"Winda sayang...berhentilah menangis, nanti kamu kelelahan..nanti kamu bisa sakit" Kak Lisa memeluk Winda.
"Kak..kapan Luis akan bangun? apa besok pagi dia akan terbangun? aku sudah datang, kenapa dia tidak bangun dari tidurnya? kenapa tidak menyapaku?" pandangan Winda sayu, matanya mulai bengkak karena terus menangis.
Lisa memeluk Winda semakin erat, sambil terus menangis, hatinya hancur berkeping - keping, tenggorokannya terasa semakin kering dan perih, dadanya begitu sesak seperti tertindih satu ton rasa galau.
Kesedihannya kini berlipat lipat ganda, seperti tak kuat raganya menanggung isi hatinya yang mulai remuk redam dipermainkan oleh kenyataan hidup yang harus dia jalani kini.
Kehilangan kedua orang tuanya tujuh tahun lalu terasa begitu berat baginya, hanya Luis adiknyalah satu satunya alasan dia masih bertahan hingga saat ini. Namun kini adiknya pun harus dia relakan untuk pergi menemui kedua orang tuanya. Kehidupan yang mewah, berkuasa dan ramai orang disekelilingnya terasa sunyi bagai tanpa penghuni.
Lisa tersadar kembali, sekarang dia mempunyai suami dan anak yang harus dia jaga, dia tidak boleh egois untuk mengakhiri hidupnya tanpa memperdulikan suami dan anak laki - lakinya. Ya..aku harus bangkit, tidak boleh berlama - lama larut dalam kesedihan, masih banyak yang harus aku kerjakan.
"Winda..mari kita sudahi ini semua..kita sudah sama - sama letih terus menerus menangis. kita harus bisa menerima ini semua..semua sudah menjadi kehendak sang pencipta, mari kita segera urus segala sesuatunya, kasihan Luis sudah menunggu cukup lama, lagian dibawah sudah ramai orang menunggu pengajiaanya, kita harus segera memakamkannya" kak Lisa berkata dengan nada datar, pandangannya yang sayu terus menatap adiknya yang semakin pucat pasi.
"Benar kata nyonya, mari kita segera mengurus pemakaman Tuan muda Luis" Niko berkata dengan sangat hati - hati takut menyinggung kedua wanita di depan tuannya itu.
"Siapa kamu! berani sekali berbicara seperti itu!" Winda melotot dengan sangat marah ke arah Niko, Winda menjadi bukan dirinya lagi, emosinya timbul ke permukaan, keegoisannya mengalahkan akal pikirannya. Rupanya Winda teramat sedih atas kondisi Luis sekarang, hingga yang timbul hanya penyangkalannya terhadap kenyataan.
"Tidak ada yang boleh mengganggu tidur Luis, biarkan kekasihku istirahat dengan tenang. Bersabarlah..besok pagi dia pasti bangun, Luis hanya kelelahan jadi dia butuh tidur yang cukup" Winda menyeka air matanya yang masih saja mengalir.
Niko yang terkejut dengan reaksi Winda yang diluar perkiraannya dan baru pertama kali dilihatnya hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa amat menyesal, "Maafkan saya nona, tapi kasihan tuan muda sudah menunggu lama, tidak baik jika kita terus menundanya".
"Kamu...!!" winda hendak mengangkat tangannya dan ingin sekali mendaratkan tanganya di pipi Niko yang berrahang kokoh, namun segera diurungkan niatnya saat pintu kamar terbuka dari luar.
Pintu kamar terbuka sesosok wanita separuh baya beserta suaminya memasuki ruangan tersebut. Wanita tersebut buru - buru menjabat tangan kak Lisa dan sedikit berkata - kata lalu menghampiri Winda, memeluknya dengan air mata mulai berlinang.
"Bunda...Luis bunda...dia tidak mau menatapku..hu..hu..hu" Winda berucap di sela - sela tangisannya.
"Sabar sayang...kuatkan hatimu..."Bunda Puspitasari masih memeluk putrinya sambil menepuk punggungnya.
"Bunda...tolong bangunkan Luis, dia selalu mendengarkan bunda..tolong bunda...aku sangat ingin mendengar suaranya" Winda masih terus menangis tanpa henti.
"Sayang..kamu tidak boleh seperti ini..Luis akan sedih, biarkan dia pergi dengan tenang..ikhlaskan dia sayang...mungkin ini memang takdir terbaik Yang Maha Kuasa berikan, sabarlah menerima cobaan ini ya nak...Bunda yakin kamu pasti bisa" Bunda Puspitasari menasehati anaknya dengan lembut dengan bahasa keibuannya.
"Tapi..bunda..."
"Ssttt...." bunda mengisyaratkan Winda untuk tidak merengek lagi. "Sayang...mencintai sesorang itu tidak harus selalu bersama dengannya, tapi memiliki hatinya dan menjaganya dalam hatimu..itu lebih penting dan benar, seperti cintanya kita kepada sang Pencipta.."
"Cinta yang begitu indah itu terkadang memang kejam karena tidak membiarkan pemiliknya untuk selalu bersama, tapi jika kamu benar - benar tulus mencintainya maka dia akan selalu hadir di hatimu meski tak terlihat oleh panca indramu".
"Percayalah sayang..awal memang selalu berat tapi pada akhirnya semua akan indah pada masanya" bunda Puspitasari mengakhiri kalimatnya dengan senyuman hangat.
"iya bunda, jangan pernah bosan mengajari anakmu yang masih bodoh dan ceroboh ini" Winda memeluk bundanya dan menghabiskan sisa air matanya.
"Sekarang mari kita sucikan, sholatkan dan segera makamkan Luis dengan benar" Bu Puspitasari menyarankan.
"Sayang..maafkan keegoisanku.." Winda menatap wajah Luis untuk terakhir kali dan mengecup keningnya. Seluruh tubuh Winda serasa turut membeku ketika bibirnya menyentuh kulit kening Luis yang begitu dingin.
Winda berada di barisan belakang bersama dengan bunda dan kak Lisa, ayah, niko serta beberapa kerabat dan tamu berada di barisan depan.
Hati Winda luluh lantah, menjadi serpihan dan berceceran kesetiap penjuru, pria yang dia harapkan menjadi imam untuk kehidupannya kini malah terbaring kaku di hadapan banyak orang, dan dia sendiri turut mensholatkannya.
Winda yang di dampingi bunda seakan tidak kalah kehilangannya dengan kak Lisa, sosok Luis begitu kuat mencengkeram hatinya hingga terasa begitu sakit saat kenyataan dirinya takkan lagi bisa bersamanya seperti hari-hari kemarin.
Kak Lisa, Winda dan bunda berjalan beriringan, langkah mereka gontai. Tubuh begitu lemah seperti tanpa tulang.
Winda coba menengadahkan wajahnya melihat ke atas agar air matanya tidak meleleh untuk beberapa saat, dia coba menghirup udara angin malam yang difikirnya sangat segar hingga bisa menyejukkan hatinya yang pengap, namun sia-sia.
Langit malam yang gelap seperti tahu akan kesedihannya hingga tidak nampak satu bintang pun di atas sana, kegelapan malam seakan runtuh menimpa tubuhnya..
//Bbrruuukkk//
"Aahh ... Sayang!" pekik Bunda. "Ayah, tolong ... siapa saja tolong bantu Bunda" pinta Bunda.
Winda jatuh tak sadarkan diri, kenyataan sungguh terlalu berat untuknya. Disaat bunga cinta mulai bermekaran dan memiliki harapan tinggi untuk segera dimiliki seseorang namun segera layu sebelum sempat dipetik karena suatu keadaan yang tidak dalam kuasanya untuk merubah.