya telah punah dibunuh. Tak usah saya katakan siapa yang membunuhnya. Saya merasa betapa pahitnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan tanpa saudara. Dan Kenji serta adik-adiknya juga akan mengalami nasib seperti saya kalau Jakuza tak berhenti mencelakai mereka. Saya pertaruhkan nyawa saya untuk mereka, agar mereka tak mengalami nasib malang seperti saya…"
Tokugawa merasa jantungnya seperti ditikam mendengar ucapan anak muda asing ini. Di negerinya ada orang asing yang mau mengorbankan dirinya demi membela anak-anak Jepang dari penindasan. Dia adalah kepala bandit yang terkenal kejam. Namun mendengar apa yang dikatakan anak muda dari Indonesia ini, hatinya jadi luluh.
"Bagaimana engkau akan memaksakan Kawabata agar tak mengganggu Hanako?"
"Saya memang tak punya kekuatan untuk memaksanya. Tapi sebagai seorang lelaki, saya menantangnya untuk bertarung memakai samurai.."
Kembali terdengar suara berdengung dalam ruangan itu mendengar tantangan anak muda ini.
Semua orang pada berbisik. Pada menatapnya. Dan tiba-tiba mereka semua baru menyadari bahwa ditangan kiri anak muda itu sebenarnya tergenggam sebilah samurai. Bukan tongkat kayu seperti yang mereka duga semula. Tokugawa menatap pada Kawabata. Menatap dengan sinar mata yang sulit diartikan. Kemudian dia berpaling pada si Bungsu.
"Merupakan kehormatan bagi saya, bahwa engkau menantang Jakuza dengan samurai. Saya, Tokugawa, pimpinan Jakuza wilayah Tokyo sekitarnya, memberi jaminan padamu, bahwa setelah pertarunganmu dengan Kawabata, tak perduli engkau kalah atau menang, maka tak seorangpun anggota Jakuza yang akan mengganggu Hannako dan Kenji serta adiknya"
Semua pimpinan Jakuza dalam ruangan itu pada terdiam.
"Domo arigato gozaimasu. Tapi, barangkali saya mati dalam pertarungan ini. Apakah bukti bahwa Tokugawa memegang janjinya untuk takkan mengganggu Kenji, Hanako dan adiknya" suara si Bungsu terdengar lagi.
Tokugawa berjalan ke depan. Di samping si Bungsu ada sebuah meja kecil dimana terletak sebuah kendi porselin putih. Tokugawa menurunkan porselin itu. Kemudian tiba-tiba dari balik kimononya dia mengeluarkan sebilah samurai pendek. Dia memberi isyarat. Seorang pelayan bergegas membawa sehelai kain putih. Dia meletakkan tangan kirinya di atas kain putih itu. Lalu menghunus samurai pendeknya. Dia menatap pada si Bungsu. Menatap pada 20 anggotanya yang memandang padanya dengan kaget. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza itu tiba-tiba berlutut.
Si Bungsu tak mengerti apa yang akan diperbuat pimpinan Jakuza ini. Dan tiba-tiba sekali, tangan Tokugawa bergerak cepat. Samurai ditangan kanannya memutus kelingking kirinya! Kelingking yang putus itu dia bungkus dengan kain putih. Dan tangan kirinya segera dibalut dan diberi obat oleh pelayannya.
Tokugawa mengambil kelingkingnya yang telah putus yang terbungkus kain putih itu. Dia berjalan menghampiri si Bungsu. si Bungsu benar-benar kaget. Dia tak mengerti, bahwa yang dilakukan Tokugawa sebentar ini adalah sumpah seorang samurai. Dalam hal-hal yang muskil, bila seorang samurai sejati bersumpah, sebagai tanda bahwa sumpahnya itu takkan pernah dimungkiri, maka mereka memotong kelingking.
Dan ke 20 pimpinan Jakuza di Tokyo yang hadir itu menjadi maklum, bahwa sumpah Tokugawa terhadap anak muda ini, untuk tidak mengganggu keluarga Hannako adalah sumpah yang tak boleh siapapun melanggarnya. Dengan pemotongan kelingking itu, maka Hannako dan saudara-saudaranya, sepenuhnya berada di bawah lindungan Tokugawa. Siapapun yang mengganggu, tak peduli dia anggota Jakuza atau tentara Amerika sekalipun, maka Tokugawa akan tegak di depan sekali membelanya.
"Ini bahagian tubuhku, kuberikan padamu sebagai bukti bahwa janjiku adalah janji samurai. Siapapun yang mengganggu Hannako dan saudaranya akan berhadapan denganku…"
Tokugawa mengulurkan kain putih yang berdarah itu. Si Bungsu tertegun. Kaget, heran dan takjub bercampur baur dihatinya. Juga perasaan terharu.
"Jika aku mati sekalipun dalam pertarungan ini, saya takkan kecewa. Saya berterimakasih atas kebaikan hati Tokugawa bersedia melindungi Hannako dan saudara-saudaranya…"
Berkata begini, anak muda dari Gunung Sago di Minangkabau itu membungkuk dalam-dalam dan menerima kelingking yang telah putus itu. Dia memasukkannya ke kantong baju.
"Domo arigato gozaimasu…" katanya sambil sekali membungkuk dalam-dalam. Tokugawa membalas membungkuk.
Dan ketika mereka bertatapan, si Bungsu melihat di sudut mata lelaki tua gagah kepala komplotan bandit itu, berlinang air mata. Ada sesuatu yang membuat Tokugawa terharu atas sikap anak muda itu. Yaitu keinginannya untuk membela orang lain tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.
Orang yang dia bela itu adalah orang Jepang yang dianiaya oleh orang Jepang sendiri. Dan dia berani datang ke Jepang ke sarang harimau sendirian demi membela anak-anak Jepang yang teraniaya. Usahkan memikirkan, malah orang-orang Jakuza yang menyebar bencana dan kesulitan di tengah orang-orang Jepang yang jelas telah sengsara. Kini, ada orang lain, entah siapa dia, entah darimana datangnya, yang mau mengorbankan nyawanya demi membela anak-anak yang tertindas itu. Inilah yang membuat Tokugawa terharu.
Dia menitikkan air mata, sesuatu yang tak pernah dia lakukan selama hidupnya.Tokugawa lalu berbalik, berjalan ke arah tempat dia tegak tadi.
"Nah, dengan apa engkau akan menantang Kawabata?" tanya Tokugawa.
"Terimakasih atas kesempatan ini. Saya memiliki sebuah samurai dan mengetahui sedikit cara mempergunakannya. Saya dengar Jakuza mahir mempergunakan samurai. Maka saya berharap Kawabata mau memberi pelajaran pada saya dalam hal ini.."
Ucapan anak muda ini jelas merendahkan diri. Tapi hal itu justru mengundang rasa kaget dan kagum dihati Tokugawa dan seluruh pimpinan Jakuza Tokyo padanya. Seorang asing, anak muda yang berusia sekitar 28 tahun, menantang Kawabata yang kemahirannya bersamurai diantara anggota Jakuza Tokyo terkenal sangat tinggi. Tokugawa menoleh pada Kawabata. Kemudian terdengar suaranya berbegu dingin:
"Sudah kukatakan beberapa kali pada kalian. Jangan mengganggu gadis Jepang. Jangan mengganggu anak-anak yatim. Ternyata kalian tak menjalankan perintahku. Kawabata, engkau harus melayani tantangan anak muda ini. Kalau engkau mati, maka persoalan selesai di sana. Tapi kalau engkau menang dan tetap hidup, maka peradilan organisasi terhadap kesalahanmu seperti yang dilaporkan anak muda ini akan dilanjutkan. Bersiaplah!"
Tak ada yang bisa diperbuat Kawabata selain membungkuk dalam-dalam memberi hormat. Tokugawa adalah pimpinan Jakuza yang disegani di seluruh Jepang. Dia memang tidak pimpinan Jakuza tertinggi. Dia menduduki rangking ke 2 dalam urutan kepemimpinan Jakuza.
Tapi meski di urutan ke 2, Tokugawa adalah orang yang tak bisa dilewatkan begitu saja dalam oragnisasi. Dia memimpin Jakuza Tokyo. Dan kota ini adalah kota ke 2 di Jepang setelah Kyoto. Kini sejak perang dunia ke 2 berakhir, maka Tokyo justru menjadi kota pertama di Jepang. Posisinya ini, ditambah dengan wibawa dan kemahirannya serta nama besar keluarga Tokugawa, membuat dia seorang yang amat disegani. Malah dalam pemilihan pimpinan pusat di musim semi yang akan datang. Tokugawa disebut-sebut sebagai calon pimpinan yang tangguh.
Meski kerjanya memimpin komplotan bandit, namun Tokugawa orangnya sportif dan bebudi. Aturan organisasi dia jalankan dengan ketat. Tak sembarang anggota boleh membunuh atau memeras atau maling sesukanya. Ada aturan. Dan kalaupun ada anak buahnya yang melakukan semua hal itu, seperti Kawabata memperkosa Hanako, atau seperti Kawabata yang memeras di terowongan bawah tanah, maka itu adalah semacam ekses daripada ketidak disiplinan pimpinan bawahannya seperti Kawabata.
Untuk melawan Tokugawa? Amboi mak, minta ampunlah. Semua anggota Jakuza sangat kenal siapa Tokugawa ini. Namanya saja sudah Tokugawa. Suatu klan yang melahirkan jago-jago samurai di seluruh tanah Jepang. Suatu klan keluarga yang mula pertama memperkenalkan senjata tradisional Jepang itu kepada manusia ribuan tahun yang lalu. Dan Tokugawa ini termasuk seorang dari empat atau lima belas orang pemakai samurai tersohor di Jepang saat ini. Itulah kenapa sebabnya Kawabata atau dedengkot-dedengkot Jakuza lainnya tak berani membangkang terhadap putusan Tokugawa.
Dan itu pula sebab kenapa Kawabata terpaksa harus melayani tantangan si Bungsu. Meskipun sebenarnya dia ingin anak buahnya saja yang menyudahi si Bungsu. Namun dia juga bersykur bahwa dia yang diperintah untuk menghadapi anak muda asing ini. Dengan demikian dia bisa membalaskan sakit hatinya pada anak muda yang telah membunuh lima anggotanya dan mencelakai seorang dengan memutus tangannya.
Dia segera maju ke tengah rumah setelah menghormat pada Tokugawa. Yang lain pada membuat lingkaran di sekitar dinding. Bagian tengah rumah besar itu kini terluang. Kawabata membuat semacam acara tradisional di tengah ruangan. Kemudian seorang pembantunya mengantarkan padanya sebilah samurai. Samurai itu sebilah samurai panjang. Bergagang coklat seperti dari kulit kelas satu. Dipangkal gagangnya ada jumbai kuning keemasan. Sarungnya di ujung dan di pangkalnya dibalut ukiran kuning keemasan pula. Bukan kuning keemasan, balut sarung samurainya itu yaitu balut ujung dan pangkalnya memang terbuat dari loyang emas murni.
"Nah, anak muda bersiaplah…: Tokugawa memperingatkan. Kawabata telah menghunus samurainya. Si Bungsu sendiri memperhatikan upacara yang dibuat Kawabata tanpa berkedip. Tanpa emosi dan tanpa ekspresi Aneh, dia melihat segalanya sebagai sebuah hal yang lumrah. Sebagai sesuatu yang tak patut untuk diherankan apalagi untuk ditakuti. Bukankah dia sendiri yang datang dan menghendaki peristiwa ini? Dan Kawabata kini mulai melangkah perlahan. Merendah sambil memegang samurai dengan kedua tangannya. Langkah bergeser di lantai. Dan tiba-tiba si Bungsu teringat pada perkelahiannya dengan Letnan Kolonel Akiyama di Bukittinggi dahulu.
Langkah kaki Kawabata persis langkah Akiyama. Bergeser perlahan dengan kuda-kuda lebar. Mata lurus menatap pada lawannya. Tangan kukuh memegang samurai. Tokugawa menatap dengan tenang pada kedua orang ini. Terutama perhatiannya tertuju pada si Bungsu, ke 19 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo dan sekitarnya itu juga memandang anak muda itu. Mereka mulai ragu. Apakah anak muda ini benar-benar pandai mempergunakan samurai atau memang benar-benar ingin belajar seperti yang dia katakan tadi?
Kalau dia ingin belajar, maka pelajaran yang akan dia terima dari Kawabata sesungguhnyalah pelajaran yang paling akhir dan paling pahit. Yaitu kehilangan kepala dan nyawa.
Jarak mereka hanya tinggal sedepa setengah. Dalam jarak begini sebuah serangan kilat sudah bisa mematikan lawan. Kawabata sudah benar-benar dalam keadaan sempurna siaga. Tapi anak muda itu masih tegak dengan santai. Matanya saja yang nanap melihat Kawabata. Tapi selain matanya yang mirip mata elang itu, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan bertempur.
Kakinya masih terpentang lebar menghadap lurus ke depan. Tangan kirinya masih tergantung biasa memegang "tongkat" usangnya itu. Tangan kanannya masih tergantung lemah seperti tak bertenaga. Tubuhnya diam tak bergerak. Malah yang bermata tajam dapat melihat bahwa dia sebenarnya tak bernafas sejak Kawabata melangkah mendekatinya tadi. Dia telah menghirup nafas panjang perlahan, menahannya di rongga dada. Mengeluarkan sedikit. Kini menahannya penuh.
Yang kaget bukan main melihat situasi ini adalah Tokugawa. Dia kaget luar biasa. Dia sudah bisa dengan pasti mengatakan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan ini. Pasti sudah!