Boleh kah aq mengetuk pintu hati mu, nona manis?
Karena suara q berbisik lirih tak kau dengar. Mencoba menarik perhatian mu tidak mempan hanya dengan ucapan
Wahai gadis pujaan..
Tunggulah kejutan q yang khusus q persiapkan untuk menawan hati lugu mu
Bukan kamu yang melihat q lebih dulu
Karena sesungguhnya kemurnian hati mu lah yang telah menawan q tanpa syarat
Bagaskara tengah berlari di area suatu rumah dengan tamannya yang berliku seperti labirin. Ia membawa serta Bulan bersamanya. Mereka berdua berpegangan erat satu sama lain melewati tanaman perdu yang cukup tinggi dan rapat membentuk lapisan dinding daun yang tebal. Suara engahan nafas mereka menggema di sepanjang lorong labirin taman tersebut. Bagaskara membawa berusaha menarik tangan Bulan agar ia mempercepat ayunan kakinya. Bagaskara berkali-kali menoleh ke belakang, khawatir mereka tersusul oleh pemilik suara langkah kaki yang makin terdengar mendekati mereka.
Akhirnya merekapun sampai di area taman belakang. Ada pintu pembatas yang merintangi jalan mereka. Dan tiba-tiba Bagaskara menangkap sosok wanita itu dari sudut matanya. Violet, mau apa dia di sini?! Bagaskara mempercepat langkahnya, kemudian mengangkat tubuh Bulan dan melompati halang rintang di depan mereka. Bulan berpegangan erat pada pundaknya. Nafas nya seakan lepas dari tenggorokannya ketika itu. Tidak lagi mempedulikan apapun lagi. Yang penting Bulan ada bersamanya.
Bagaskara terbangun dengan degup jantung tak beraturan. Peluh tipis membasahi keningnya. Ia sadar..saat ini mudah baginya untuk menepis segala gangguan yang ada di hadapannya.. hanya saja ia tidak seyakin itu pada Bulan. Ia khawatir Bulan tidak setangguh itu. Masalahnya..saat ini ia tidak mengharapkan bentuk penyerahan apapun. Termasuk hasrat Bulan..
Saat ini ia hanya dapat percaya pada diri sendiri. Pengalaman masa lalu yang cukup pahit mengajarkan pada nya bahwa lebih baik tidak bergantung pada orang lain.. Saat kita menggantungkan harapan di tangan seseorang maka hati kita berada di dalam posisi paling rentan, rawan tersakiti. Bagaskara tidak mau lagi merasakan perih hati itu kembali. Sudah cukup.
Bagaskara tengah membuka tirai jendela ruang tamu nya saat ia melihat secarik kertas yang sepertinya dimasukkan melalui celah di bawah pintu.
Tulisan yang sangat ia kenal..
Wanita ini..semakin berani menunjukkan eksistensi nya pada dirinya. Ia menuliskan sepucuk surat yang isinya tentang pengungkapan rasa penyesalannya selama ini yang ternyata telah menyia-nyiakan cinta tulus yang sejati. Ia mengatakan bahwa Bagaskara lah yang terbaik selama ini, tidak ada yang mampu menggantikan. Bahkan ia berusaha mengungkit-ungkit kenangan indah masa lalu mereka saat masih bersama. Ia mencoba meluluhkan hati Bagaskara lewat sosok nenek yang selama ini selalu baik terhadap Bagaskara.
Ia mendengus..kesal..wanita ini sungguh tidak tau diri. Mengerti bahwa tidak ada cara jitu lainnya untuk meluluhkan dinding tebal hati Bagaskara dan kini ia menggunakan neneknya sebagai tameng untuk merebut hati Bagaskara kembali. Sungguh licik. Namun Bagaskara pun tidak sepicik itu. Ia sama sekali tidak berniat untuk membalas surat itu atau pun menanggapinya. Ia beranggapan bahwa itu hanya akan membuat wanita itu senang. Dan itu benar adanya.
Bagaskara mengedarkan mata nya berkeliling.. Seluruh jengkal dan sudut rumahnya telah bersih dari barang-barang milik mantan kekasihnya itu. Seingatnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu ia telah memindahkan barang-barang wanita itu. Seharusnya kali ini semua sudah aman.
Bagaskara kemudian memandangi pintu ruang tamu nya. Hmm..wanita itu bisa bebas masuk sampai ke depan pintu ini karena tidak ada pagar rumah. Namun semua rumah yang ada di kawasan itu memang tidak memiliki pagar. Jadi wanita itu dapat kapan saja masuk hingga ke depan pintu rumahnya. Bagaskara mulai merasa tidak nyaman. Tindakannya harus segera dihentikan sebelum semakin nekat. Ia tidak akan memberikan ruang celah sekecil apapun untuknya masuk ke dalam kehidupan lagi. Itu tidak boleh terjadi.
Bagaskara mengubah surat itu menjadi sobekan-sobekan kecil yang kemudian ia buang di tempat sampah belakang.
Saat itu ponselnya berdering..
Nomor tidak dikenal tengah menghubungi nya. Namun Bagaskara terbiasa untuk tidak menghiraukan setiap panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Namun nomor itu seperti tidak menyerah..ke tiga kalinya
Dan kemudian Bagaskara akhirnya mengalah dan memeriksa ponselnya. Namun nomor itu terlanjur menutup sambungan telepon nya. Kemudian beberapa saat setelah nya ponselnya kembali bergetar menandakan ada pesan masuk.
08..๐: " Angkat telpon!..Jika kau peduli padanya!"
Bukan kali ini saja Bagaskara mendengar nada ancaman seperti ini. Dunianya terbiasa dengan ancaman dan kekerasan seperti ini. Ia tidak terlalu peduli dengan keselamatan dirinya, selama ini ia mampu menjaga diri dengan sangat baik. Akan tetapi kali ini..mau tidak mau Bagaskara lebih terbebani..saat ini ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan pula Bulan.. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu hal yang dapat mencelakai kekasihnya itu.
Ponselnya berdering sekali lagi.. Bagaskara mengangkatnya tetapi tidak langsung bicara. Ia menunggu suara di seberang agar ia tau siapa yang berani mengancamnya.
Nada bicara seorang wanita terdengar jauh, diselingi rintihannya menahan sakit. Bagaskara membeku. Ia memfokuskan indera pendengarannya sekali lagi untuk memastikan suara yang ia dengar. Geraham nya tegang menahan emosi yang mendadak membuatnya senewen.