"Ada beberapa hal yang saya ketahui tentang perempuan itu Bungsu. Pertama, dia memang perempuan yang "lapar". Dia memang membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Tak cukup suaminya saja. Mana tahu, dia barangkali membutuhkan dirimu dan ada hal lain, yang saya rasa amat penting. Perempuan betapapun mata-matanya dia, tapi bisa saja jatuh hati bukan? Nah, bukanlah hal yang mustahil kalau dia jatuh hati padamu…"
Kapten itu bukannya sekadar bergurau dengan berkata demikian. Dia yakin bahwa wanita dimanapun instingnya sama. Dan bukan hal yang mustahil pula kalau banyak wanita yang jatuh hati pada pemuda ini.
Si Bungsu menunduk. Dia sebenarnya tak menyenangi wanita itu. Artinya ada beberapa masalah yang tak dia sukai. Namun wanita itu telah menolong nyawanya. Apapun alasan pertolongan itu, dia tetap merasa berhutang budi. Dan tiba-tiba dia teringat saat terakhir pertemuannya dengan cantik itu. Betapa dari pembaringannya, disaat maut hampir menjemput, dengan suara perlahan sekali, dia masih bicara! "Larilah Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu… Aku mencintaimu…"
Itulah kata-katanya yang terakhir. Dia termenung. Disaat terakhirnya, perempuan itu memberitahu bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Kalau dia mata-mata, maka dia telah mengkhianati tugasnya. Memberitahukan kepada musuh yang akan ditangkap, bahwa tentara datang untuk menangkapnya. Ya, cinta dimanapun sama. Bisa berbuat hal-hal yang tak mungkin bisa terfikirkan oleh manusia lain. Tak terjangkau oleh akal.
-000-
Si Bungsu sudah seminggu bersama-sama para pejuang di Pekanbaru itu ketika suatu hari
mereka mendapat kabar bahwa penginapan dimana si Bungsu tinggal dahulu dibakar oleh Belanda. Pemilik penginapan itu, seorang pejuang bawah tanah bernama Tuang dari kampung Buluh Cina. Yaitu sebuah kampung ditepi sungai Kampar dua puluh kilometer dari Kota Pekanbaru, ditangkap oleh Belanda.
"Dia seorang pejuang?" si Bungsu kaget.
"Ya. Dia termasuk salah seorang mata-mata dan dermawan yang menyumbangkan hartanya untuk pejuang-pejuang kemerdekaan…" Kapten Nurdin menjawab dengan nada sedih.
"Dimana dia tahan….?" Kapten itu bertanya pada mata-mata yang menyampaikan laporan pembakaran tersebut.
"Tak diketahui dengan pasti. Yang jelas, mereka dibawa ke kantor polisi militer di Batu Satu…."
Kapten Nurdin yang membawahi front Pekanbaru itu lalu membuka peta lusuh yang ada dalam lemari. Dan malam itu diadakan rapat staf lengkap . Mereka mempelajari kemungkinan untuk membebaskan Tuang.
Ada dua markas Belanda yang dianggap mungkin tempat menawan pemilik penginapan itu. Dan diputuskan untuk menyerang secara serentak kedua markas itu untuk membebaskannya.
Tuang mempunyai arti yang amat penting dalam perjuangan bawah tanah di Kota ini. Seperti dikatakan Kapten Nurdin, dia tak hanya seorang mata-mata andalan, tapi juga seorang donatur perjuangan.
"Saya boleh ikut?" si Bungsu menawarkan diri. Kapten Nurdin menatapnya.
"Itu akan merupakan kehormatan bagi kami Bungsu. Kami memang ingin mengajakmu. Tapi kami segan mengatakannya….."
Si Bungsu tersenyum. Dan malam itu mereka menyusun rencana matang-matang.
"Kalau dapat membebaskannya, apa kendaraan yang akan kita pergunakan untuk melarikan diri?" si Bungsu yang ikut dalam perencanaan itu bertanya.
"Ada sebuah truk tua…"
"Kecepatannya bagaimana?"
"Bisa dikejar oleh orang berlari"
"Hanya itu kendaraan yang ada pada kita"
"Siapa yang bisa menjalankan kendaraan?"
Dua orang sersan mengacungkan tangannya.
"Menurut hemat saya, lebih baik kita ambil kendaraan Belanda saja. Di depan markas mereka pasti ada ada kendaraan…"
"Tapi bagaimana dengan kunci kontaknya? Kita tentu tak mungkin menggeledah kantong Belanda itu satu-persatu untuk mencari kunci. Waktu sangat pendek".
"Itulah gunanya orang yang biasa mempergunakan kendaraan. Saya tak tahu bagaimana caranya tapi ketika pak Tuang itu sudah keluar, kendaraan hendaknya sudah siap untuk melarikan".
Keterangan si Bungsu membuat Kapten Nurdin menatap pada kedua sersan yang mengaku bisa menjalankan mobil tadi.
"Ya, saya bisa mengusahakannya…" yang seorang berkata.
"Tapi saya terpaksa tak ikut penyergapan. Sementara teman-teman menyerang, saya akan menyiapkan kendaraan. Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut kabel dikunci kontak. Kemudian menyambungkannya lagi diluar" katanya lagi.
"Baik, kau kutugaskan untuk itu. Nah, ada yang lain? Kapten Nurdin berkata lagi.
"Ada" Jawab si Bungsu. "kalau ada lebih dari satu kendaraan disana, yang lain harus dikempeskan bannya.."
Dan malam itu diputuskan pula bahwa penyergapan hanya akan dilakukan pada satu markas saja. Yaitu markas yang diketahui dengan pasti dimana Tuang ditawan. Untuk itu, siang esoknya, mata-mata disebar lagi untuk mengetahuinya. Dan malamnya mereka segera mendekati markas di Batu Satu, yaitu markas yang diketahui tempat menawan Tuang. Malangnya tak ada situasi yang memudahkan mereka untuk menyerang.
Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi gerak cepat. Sementara Belanda yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh orang.
Bulan kelihatan terang. Inilah yang menyulitkan mereka. Seorang tentara kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di Depan markas itu terdapat jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan diseberangnya hutan lalang setinggi tegak. Disebelah kiri markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil.
Kamar tahanan berada di Gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus. Hanya sebuah kantor yang dipakai sebagai tahanan sementara. Si Bungsu bersama kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang disebelah kanan markas.
"Psst. Lihat yang tengah menunjuk keluar itu…" kapten Nurdin berbisik pada si Bungsu.
Anak muda itu mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke jalan raya. Seorang Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.
"Kau lihat?" Kapten Nurdin berbisik lagi.
"Ya, ada apa?"
"Tak kau kenali dia?" si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun ubi dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter. Dia coba mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa tentara itu.
"Dia sahabatmu…." Kapten Nurdin berbisik lagi.
"Sahabatku?"
"Ya. Kalian pernah satu penginapan…." Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap istigfhar.
"Ya Tuhan, bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?" si Bungsu bertanya dengan kaget.
"Persis. Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan? Ternyata dia seorang Leutenant Belanda!"
"Benar-benar jahanam…" desis si Bungsu.
"Lalu kemana kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung itu?"
"Itu hanya pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotret pertahanan dan kubu-kubu kita…"
Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana kedengaran orang berjualan kacang goreng mendekati markas.
"Itu kopral Aman…" bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual kacang goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.
"Bagaimana kalau mereka tak membeli kacangnya?"
"Mata-mata kita sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang goreng. Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi penjual kacang goreng yang asli telah disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk…"
Penjual kacang itu memang tengah memasuki halaman markas.
"Di dalam karung kacangnya ada granat…' Kapten itu berbisik.
Si Bungsu memperhatikan situasi markas itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar dan nyanyian terntara Belanda itu masih terus mengalun. Meski bahasanya tak dimengerti namun suaranya cukup merdu.
"Kenapa lambat ledakannya?" Kapten Nurdin bertanya dengan tegang. Ya, seharusnya begitu Kopral Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa dikiri markas harus meledakkan granat kebelakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk menyerbu masuk. Beberapa detik berlalu. Taka ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya. Dan sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti disana terus menerus.
"Jahanam si Imran! Kenapa granatnya tak meledak? Ada berapa granat yang dia bawa?" dia bertanya pada sersan di sampingnya.
"Ada tiga pak…" sersan itu menjawab dengan kecut.
"Gagal! Jahanam! Gagal kita!" Kapten itu mendesis melihat Kpral Aman sudah mengangkat goni kacangnya gorengnya ke kepala.
"Kacang goreeenggg" suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu itu. Ledakkan yang dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada. Tiba-tiba penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli kacang tadi. Dia meletakkan goninya di tanah. Kemudian berjalan kembali mendekati para serdadu itu.
"Maaf, tekong kacang goreng saya tertinggal…" katanya agak keras. Dua orang serdadu tertawa sambil memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang itu. Kapten Nurdin dan si Bungsu menyadari bahwa adegan ini terpaksa dilakukan si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap saja tak meletus.
Kopral Aman, membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak terdengar. Sementara teman-temannya dikebun ubi, dipadang lalang yang di depan markas diseberang jalan menanti dengan tegang.
Dan saat itulah tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya berdiri lagi dan berbalik.
"Merdekaaa!" dia berteriak dan melemparkan sesuatu dari tangannya kearah serdadu Belanda yang tengah makan-makan kacang itu! Pekikan itu mula-mula tentu saja membuat bingung serdadu Belanda itu.
Tapi hanya sebentar, granat yang dilemparkan Kopral itu meledak persis ditengah mereka. Terdengar pekikan dan ledakan yang dahsyat.
"Serbuuuuu!" Kapten Nurdin berteriak sambil melompat dengan pistol ditangan. Sementara itu korban pertama dari ledakan granat yang dilemparkan Kopral Aman adalah prajurit Belanda yang main gitar itu. Gitar dan sebelah tangannya terlambung keudara. Dadanya hancur. Dia mati. Orang kedua yang jadi korban adalah seorang prajurit yang lagi menunduk makan kacang. Kepalanya hancur. Tapi yang lain hanya mengalami luka berat. Letnan orang Kanada yang menyamar menjadi ahli purbakala itu cepat meraih pistolnya. Meski pahanya luka, tapi tembakannya yang pertama tepat menghantam dada Kopral Aman.
Kopral ini setelah melemparkan granat menerjang maju dengan pisau ditangan. Dan dia terpelanting dan terlentang ditanah begitu dihantam peluru! Saat itulah ke enam pasukan khusus Kapten Nurdin membuat pertahanan mereka kucar kacir. Dalam waktu yang relatif singkat, tembak-menembak jarak dekat ini terjadi.
Si Bungsu melompat masuk. Dia melihat tubuh yang bergelimpangan. Kapten Nurdin mendobrak masuk terus. Tembakan pistolnya menghancurkan kunci pintu dimana Tuang tertahan. Dia membawa Tuang keluar. Orang tua itu kelihatan parah sekali dalam tahanan yang hanya 2 x 24 jam itu.
"Jeep ini siap!" suara Sersan yang menyiapkan Jeep itu terdengar. Mereka berlompatan ke sana. Si Bungsu tak sempat mempergunakan samurainya. Apa yang harus diperbuat? Pertempuran selesai sebelum dia sempat mecabut samurainya. Namun dia berhenti ketika mendengar keluhan kecil. Dia menoleh dan melihat tubuh Kopral Aman mengeliat. Cepat dia pangku tubuh itu. Dan saat itu tembakan dari Jeep terdengar. Si Bungsu kaget. Menoleh kearah penjagaan. Dan dia lihat Letnan suami Emylia itu tertelungkup. Pistolnya jatuh.