Ruin menjalani hari-harinya sebagai model dengan baik dalam beberapa minggu ini di perusahaan kaya tersebut. Banyak yang memuji kemampuannya – bahkan sang photographer sangat terpukau dengan kemapuan memperagakan yang ia lakukan – hingga sering kali Ruin mendapat decakan kagum dari banyak orang, bahkan termasuk direktur perusahaan tersebut sendiri mengakui kemampuan dan keelokan dirinya yang tidak terelakkan.
Diamnya Ruin siang ini membuat Fareth menatapnya bingung, "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Fareth dengan tangannya yang merangkul bahu Ruin, membuat Ruin tersentak kaget. Ruin melirik Fareth sekilas, lalu menunduk disertai helaan nafasnya.
"Tidak apa-apa." Ruin memberikan senyum tipisnya mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja walau hatinya kini berseru kesal karena Zaidan tak kunjung mengunjunginya bahkan setelah Ruin bekerja keras agar apa yang ia usahakan membawa kejayaan yang lebih besar terhadap perusahaan itu.
Tidakkah laki-laki tersebut tertarik untuk meliriknya yang sudah bekerja keras ini? Padahal dulu – lamunan Ruin seketika terhenti akibat ia menubruk seseorang tanpa sadar sambil berjalan.
"Ah! Maaafkan aku – " suara Ruin seketika tertelan begitu melihat siapa yang ia tabrak barusan.
"Anda tidak apa-apa?" tanya sosok tersebut dengan wajah datar nan dinginnya, sosok yang Ruin tabrak.
Zaidan Arthur Calore!! Batin Ruin bersorak senang.
"Saya tidak apa-apa, tuan. Maaf saya menabrak anda."
"Ruin, waktunya pemotretan selanjutnya!" Fareth berseru dari arah berlawanan dengan Ruin. Dalam hati Ruin mengutuk Fareth kesal karena mengusik waktunya yang baru saja bertemu dengan Zaidan bahkan berbicara setelah kejadiaan naas itu.
"Saya permisi." Ucap Ruin singkat, lalu pergi beralih memunggungi Zaidan menuju titik fokus tiap orang saat ia memulai pemotretan. Laki-laki itu – Zaidan – hanya melirik Ruin sekilas lalu melangkah menuju William yang kini hobinya memperhatikan sesi pemotretan Ruin di studionya itu.
"Sejak kapan kau menjadi suka memperhatikan model yang sedang bekerja?" suara Zaidan dengan aksen dinginnya membuat William tersentak kaget dan dengan cepat beralih menatap Zaidan. Menyadari bahwa yang datang adalah Zaidan – kakak sulung keluarganya – membuat William berdecih pelan. "Sejak kapan kau jadi suka mengurusi urusanku?" balas William dengan sengit.
Zaidan mengedikkan bahu, "Bekerjalah dengan benar." Ucap Zaidan disertai lemparan map yang ia lontarkan pada William dan dengan sigap ditangkap oleh William. Sesaat William membuka dokumen tersebut dan membacanya sekilas, lantas mata William terbelalak, "Kenapa tidak hubungi asistenmu untuk hal sesederhana ini?"
Diam, tak ada jawaban. Zaidan hanya melirik Ruin yang sedang berpose mengikuti arahan photographer dengan sudut matanya. Sebagian dari hatinya seakan bersuara bahwa ia mengenal perempuan cantik tersebut, dan sedikit tidaknya timbul rasa tertarik dari dirinya untuk sekedar melihat langsung perempuan yang telah menaikkan pamor perusahaan menjadi lebih terkenal lagi.
"Kau ingin melihat dia?" lirikan Zaidan terputus dengan alihan matanya menatap langsung William yang kini menatapnya penasaran setelah sebelumnya memperhatikan interaksi diam dari Zaidan.
"Perbaiki pekerjaanmu." Selepas mengucapkan itu Zaidan melangkah pergi keluar ruangan pemotretan yang menyisakan pertanyaan besar bagi William yang merasa ganjal dengan Zaidan. Sebelumnya memang Zaidan tak pernah kelihatan normal karena wajah dingin nan datarnya yang membuat ia selalu mengacuhkan pertanyaan yang menurutnya tak penting dan akan mengalihkannya dengan hal lain yang tak bersangkutan sama sekali. Dengan itu dapat dipastikan, yang ada di pikiran Zaidan hanya bisnis bisnis dan bisnis serta selalu bisnis setelah kejadian beberapa tahun lalu.
Pikirannya terkunci dengan bisnis dan tak tertarik dengan hal lain selain itu, apalagi perempuan. Berbanding terbalik dengan Ruin yang terobsesi dengan harta dan kecantikan dirinya serta pekerjaannya menjadi model yang menurut kepercayaannya cukup membuktikan pada dunia bahwa Ruin bukanlah perempuan yang jelek. Ia akan terus berusaha untuk mempertahankan apa yang ia punya kini setelah sebelumnya ia melepaskan sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya dan tidak akan pernah ia dapatkan kembali karena direnggut seseorang.
Kini obsesinya bertambah, yaitu mendapatkan Zaidan Arthur Calore.
= = = = = >< = = = = =
"Kau sangat menggangguku tadi, Fareth." Sembur Ruin seketika setelah sesi pemotretan selesai dengan rengutan di wajahnya. Fareth melirik Ruin sekilas, lalu kembali berkutat dengan laptopnya – entah sedang memperhatikan apa.
"Aku tidak merasa melakukan apapun yang salah." Tanggap Fareth tanpa melirik Ruin sama sekali. Ia hanya terus berkutat dengan laptopnya tanpa banyak bicara. Seperti biasa, Fareth memang sedikit pendiam dan irit bicara ditambah dengan sikap menyebalkannya yang terkadang membuat Ruin jengah.
Ruin mendengus kesal, "Jelas sekali kau menggangguku, kau memanggilku tepat saat aku sedang berbicara dengan Zaidan." Seru Ruin yang disambut lirikan malas dari Fareth, "Begitukah? Maaf aku tidak lihat."
"Kau ini menyebalkan sekali."
= = = = = >< = = = = =
"Ruin Flanders... dia keturunan Flanders?"
Pria yang merupakan tangan kanan sekaligus sahabatnya selama ini mengangguk mengiyakan pertanyaan dari temannya itu yang kini terdiam untuk sesaat. "Dia adik dari Aries Dath Flanders?"
"Benar."
"Bagaimana bisa laki-laki bajingan seperti itu memiliki adik yang sangat cantik?" Zaidan mendengus kesal mengingat bahwa Aries adalah laki-laki dengan reputasi playboy yang melekat sudah sejak lama dan bahkan masih bertahan hingga kini.
"Kau tertarik dengan perempuan itu?" Misra – sahabatnya – menatap Zaidan dengan tatapan menyelidik seakan berusaha mempercayai penglihatannya akan sosok Zaidan yang sangat jarang – bahkan terbilang tidak pernah – kini tiba-tiba membahas seorang perempuan. Zaidan melirik Misra, lalu menggeleng pelan.
"Tidak, hanya saja wajahnya terlihat familiar." Sahut Zaidan yang lantas bersandar penuh pada kursi kebesarannya dengan wajah lelahnya setelah seharian mengerjakan tugasnya sebagai seorang CEO perusahaan.
"Familiar? Kau mengenalnya?"
"Tidak. Tapi wajahnya sedikit mengingatkanku akan insiden beberapa tahun silam"
Seketika tawa Misra pecah membuat Zaidan melirik sahabatnya dengan kesal.
"Kau bercanda? Kau lihat sendirikan, bagaimana cantiknya model itu? Atau matamu bermasalah?" ucap Misra masih dengan gelak tawanya yang kian membahana. Hingga mau tak mau Zaidan terpaksa mendiamkan Misra dengan sedikit pukulan ke bagian kepala Misra.
"Hey! Sakit tahu!" Misra mengaduh pelan, sedangkan Zaidan mendelik kesal, "Kalau begitu, bisakah kau diam? Kau ini cerewet sekali."
"Okay okay, baiklah. Ada yang perlu ku lakukan?"
Zaidan mengangguk, "Ahlinya sebagai model tidak dapat diragukan lagi. Jadikan dia Brand Ambassador perusahaan ini," jemarinya saling terkait bagai tengah memikirkan sesuatu, "dan selidiki juga dia. Aku tidak ingin ada info yang terlewatkan."
"Anakku mencari tahu tentang wanita? Sungguh mengejutkan."
Suara menyeruak secara tiba-tiba dari dalam ruangan yang pastinya bukan suara Zaidan atau pun Misra. Namun bagi para pendengarnya, sudah dapat mengenal pasti suara siapa itu.
"Kau mengejutkanku, Mom. Tidak bisakah mengetuk pintunya lebih dulu?" Zaidan kembali dengan sosok dinginnya yang sarat akan ketiadaan rasa hangat sama sekali. Terbiasa dengan hal itu, Liana – ibu tiri Zaidan – hanya mengedikkan bahu tak acuh.
"Kau ingin aku kembali keluar dan mengetuk pintunya?" tanya Liana, tampak menawarkan sesuatu yang tidak mungkin. Zaidan hanya melirik Liana sekilas, lalu ia melirik Misra, memberi isyarat untuk meninggalkan ruangan. Hingga Misra benar-benar pergi dan kini hanya tersisa ia dengan ibu tirinya.
"Ada perlu apa kemari?"
"Tidak bolehkah?"
"Jawab saja." Sahut Zaidan dengan ekspresi jengahnya.
Liana merupakan ibu tiri Zaidan, Liana sudah mengurus Zaidan semenjak dari umur 18 tahun setelah kejadian naas yang membuat ayah dan ibunya meninggal dalam suatu kecelakaan akibat ulah seseorang atau mungkin sekelompok orang – ia tak tahu pasti – telah menyatobase kendaraan yang dipakai orang tuanya hingga rem dari mobil yang dikendarai orang tuanya tidak berfungsi dengan baik. Kejadian kecelakaan tersebut terjadi setelah beberapa kejadian lainnya yang tak kalah naas dan membuat Zaidan menjadi sosok yang sekarang.
Tepat setelah kejadian tersebut, Liana menampakkan diri bersama dengan anaknya – William – dan membeberkan fakta tak kalah mengejutkan. Bahwa ia telah menikah sudah sejak lama dengan ayahnya dan hal tersebut didukung oleh pernyataan pengacara khusus keluarganya. Hal itu membuat Zaidan marah – fakta bahwa ayahnya berselingkuh – membuat Zaidan tak ingin berhubungan dengan Liana dan hanya mendiamkan Liana. Namun seiring waktu, sikap Zaidan sedikit melunak apalagi dengan sikap Liana yang mengurusinya dengan baik serta tidak membeda-bedakan kasih sayang antara dirinya dengan William, ditambah lagi dengan fakta bahwa ibunya dan ayahnya ternyata terpaksa menikah karena dijodohkan sedangkan di sisi lain Liana dan ayahnya sudah lebih dulu menjalin hubungan karena mereka saling mencintai.
Liana berdehem pelan, lalu duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut, "Tadinya aku hanya ingin mengunjungimu, sudah tiga hari kau tidak pulang ke mansion," senyuman tipis terukir di bibir Liana, "tapi sepertinya aku sekarang ingin menanyaimu sesuatu."
"Aku tidak ingin jawab jika itu tentang perempuan tadi."
"Bingo!" Liana berseru ketika Zaidan menebak dengan tepat mengenai topik yang akan ia bahas kali ini, "Sejak kejadian itu, kau sudah tidak pernah ingin berhubungan dengan perempuan lagi," Liana bertopang dagu menatap Zaidan, "ku harap kau masih normal." lanjut Liana membuat Zaidan tersedak karena ia sedang minum.
Zaidan berseru cepat, "Aku masih normal!" dan hal tersebut disambut gelak tawa Liana akibat respon yang diberikan Zaidan. Liana bangkit melangkah menuju pintu sembari berujar, "Jangan selalu terikat dengan masa lalu, atau kau tidak bisa hidup di masa sekarang."
= = = = = >< = = = = =