"Tiange! Tiange!"
Mendengar tangisan ibunya, Mo Tiange membuka matanya perlahan dan menatap ibunya dengan bingung.
"Tiange!" Wanita Keempat dari keluarga Mo itu menangis sukacita dan berkata, "Kau akhirnya bangun."
Mo Tiange perlahan-lahan mengumpulkan kesadarannya dan memanggil, "Ibu."
"Ibu disini, Nak. Bagaimana keadaanmu?"
Ia berpikir sejenak. Akhirnya, dia mengelus perutnya dan berkata, "Aku kelaparan ..."
Sambil berurai air mata, ibunya berkata, "Anak ini! Kau dengan ceroboh berlari ke Aula Leluhur dan bahkan jatuh dari kursi! Guru Tua menolongmu setelah itu. Saat ini,, kau hanya kelaparan! Tunggu sebentar, Ibu akan menyiapkan makanan ... "
Dia mengangguk dan menjawab: "Hmm."
Wanita itu segera memasuki dapur. Namun, tepat setelah ia melangkah keluar pintu, ia tiba-tiba merasa pusing dan bersandar ke dinding.
Mo Tiange duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Semuanya sama. Ia berpikir keras: "Apakah itu mimpi?"
Namun, ketika dia memikirkannya, kata-kata dan gerakan aneh yang tak terhitung jumlahnya tiba-tiba muncul di benaknya.
Kata-katanya sangat aneh - sama sekali berbeda dari kata-kata yang dipelajarinya. Namun untuk beberapa alasan yang tak terkatakan, ia mengenali kata-kata tersebut secara alami.
"Apakah itu nyata?" Dia perlahan mencoba mengingat semuanya. Meskipun ia tidak mengerti sebagian besar hal yang dikatakan oleh suara itu, semuanya terukir dalam-dalam di kepalanya.
"Apakah Dewa benar-benar ada di dunia ini? Bisakah aku juga menjadi manusia abadi, terbang di sana-sini?" Ujarnya dalam hati.
Namun, begitu dia memikirkan tentang apa yang dikatakan Leluhur, ekspresinya menjadi suram lagi. Tidak ada cara untuk menyelamatkan ibunya.
Suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Seseorang memasuki halaman dan berkata, "Wanita Keempat, apa kau memasak?" Mo Tiange mengenali suara ini. Itu suara tetangga mereka, Bibi Awang.
Setelah itu, suara lembut ibunya muncul, "Ya. Tiange tidak sadarkan diri selama dua hari dan belum makan apa-apa. Dia kelaparan."
Bibi Awang tertawa kecil dan berkata, "Anak itu sudah bangun? Bagus sekali. Maafkan kami yang tidak dapat membantu banyak. Kami hanya bisa memberikan telur dan buah-buahan ini untuk membantu Tiange agar lekas sembuh ... Ah !!! Kau kelihatan sangat sakit ! Ayo, duduk dan istirahat sejenak. Biarkan aku saja yang memasak. "
"Tidak apa-apa, Kakak ipar. Kau selalu memberikan telurmu kepada kami; aku tidak bisa merepotkanmu lagi."
"Bukan apa-apa. Memasak beberapa lauk bukan masalah besar. Lagipula, keluargamu selalu membantu. Dulu ketika suamiku jatuh dari gunung, berkat Menantu Keempat suamiku tidak menjadi cacat. Kau seharusnya tidak merasa terbebani. "
Mo Tiange tahu yang disebut "Menantu Keempat" adalah ayahnya. Berdasarkan potongan-potongan yang dia dengar, ayahnya tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi dia juga mahir dalam seni penyembuhan. Meskipun ia jelas terlihat seperti seorang cendekiawan, ia jauh lebih kuat daripada pria lainnya. Bibi Awang menyebutkan bahwa ayahnya pasti belajar seni bela diri. Selama beberapa tahun ayahnya tinggal di desa, penduduk desa tidak perlu pergi ke luar jika mereka perlu menemui dokter. Bahkan untuk tugas-tugas seperti membangun rumah atau menggali sumur, ayahnya dengan penuh semangat menawarkan diri untuk membantu penduduk desa.
Dia mendengar Bibi Awang berbicara lagi. "Tiange, anak ini! Bagaimana mungkin seorang gadis memasuki Aula Leluhur? Beruntung tidak ada yang mempermasalahkannya karena dia masih kecil dan ditambah lagi, ia melukai kepalanya. Bagaimana dia sekarang? Apakah kepalanya baik-baik saja?"
"Seharusnya tidak apa-apa ... Dia bilang dia lapar ketika bangun."
"Syukurlah. Tapi bagaimana kau bisa menjaga Tiange dengan keadaanmu yang seperti ini? Bukankah keluargamu menyuruhmu kembali?"
Ibu Tiange terdiam. Mo Tiange juga ingin tahu jawabannya. Neneknya tidak menyukai mereka berdua. Pamannya tidak dekat dengan ibunya. Kakeknya juga tidak peduli pada mereka. Di keluarganya, selain Tianqiao, yang memperlakukannya dengan baik, tidak ada yang menyukainya.
"Apa yang Bibi Awang katakan benar adanya. Bagaimana Ibu bisa merawat aku dengan kesehatan yang buruk? Aku harus segera sembuh untuk merawat Ibu!" Tekadnya dalam hati.
Setelah memotivasi dirinya sendiri, Mo Tiange melompat turun dari tempat tidur, tetapi ia langsung merasa pusing lagi.
Ada banyak hal yang berkeliaran di benaknya. Ia tahu pikiran-pikiran ini ditinggalkan oleh Leluhur yang mengajaknya bicara - Hal ini bernama 'Teknik Sunu.' Meskipun ia tidak benar-benar mengerti, ia sepertinya tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Ibu dan Bibi Awang berjalan masuk, masing-masing membawa piring di tangan mereka.
Melihat Mo Tiange, Bibi Awang tersenyum dan berkata, "Tiange, turun dari tempat tidur! Bagaimana perasaanmu? Apakah kepalamu sakit?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja, Bibi Awang."
"Semuanya baik selama kau baik-baik saja. Ayo, makan. Kau pasti kelaparan setelah tidak makan apa-apa selama dua hari terakhir. "
Dia mengangguk dan menjawab, "Ya." Ketika ia berbalik, ia melihat ibunya meletakkan beberapa makanan di atas meja. Ibunya berkata, "Tiange, kemari dan makanlah."
Melihat ibunya sangat pucat, ia bertanya dengan cemas, "Ibu, ada apa denganmu? Apakah kau merasa sakit?"
Ibu menggelengkan kepalanya dan tersenyum untuk menenangkannya. Ia berkata, "Jangan khawatir. Ibu hanya kurang istirahat. Ibu baik-baik saja."
Mo Tiange memercayai kata-kata ibunya dan mengambil piring yang diberikan ibunya. Ibunya mengatakan ia tidak makan apapun selama dua hari terakhir. Ketika ia mencium aroma makanan, ia menyadari bahwa ia sangat kelaparan.
Ibu dan Bibi Awang tidak bisa menahan tawa melihat betapa lahapnya Tiange saat makan.
"Pelan-pelan! Tidak ada yang akan mencuri makananmu. Hati-hati atau kau akan tersedak."
Ketika perutnya dipenuhi dengan makanan, gerakan Mo Tiange akhirnya melambat. Ia mendongak dan berkata, "Nasi yang dimasak ibu sangat lezat! Kacang yang dimasak oleh Bibi Awang sangat sedap!"
Kedua orang dewasa itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Bibi Awang bercakap-cakap sebentar dengan mereka sebelum kembali ke rumahnya. Sebelum pergi, ia berkata kepada ibu Tiange: "Meskipun Tiange sudah bangun, kita tidak tahu bagaimana keadaan tubuhnya. Akan lebih baik jika kita meminta dokter untuk memeriksanya lagi."
Ibu Tiange mengangguk. "Sayangnya, tubuhku tidak berguna. Aku harus meminta kakak Awang untuk bertanya kepada dokter lagi."
"Apa yang kau bicarakan? Kau pantas menerima segala bantuan. Selain itu, saling membantu adalah sesuatu yang harus kita lakukan. Kau harus beristirahat. Aku akan meminta suamiku untuk pergi ke kota sore nanti ... Baiklah, aku pulang dulu ya. "
"Baiklah, Kakak ipar. Hati-hati."
Setelah Bibi Awang pergi, datanglah Tianqiao ke rumah.
"Tianqiao? Apa yang kau lakukan di sini?" Ujar wanita itu.
Dengan takut-takut Mo Tianqiao menjawab, "Bibi Keempat, bagaimana Tiange? Aku datang untuk menemuinya." Karena Wanita Keempat selalu sakit, keluarga tidak pernah mengizinkan Tianqiao untuk berkunjung. Karena itu, Tianqiao tidak terbiasa dengan Bibi Keempat ini.
"Kau benar-benar perhatian. Tiange sudah bangun. Masuklah dan duduk."
"Ya."
Mo Tiange terkejut melihat Mo Tianqiao berjalan ke kamar di belakang ibunya. "Tianqiao!"
"Tiange! Makan makananmu dengan benar." Wanita Keempat menatapnya dengan tatapan tidak senang sebelum sekali lagi tersenyum ke arah Mo Tianqiao. "Tianqiao, duduklah. Bibi akan memasakkanmu semangkuk mie. Yang mana yang Kau inginkan - mie panjang atau mie tipis?"
Mo Tianqiao buru-buru menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu, Bibi. Aku sudah makan sebelum aku datang ke sini." Keluarganya mengatakan dia tidak boleh makan di rumah Bibi Keempat. Meskipun dia tidak menganggap kata-kata itu terlalu serius, sebagai tamu di rumah orang luar, dia tidak bisa terlalu ramah.
Ia tidak memaksanya Tianqiao untuk makan. Lalu, ia mengambil beberapa buah yang dibawa Bibi Awang, mencuci, dan membawanya ke kamar. "Makan plum ini, ya ... Ini plum segar yang diberikan oleh Bibi Awang."
Mo Tianqiao berkata, "Terima kasih, Bibi Keempat."
Melihat dia sangat sopan, Ibu Tiange memujinya. Segera setelah itu, ia pergi ke dalam rumah, memberikan kedua anak itu waktu untuk berbicara.
"Tiange, bagaimana kau bisa jatuh di Aula Leluhur? Ayahku mengatakan kau bahkan memecahkan memorial tablet leluhur."
Mo Tiange ingin memberitahunya tentang hal-hal yang dilihatnya. Namun, ia merasa ragu. Ia berkata, "Aku ... aku tidak hati-hati."
"Kakek sangat marah ketika dia tahu. Seorang gadis memasuki Aula Leluhur dan bahkan memecahkan memorial tablet leluhur! Dia mengatakan itu tidak sopan terhadap leluhur. Pada awalnya, Kakek bahkan mengatakan dia akan menghukummu. Tapi, Kakek lain mengatakan kau masih kecil dan tidak peka, jadi menghukummu pun akan sia-sia. Lalu, kemarahan Kakek mereda. "
Mo Tiange menunduk dan berusaha berkonsentrasi pada makanannya ketika ia mendengar kakek begitu marah. Karena kakeknya tidak menyukainya dan ibunya, ia sangat takut padanya.
"Tapi, sekarang semuanya baik-baik saja. Bagian mana dari dirimu yang terluka? Apakah masih sakit?"
"Kepalaku masih agak sakit, tetapi yang lainnya baik-baik saja." Ia tidak mampu mengingat memorial tablet leluhur yang dijatuhkannya. Ia bertanya, "Tianqiao, mengapa anak perempuan tidak bisa memasuki Aula Leluhur ketika leluhur di rak paling atas adalah seorang wanita?"
"Eh? Bagaimana kau tahu?"
"Aku ... aku melihat namanya. Itu adalah nama wanita." Ia bisa saja memberitahu Tianqiao segalanya. Namun, ia berpikir bahwa hal tak terduga seperti itu seharusnya tetap menjadi rahasia, terutama karena leluhur itu berkata bahwa ibunya tidak bisa membantu. Dia tidak ingin ibunya mengetahuinya.
"Aku juga tidak tahu. Aku akan bertanya pada Kakek."
"Lupakan saja, kau tidak perlu bertanya. Kakek bisa marah lagi."
Mo Tianqiao berpikir sejenak dan merasa bahwa Mo Tiange benar. Jadi, ia mengubah topik pembicaraan dan terus bertanya, "Kapan kau akan kembali ke sekolah?"
"Karena aku baik-baik saja sekarang, aku akan pergi besok."
"Yay! Aku punya hal menarik untuk dibawa ke sekolah besok dan kita bisa bermain bersama."
"Oke."
Pada sore hari, Paman Awang benar-benar pergi ke kota untuk menemui dokter. Setelah memeriksa keadaan Mo Tiange dan mengambil denyut nadinya, dokter mengatakan ia tidak perlu minum obat apa pun. Dia dinyatakan sangat sehat.
Ibu Tiange merasa sangat lega. Ia lalu beranjak ke dapur dan menumis sepiring sayuran dan memasak daging dan tahu. Dia juga meminta Bibi Awang untuk membeli beberapa kaki babi dari tukang daging di desa untuk memasak sup kaki babi.
Nafsu makan Mo Tiange menjadi ganas begitu dia melihat hidangan itu. Jarang sekali keluarga mereka makan daging dan ikan, begitu banyak hidangan lezat.
Ibu mengambil sup dan menyuruh Mo Tiange membagikannya ke tetangga mereka.
Setelah ibu-anak itu makan malam, mereka kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.