Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 50 - Mokasi Yo Wuok

Chapter 50 - Mokasi Yo Wuok

Tugas Suman adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti…." Dan tanpa menunggu jawab, Bilal segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.

Kemudian dibantu kedua temannya mereka menaikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas jeep. Maya Bidin maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik. Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal. Jalannya tak menentu. Dia memang pernah membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya melompat-lompat.

Mereka menatap jeep itu menghilang ditikungan diantara belantara di jalan kecil itu.

"Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas…" Suman berkata.

"Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!"

"Merdekaa!!"

Liyas kemudian bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian lalu menaikkan mayat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu. Kemudian membersihkan bekas-bekas perkelahian disana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah, kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.

Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh ikan diboncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya. Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.

Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah yang bernama Kelok Petai. Disini dia membelokkan truk itu kedalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah. Dengan terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter pula.

Sungai ini merupakan bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi. Dan kedalam sungai kecil ditengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat Belanda itu.

Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil. Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh dihilir kampung yang bernama Langgam. Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia. Sebab sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing disepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang dimuara sungai ini di Batang Kampar sana.

Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja ditepi sungai dibawah pohon yang sangat rimbun. Sepanjang jalan menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan.

Nah, kini selesailah bahagian tugasnya.Dia yakin, Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu. Dan sampai penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.

-000-

Suman kini menuju ke arah Buluh Cina. Menjelang menuruni hutan ditepi Batang Kampar, dia tiba di kampung Kutik. Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan ke Buluh Cina. Ke Pangkalan jalan ke kiri dan Buluh Cina ke kanan. Penghulu kampung itu segera menemuinya ketika melihat dia datang. Dan suman lalu menceritakan apa yang telah mereka alami.

"Ya. Baru sebentar ini kami melihat Bilal lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami tak sempat bertanya…"

"Kini tugas kita menghilangkan jejak jeep itu…" Suman berkata.

"Kau teruslah ke Buluh Cina, tentang jejak jeep ini serahkan pada kami disini. Jangan khawatir"

Suman jadi lega. Dia lalu melanjutkan perjalanan ke Buluh Cina. Dari desa Kutik itu dia harus meliwati hutan belantara sejauh dua kilometer. Baru kemudian tiba dikampung Bontu yang terletak ditepi Batang Kampar.

Dari kampung ini dia dapat kabar bahwa Bilal sudah diantar menyebrang ke Buluh Cina bersama anak muda yang luka itu. Senjata ditinggalkan disebuah rumah pejuang anggota fisabilillah di Bontu tersebut. Dan dengan sampan, Suman diantar pula ke kampungnya. Ke Buluh Cina. Tugas utama mereka semua, yaitu menyampaikan berita pada keluarga Pak Rajab, bahwa dia selamat, kini bertambah tugas lain. Yaitu lari dari kejaran Belanda dan menyelamatkan nyawa si Bungsu. Dan sepeninggalnya, penghulu kampung segera mengumpulkan penduduk yang jumlahnya hanya puluhan orang. Kepada mereka dia ceritakan perjuangan yang telah dilakukan pejuang-pejuang dari Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan itu.

Dan dengan semangat perjuangan yang tebal, penduduk ini segera turun tangan. Menghilangkan jejak jeep yang tadi dibawa oleh Bilal. Mereka bekerja sepanjang siang, sore dan malam. Dan menjelang Isya pekerjaan itu selesai. Mereka pulang dengan perasaan tenteram.

Kesibukan tentara Belanda segera saja meningkat karena kehilangan sebuah power wagon dengan enam belas tentaranya itu. Malam itu juga sepasukan tentara yang terdiri sebuah truk penuh dan dua buah jeep bermitraliyur mendatangi Perhentian Marpuyan. Penduduk segera saja diinterogasi. Ditanya apakah mereka melihat jeep dan power wagon itu. Penduduk Marpuyan yang jumlahnya tak sampai seratus orang itu telah "diatur" oleh pemilik kedai yang juga adalah Imam di kampung itu. Dan semua penduduk dengan suara pasti menjawab bahwa mereka memang melihat jeep dan power wagon itu. Jeep yang pertama setelah menurunkan gadis dan ibunya itu terus ke arah Taratak Buluh. Tak lama kemudian datang power wagon dengan selusin tentara diatasnya. Power wagon itu juga terus ke arah Teratak Buluh. Tentara Belanda itu meneruskan jalannya ke Teratak Buluh dalam usaha mencari jejak patroli yang tak kembali itu. Namun mereka dibuat kaget. Sebab di Teratak Buluh, tak satupun orang yang pernah melihat kedua kendaraan itu muncul!.

Mereka lalu kembali lagi ke Simpang Tiga. Yaitu ke Pos penjagaan terjauh dari kota Pekanbaru. Mereka hanya berani bergerak malam dengan kekuatan besar. Dan malam itu hanya sampai disana penyelidikan mereka. Mereka tak berani bergerak dimalam hari lebih lanjut. Takut akan serangan para pejuang. Mereka menanti hari siang untuk melanjutkan pencaharian. Dan begitu hari siang, pasukan segera ditambah dari Pekanbaru. Kini dengan enam buah kendaraan yang terdiri dari dua buah jeep bermitraliyur, dua buah kendaraan lapis baja, dan dua buah power wagon yang semuanya berkekuatan sempat puluh pasukan berpakaian loreng mulai bergerak meninggalkan Simpang Tiga. Tujuan mereka hanya satu, Perhentian Marpuyan.

Hari masih subuh, ketika kampung kecil itu sudah dikepung oleh tentara Belanda tersebut. Semua penduduk dikumpulkan dilapangan dekat sebuah sekolah. Anak-anak, lelaki perempuan, tua muda, tak ada yang tersisa satupun. Termasuk didalamnya Liyas yang kemaren bersama si Bungsu menyikat Belanda di pendakian Pasir Putih itu. Mereka dikumpulkan dilapangan dengan dikurung oleh panser dan jeep bermitraliyur yang dihadapkan pada mereka. Seorang KNIL segera maju. Kemudian mengajukan pertanyaan.

"Kalu kalian tak menjawab, maka kalian akan ditembak…" KNIL itu menggertak. Tak ada yang menjawab. Karena kanak-kanak malah mendekat panser dan jeep bersenjata berat. Mereka terheran-heran melihat kendaraan itu.

"He, kowe lihat jeep dan truk lewat disini?" seorang KNIL bertanya pada seorang anak yang mendekati pansernya. Anak itu melihat dengan heran.

"Kowe lihat jeep lewat sini? Nanti kowe saya kasi bon-bon.." KNIL itu bertanya lagi dengan bujukan sambil mengambil gula-gula dari kantongnya.

Liyas yang pejuang itu hanya melihat dengan tenang dari kejauhan. Dia tak usah khawatir bahwa rahasia akan terbongkar dari mulut anak-anak itu. Soalnya bukan karena anak-anak itu seorang patriot. Tidak. Tapi sebabnya adalah karena hal lain. Dan hal lain itu segera terbukti, takkala anak yang ditanya dan disodorkan gula-gula itu menghadap pada teman sebayanya disampingnya tegak dan bertanya.

"Apo nyie bowuok go ang..?"(Apa kata monyet ini?) Temannya segera menjawab :

"Inyo maagie ang gulo-gulo[1]"(Dia memberi engkau gula-gula).

Anak itu tertawa. Mengambil gula-gula itu.

"Mokasi yo wuok" (makasih nyet)

Kemudian membuka bungkusnya dan memakannya. Lalu pergi dari sana ke arah kumpulan orang banyak, tanpa mengacuhkan pertanyaan KNIL itu. Soalnya anak-anak dikampung itu seperti umumnya anak-anak dikampung lain diseluruh Indonesia, tak pandai berbahasa Indonesia.

Bahasa mereka adalah bahasa kampung mereka sendiri. Saat itu belum berapa orang jumlah yang mengecap bangku sekolah. Dan yang tak berapa orang itu, semuanya adalah anak-anak yang berdiam di kota. Bukan di kampung.

KNIL yang gula-gulanya diambil itu hanya bisa garuk-garuk kepala. Dan dari mereka, serta dari penduduk, tak ada keterangan yang diperdapat. Jawaban tetap seperti kemaren. Yaitu kedua kendaraan itu menuju ke Teratak Buluh.

Tak lama kemudian, dua belas pencari jejak yang disebar kembali melapor pada Mayor yang memimpin operasi pencaharian itu. Kedua belas orangnya melaporkan tak menemukan jejak apapun! Rupanya Liyas dan penduduk Marpuyan telah bekerja dengan sempurna. Jejak kedua kendaraan itu memang berhasil dihapus seperti yang dikatakan si Bungsu. Demikian sempurnanya, sehingga tentara Belanda yang dalam perang Dunia ke II yang baru lalu tugas khususnya adalah mencari jejak kini tak menemukan apa-apa.

Liyas yang menanti kembalinya pencari jejak itu dengan perasaan tak tenang jadi merasa lega tatkala dia lihat kedua belas pencari jejak itu melapor dengan perasaan kecewa. Akhirnya penduduk dibubarkan dengan ancaman-ancaman.

Mayor yang memimpin itu adalah Mayor Antonius. Dalam perang Dunia ke II melawan Jepang di Pasifik dia memimpin Kompi Gerak Cepat bersama sepasukan tentara Amerika di Pulau Guam. Dan kali ini, firasat Myor itu mengatakan bahwa jeep dan power yang lenyap misterius itu pastilah melewati jalan kecil menuju Buluh Cina ini kemaren.

Tapi dia merasa heran, kenapa pencari jejak yang tangguh itu tak menemukan apa-apa? Dia memerintahkan untuk menyelusuri jalan kecil itu terus ke pedalaman. Enam kendaraan yang siap perang itu segera merayap mengikuti jalan yang kemaren memang ditempuh si Bungsu dan teman-temannya.

Liyas dan pejuang-pejuang lainnya menjadi tegang takkala melihat bahwa Belanda itu meneruskan jalan ke Buluh cina.

"Bagaimana sekarang?" seorang pejuang bertanya pada Liyas.

"Kita hanya bisa berserah diri pada Tuhan…" jawab Liyas.

"Kita bisa ke Buluh Cina lewat Teratak Buluh"

"Tak mungkin lagi. Untuk kesana dibutuhkan satu jam pakai sepeda. Kemudian dengan sampan enam jam ke buluh Cina. Sedangkan mereka dalam waktu satu jam sudah akan sampai…" Suman berkata perlahan sambil menatap kendaraan itu lenyap di tikungan.

"Bagaimana kalau ketahuan?"

"Ada dua kemungkinan. Pertama semua kita mereka tembak dan Buluh Cina mereka gempur. Kedua mereka kita cegat ketika kembali".

"Itu berarti bunuh diri. Kita tak punya kekuatan apa-apa. Disini kita hanya ada sebelas orang dengan empat pucuk senjata api, selebihnya hanya memakai kelewang, parang, pisau dan bambu runcing!"

"Bagaimana putusan kita?"

------

[1] gulo-gulo = permen