Chereads / Pembunuh Dari Ranjangku / Chapter 5 - Chapter 04 - Someone Else

Chapter 5 - Chapter 04 - Someone Else

Terlihat seorang laki-laki sedang bertarung dengan tangan kosongnya melawan sekelompok orang. Seakan terbiasa, tangannya dengan ringan terayun menangkis serta membalas serangan sekelompok orang bersenjata tersebut.

"Menyusahkan saja." Gerutu laki-laki tersebut setelah menumbangkan sekelompok orang tersebut. Perlahan laki-laki itu melangkah kembali menuju mobilnya yang tadi ia kendarai hingga akhirnya ditahan sekelompok orang yang ternyata adalah kiriman dari clan musuh.

"Mati kau!!" terdengar suara laki-laki lain berteriak dari arah belakang laki-laki itu disusul suara teriakan, dengan cepat laki-laki tersebut menoleh ke belakang, dan yang ia dapati adalah laki-laki yang tadi berteriak, diam dengan mata terbelalak dan mulut ternganga lebar seakan menahan rasa sakit yang amat sangat. Seketika laki-laki yang berusaha menyerangnya tumbang dengan sebilah pisau menancap di punggung laki-laki tersebut.

Matanya dengan cepat menatap ke arah pisau tersebut berasal.

Seorang gadis – terlihat dari rambutnya yang tergerai dan melambai ria terhembus angin – bertopeng. Topeng kucing berupa Bast – Egyptian Cat – yang menutupi separuh dari wajahnya hingga menyisakan bibir tipis menggoda saja. Sontak laki-laki tersebut terbelalak melihat siapa yang ada di depannya kini.

Killer Cat, batin laki-laki tersebut.

Killer Cat atau dikenal Kucing Pembunuh, merupakan sebutan dari para orang yang ada di dunia gelap untuk perempuan tersebut, perempuan yang masih menjadi misteri bagaimana bentuk nyata dari dirinya. Perempuan itu merupakan pembunuh bayaran tergila dan yang paling berhasil. Semua buruannya selalu mati dengan sempurna di tangannya, tak pernah ada yang lolos, tentu saja juga dengan bayaran yang sangat tinggi. Ia tak pernah menerima sembarang client, dan ia sendiri juga tidak berasal dari clan mafia mana pun. Empat tahun perempuan tersebut terus melegenda namanya dan ditakuti banyak orang, ia biasanya di panggil Cat.

Tepat saat perempuan tersebut ingin pergi, laki-laki itu dengan cepat berseru, "Tunggu!" hingga langkah perempuan tersebut terhenti.

Perempuan tersebut – Cat – hanya diam dengan dirinya yang memunggungi laki-laki itu. Berselang detik berlalu, keheningan malam menyelimuti mereka, dan laki-laki itu berdehem pelan. "Terima kasih."

"Dari yang ku dengar, kau tak pernah mengucapkan 'terima kasih' kepada siapapun, tuan Aizen." Balas Cat yang contak membuat laki-laki itu – Aizen – sedikit terbelalak, karena Killer Cat mengetahui siapa dirinya.

"Kau juga tidak pernah menampakkan diri untuk menolong orang."

"Sangat percaya diri, mengira aku menolongmu, hm?"

Aizen kembali berdehem untuk meredam sedikit rasa marahnya, matanya masih dengan setia menatap Cat lalu berkata, "Aku ingin tahu namamu."

"Bukankah kalian selalu memanggilku Cat?" Cat menunjuk topeng yang ia pakai dan membunyikan kerincing dengan menganyunkan kedua tangannya.

Perlahan kaki Aizen melangkah mendekati Cat, sembari berujar "Aku ingin tahu nama aslimu dan berharap dapat melihat wajahmu." Tampak senyum tipis dari bibir ranum perempuan tersebut, "Kau cukup berani juga. Hanya saja," Cat berbalik sejenak, lalu melangkah pergi, "aku akan memberi tahumu jika kita bertemu lagi. Sampai jumpa Tuan Mafia."

= = = = = >< = = = = =

"RUIIIN!!"

"Diam Fareth!" Ruin berseru kesal, lalu kembali menenggelamkan diri di atas ranjang empuk dengan nyenyaknya. Setelah semalaman begadang, ia sangat kelelahan dan ingin tidur tanpa gangguan dari siapapun, apalagi ini adalah hari pekan, hari yang baik untuk beristirahat. Fareth membuka pintu kamar Ruin dengan sekali sentakan dan meringis mendapati Ruin masih tidur tanpa beban.

"Apa kau lupa punya janji untuk membawa adikmu berjalan-jalan?"

Untuk sesaat hening, dan berselang sekian detik kemudian Ruin bangkit dengan cepat dari ranjangnya lalu dengan tergopoh-gopoh berlari ke kamar mandi untuk mempersiapkan dirinya. Ruin berseru panik, "Fareth tolong siapkan pakaianku." dan setelahnya masuk ke dalam kamar mandi.

"Dia kira aku siapa memangnya.." Fareth bergumam pelan lalu mendengus kesal. Lantas ia pun berjalan menuju walk in closet milik Ruin dan mengambil setelan dress bernuansa peach yang pasti akan terlihat kontras dengan kulit putih Ruin.

Ruin mendengus kesal begitu sadar ia telah melupakan janjinya dengan adiknya sendiri. Mona – adik Ruin – tinggal bersama dengan ibunya, ia masih berumur 6 tahun dan pada umurnya itu ia sudah memasuki kelas 1 SD karena ia cukup pintar seukuran umurnya.

Bagi Ruin, Mona sangat berharga dan selama ia masih hidup, ia akan berusaha memenuhi seluruh keinginan Mona semampunya demi membahagiakan Mona. Mona adalah segalanya dan Ruin sangat menyayangi Mona. Itulah alasan bagi Ruin untuk melawan masa lalunya dan hidup secara bebas tanpa kekangan dan berusaha untuk terus menjadi yang terbaik untuk menjaga Mona.

Maafkan aku, Mona.

= = = = = >< = = = = =

"Ruiiin!!!"

Ruin tersentak kaget begitu mendengar seruan dengan lengkingan yang nyaring menyambutnya begitu memasuki rumah kecil yang sederhana namun sangat menyamankan tersebut. Sesosok mungil memeluk kakinya dengan erat seakan menumpahkan kerinduannya akan perpisahan yang melanda ketika Ruin pergi bekerja dan hanya akan pulang seminggu sekali selama akhir pekan untuk sekedar bermain dengan sosok mungil tersebut.

"Halo sayangku." Sapa Ruin lalu melepaskan pelukan Mona pada kakinya, lalu ia setengah berjongkok memeluk tubuh mungil Mona dengan erat. Perlahan air mata Ruin menetes, dan itu sudah pasti akan selalu terjadi jika ia bertemu dengan Mona.

"Ruin jangan nangis." Ujar Mona yang kemudian menghapus air mata Ruin dengan jemarinya yang juga mungil, membuat Ruin sejenak menutup kedua matanya menikmati sentuhan hangat Mona pada pipinya.

"Kamu pulang, Ruin."

Ruin mendongkak dan mendapati ibunya sedang menatap hangat dirinya dengan secangkir teh dingin kesukaannya. "Tentu saja, hari ini aku ingin bermain dengan Mona seperti biasa." Sahut Ruin yang seketika menghapus air mata tersisa di sudut matanya. Melihat itu, ibu Ruin tersenyum tipis, "Dan seperti biasa kamu selalu menangis."

Ruin terdiam, lagi sudut matanya melirik Mona yang menatap Ruin dengan mata bulatnya memancarkan kepolosan yang amat sangat, membuat siapapun yang menatap mata itu akan terpesona dan hanyut di dalam netra berwarna coklat kehitaman tersebut.

"Kita perlu bicara, Ruin." Kembali ibu Ruin bersuara, ia menatap Ruin dengan pancaran keseriusan, mampu membuat Ruin bergidik mendapat firasat buruk.

Dia akan membahas itu lagi. Batin Ruin yakin.

"Mona main sama Fareth aja dulu ya." Ujar Ruin pada Mona, sekilas matanya melirik Fareth yang memang selalu menemani Ruin pergi ke manapun dan membatu Ruin disegala kondisi. Mona berlari menuju Fareth dan Fareth menyambutnya dengan tangan terbuka serta senyuman hangatnya yang membuat Mona tak canggung dan selalu bisa bermain dengan Fareth seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya.

Ibu Ruin berjalan lebih dulu seakan menuntun Ruin untuk mengikutinya demi membahas sesuatu yang penting. Setibanya mereka di kamar yang ditempati Ibu Ruin, dengan cepat ia menutup pintu dan berbalik menatap Ruin yang kini menghindari tatapan perempuan paruh baya tersebut. Tanpa sadar mata Ruin melirik teh dingin yang masih dibawa oleh Ibunya, dan dengan cekatan ia merenggut gelas tersebut dari tangan Ibunya.

"Terima kasih untuk tehnya."

"Ada pembahasan yang lebih penting daripada teh, Nona Ruin."

Ruin hanya mengangguk sekilas, "Aku tahu, Mama." Lalu menyeruput teh dinginnya tersebut setelah sebelumnya duduk di atas ranjang yang terdapat dalam kamar tersebut. Semua yang ada di rumah itu merupakan hasil dari jerih payah Ruin dalam bekerja sebagai model demi memfasilitasi kehidupan Mona.

"Apa kamu tidak berniat memberi tahu Mona? Sampai kapan kamu akan menyembunyikan fakta itu-" dengan cepat Ruin memotong, "sampai aku mendapatkannya dan menghancurkannya seperti dia menghancurkanku."

"Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini, Ruin. Bagaimana bisa kamu membiarkan Mona hidup tanpa ayahnya?" Ruin hanya terdiam, lalu ia menunduk menutupi wajah dengan kedua tangannya hingga rambutnya yang tergerai ikut luruh menutupi wajah Ruin.

"Tolong mengerti." Lirih Ruin yang kini terlihat sangat rapuh mengingat masa lalu pahitnya. Dihancurkan dan diasingkan oleh orang tersayang hingga ia harus memikul seluruh penderitaan sendirian.

Ruin yang biasa terlihat bergairah setiap waktunya kini kembali terlihat hancur akibat tenggelam dalam kelamnya masa lalu.

= = = = = >< = = = = =

Related Books

Popular novel hashtag