"Maaf, saya salah duga. Terimakasih atas bantuan saudara. Kita akan berjumpa lagi dalam waktu dekat. Selamat berjuang. Merdeka!" Ucapan lelaki itu mengalir cepat dan tegas.
Sehabis ucapannya, sebelum si Bungsu sempat menyahut, lelaki itu menyelinap kederetan rumah penduduk. Kemudian menghilang. Si Bungsu tahu bahwa setiap detik bahaya bisa mengancam jiwanya kalau dia tetap juga tegak disini. Karenanya, dia juga mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh lelaki tadi. Dia juga menyelinap ke balik rumah-rumah penduduk. Dan bergegas pergi ke arah pelabuhan.
Jauh dibelakangnya dia dengar suara deruman kendaraan militer mendekati tempat tadi. Balatentara Belanda pasti telah menuju tempat tersebut. Dia percepat langkahnya. Dia tak khawatir pada serdadu Belanda. Sebab mereka segera bisa dikenali. Tubuh dan kulit mereka berbeda dengan kulitnya. Yang dia takutkan adalah anggota-anggota Nevis dari bangsanya sendiri. Mereka sulit diketahui. Sebab mata-mata ini berpakaian seperti umumnya orang Indonesia dan karena mereka juga bangsa Indonesia, maka mereka sulit diketahui. Si Bungsu mempercepat langkah. Berusaha bergegas, tapi jangan sampai mencurigakan!
Peluh telah meleleh ditubuhnya ketika dengan hati-hati dia menghampiri penginapan kecil dimana dia tinggal. Dia berhenti. Memperhatikan dari kejauhan. Apakah ada hal-hal yang mencurigakan. Sepi.
Apakah sepi karena tak terjadi apa-apa atau sepi karena Belanda telah memasang perangkap?Tiba-tiba dia lihat pemilik penginapan itu keluar bersama orang Amerika yang menyelidiki Istana Siak Sri Indrapura. Mereka bicara sebentar, kemudian orang Amerika itu pergi. Pemilik penginapan masuk kembali. Dan orang Amerika itu pergi sendiri tanpa istrinya yang bertubuh montok, menggiurkan. Dan dari suasana itu, si Bungsu mengetahui bahwa Belanda belum mencium jejaknya. Dia berjalan ke penginapan. Naik ke tingkat dua dengan melewati tangga papan. Ketika dia baru saja di atas, dia berpapasan dengan perempuan Amerika.
Perempuan cantik itu terkejut, dia tertegun menatap si Bungsu. Namun si Bungsu bergegas kebiliknya. Di biliknya dia mengambil bubuk obat yang dia bawa dari Bukittinggi. Kemudian menebarkannya disepotong kain bersih. Kemudian mengambil saputangannya. Membasahkannya dengan air dalam ceret kecil di atas meja. Dengan saputangan basah itu dia bersihkan lukanya. Dan ia terhenti sebentar. Ingatannya melayang pada Salma. Tanpa sengaja dia melihat cincin bermata berlian dijari manisnya. Cincin yang diberikan Salma ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi.
Ah, terasa benar betapa sepinya tanpa gadis itu. Di Bukittinggi, dia tak usah susah-susah mengurus dirinya yang luka. Berkali-kali dia kembali dari perkelahian mengalami luka-luka. Dan Salma selalu merawatnya sampai sembuh. Merawat dirinya dengan kasih sayang. Dia menarik nafas. Kemudian mengambil kain yang telah ditaburi bubuk obat itu, dan menempelkannya ke lehernya yang luka oleh pisau pejuang tadi. Tapi ketika akan melekatkannya, bubuk obat itu jatuh. Terserak dilantai. Tubuhnya terasa lemah. Dia raba lehernya yang luka itu. Dan tiba-tiba dia merasa sesuatu yang ganjil. Dia lihat telapak tangannya. Dia perhatikan kuku jari-jari tangannya. Pucak agak kebiru-biruan. Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka, dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Tapi belum begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata bekerja lebih cepat.
Jahanam! Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan berpisah tadi bahwa pisaunya beracun? Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring, dan dia coba lekatkan kain berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal. Dan waktu itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau pejuang itu mulai menghilangkan kesadarannya. Tangannya meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.
Dan yang berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata biru, berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda. Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya terjinjing sebuah ransel kecil, diluar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah yang sempat diingat si Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.
Yang masih diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya, gadis itu datang merawat lukanya. Rasanya dia mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat dulu.
"Diamlah agar saya rawat luka abang…" suara gadis itu berbisik perlahan ditelinganya.
Si Bungsu tak menjawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka dilehernya. Gadis itu membersihkan pakaiannya. Matanya menatap loteng.
Di loteng, seekor cecak tengah mengintai lelatu yang merayap tak jauh dari mulutnya. Cecak itu menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa dirinya diancam bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau ingin berteriak memperingatkan lelatu itu. Tapi dia tak bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu akan menerkam lelatu itu. Makin dekat-makin dekat. Nafas si Bungsu memburu. Dia ingin mencegah. Tapi…snap!! Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persih tentang kepalanya!Cecak itu menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta. Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya menerjang-nerjang. Tapi cecak itu melulurnya terus. Cecak itu sendiri menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu memang tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.
Tubuh si Bungsu sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia menggeliat. Dan akhirnya dia tertidur pulas.
Entah berapa lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan perlahan membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng penginapan.
Cecak yang menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan agak dingin. Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun tangannya tak pernah sampai kesana. Ada sesuatu yang ganjil yang menghalangi dirinya.
Selimut tebal menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu disamping. Tangannya meraba, ada orang. Meski dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap istighfar dia berusaha untuk bangkit takkala dilihatnya siapa yang berbaring disinya dibawah satu selimut itu.
Orangnya tak lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk bangkit, perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil miring kekanan menghadap si Bungsu, perempuan itu tersenyum.
"Sudah merasa agak baik?" perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. Si Bungsu tak segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya tertahan. Bukan karena dia keenakan berbaring disisi perempuan cantik bertubuh ranum itu. Tidak. Yang menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa dibawah selimut yang menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.
"Tetaplah berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya obat pemunahnya".
Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah selimut. Kemudian melekatkan kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara derap sepatu ditangga menuju ke atas. Lalu terdengar suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada pintu kamar diempat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut. Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap berbaring. Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu cepat-cepat membuka baju kembali. Dan masuk kebawah selimut disebelah si Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh seorang tentara Belanda.
Pintu itu terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala si Bungsu dengan selimut.
"Tetaplah berbaring diam…" bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.
Dan dia sendiri pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan tangan.
"Oh, sory! Sory…!" tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap terbuka.
"Maaf, kami sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang yang amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di pasar. Apakah nona melihatnya disekitar daerah ini….?" Kapten yang membuka pintu tadi berkata dari luar.
Perempuan Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan menyembunyikan sekerat tubuhnya dibalik pintu dan menjulurkan bahagian leher ke atas dicelah pintu yang terbuka.
"Saya tidak melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?" Perempuan itu bicara dalam bahasa Inggris.
Kapten itu, dan tiga orang bawahannya menelan ludah melihat tubuh perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng dari celah pintu yang terbuka sedikit. Perempuan itu hanya memakai celana Jean panjang tanpa baju.
"Ya. Ya madam, dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang samurainya. Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam cepat sembuh….." Dan dengan memberi salut, Kapten itu itu turun kembali ke bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.
Di bawah, masih terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian terdengar deru mobil menjauh. Dan sepi!
Mereka pasti berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang membunuh serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi pula, bahwa pembunuh itu melarikan diri ke arah pelabuhan. Dan si Bungsu memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan barat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini. Kecantikan yang luar biasa, dengan titel Profesor pula, benar-benar mengagumkan. Dan pikirannya melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari manisnya. Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa gadis itu?
"Hmm, cincin yang bagus….." si Bungsu kaget mendengar ucapan itu. Dan yang berkata tak lain daripada Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu ternyata tak diketahui oleh si Bungsu.
"Jangan kaget kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang gadis yang cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau Bukittinggi…."Emylia berkata sambil meletakkan nasi diatas sebuah piring.
Kemudian mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air teh dari ceret kecil diatas meja disudut kamar.
"Engkau lebih mirip tukang tenung…." Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.
"Tukang tenung sama dengan tukang sihir bukan? Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir bukan semacam pekerjaan ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi saya bukan tukang tenung. Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu demikian terharunya".
Si Bungsu jadi merah mukanya karena malu.
"Dan kalau seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang perempuan. Dan kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi cincin itu pastilah bernama Salma…"
Sampai disini si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya bercampur dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.
"Jangan menatap saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya mengetahui nama gadismu itu? Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari mulutmu sendiri. Nah kini mari kita makan dulu…."
Tapi mana bisa si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak pernah. Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap si Bungsu yang terlongo seperti anak-anak melihat sirkus. Dia membuka nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis ikan yang amat enak dikawasan sungai Siak. Dan dia mulai menyuap.
"Makanlah. Oh ya, ingin tahu bila engaku mengatakan nama Salma padaku? Nama itu berulang-ulang kau sebut dalam tidurmu."
Muka si Bungsu benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak berpematang dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita demikian. Dia beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.