Chereads / Kultivator Perempuan / Chapter 5 - Sakit dan Mati

Chapter 5 - Sakit dan Mati

Mo Tiange bangun saat fajar dan segera duduk.

Tidur nyenyak benar-benar menyembuhkan kepalanya yang sakit. Dia sekarang sangat bersemangat.

Setelah mengenakan pakaiannya dan bangun dari tempat tidur, ia melihat Ibunya sedang bersandar di tempat tidur, memegang perlengkapan menjahit di tangannya dengan mata tertutup. Mo Tiange lalu menepuk bahunya lembut dan berkata, "Ibu, berbaringlah di tempat tidur."

Ibunya tidak bergeming sedikitpun.

Mo Tiange mengguncangnya dengan keras, "Ibu ..."

Tidak lama kemudian, Ibunya jatuh dengan kepala lebih dulu ke tempat tidur.

Mo Tiange terkejut dan dengan cepat melompat ke tempat tidur. Namun, ibunya tidak memberikan respon sedikitpun. Matanya tertutup dan wajahnya pucat pasi. Mo Tiange melihat noda darah di sudut bibir Ibunya. Sebagian pakaiannya juga sudah bersimbah darah.

"Ibu!"

Mo Tiange panik. Ia melompat turun dari tempat tidur dan berlari keluar rumah dengan membabi-buta. Dia baru saja berlari keluar ketika menabrak Bibi Awang yang juga kebetulan masuk ke halaman rumahnya. "Aduh!" Mereka berdua jatuh ke tanah.

Bibi Awang tidak punya kesempatan untuk bertanya apa yang terjadi ketika Mo Tiange dengan cepat berteriak, "Bibi Awang! Ibuku pingsan dan muntah darah! Apa yang harus aku lakukan!? Apa yang harus aku lakukan !?"

Mendengar tentang apa yang terjadi, Bibi Awang juga sangat ketakutan. Namun, ia buru-buru berkata, "Tiange, jangan khawatir. Biarkan Bibi memeriksanya."

Ia mengikuti Mo Tiange kembali ke rumah. Melihat bahwa bagian atas tubuh Ibu Mo Tiange bersimbah darah, ia berkata, "Katakan pada Paman Awang untuk memanggil dokter secepatnya!"

Mo Tiange dengan cepat menyeka air mata di wajahnya dan buru-buru berlari ke rumah sebelah. Paman Awang sedang makan ketika ia menerobos masuk.

Ketika mendengar bahwa ibu Tiange pingsan, Paman Awang menghentikan makannya dan pergi dengan cepat ke kota.

Mo Tiange kembali ke rumahnya dan menemukan bahwa Bibi Awang telah membenarkan posisi ibunya di tempat tidur. Melihat mata tertutup ibunya dan terlihat tak bernyawa, air matanya jatuh lagi.

Bibi Awang memberinya pelukan yang lama untuk menghiburnya.

Dua jam kemudian, Paman Awang akhirnya tiba bersama dokter.

Mo Tiange menyaksikannya dengan cemas dengan beruraian air mata.

Setelah beberapa saat, dokter itu berdiri dan menggelengkan kepalanya. "Wanita ini memiliki tubuh yang lemah sejak lahir dan dia juga bekerja terlalu keras. Dia mengalami serangan jantung, dan aku khawatir dia hanya akan bertahan satu malam. Kalian harus memberinya perpisahan yang tepat."

Setelah dokter mengatakan itu, ia mengambil kotak obatnya dan pergi tanpa meminta bayaran.

Bibi Awang sudah menebak bahwa Wanita Keempat tidak akan bertahan lama. Karena itu, ia menghela napas dan berkata pada Paman Awang, "Kamu harus pergi ke rumah kepala keluarga untuk melaporkan ini."

Paman Awang juga menghela napas. Dia menganggukkan kepalanya dan pergi.

Bibi Awang menatap Wanita Keempat yang tidak sadar dan mengalihkan pandangannya ke samping menuju Mo Tiange, yang menangis tersedu-sedu. Ia menghela napas lagi dan berkata, "Anak yang menyedihkan, ia harus kehilangan ibunya di usia yang begitu muda."

Langit berangsur-angsur menjadi gelap. Mo Tiange sudah kehabisan air mata. Ia duduk di tempat tidur, menatap kosong ibunya.

Lalu, paman dan bibi dari rumah kakeknya mengunjungi rumah itu, satu per satu. Akhirnya, kakek dan neneknya juga datang. Tak lama kemudian, mereka pergi untuk mengurus pemakaman ibunya.

Matanya lelah karena menangis, tetapi ibunya masih belum bangun. Dia mengerti apa yang dimaksud dokter - "tidak bisa bertahan" berarti ibunya akan mati. Ibunya pernah berkata bahwa kematian berarti tidur selamanya. Orang mati tidak akan pernah bangun lagi dan akan dimakamkan di tanah. Akhirnya, orang-orang itu juga akan berubah menjadi tanah.

Ia buru-buru mendongak ketika ia merasakan gerakan di bawah telapak tangannya. Ia melihat kelopak mata ibunya bergerak. Seolah-olah ibunya akan bangun.

Dia buru-buru memanggil, "Ibu! Ibu!"

Bibi Awang mendengar ini dan bergegas ke arah mereka dan berseru, "Wanita Keempat?"

Wanita Keempat akhirnya membuka matanya. Air matanya jatuh ketika dia melihat Mo Tiange. Namun, ia tidak memiliki kekuatan untuk mengangkat tangannya dan hanya bisa menatap Mo Tiange.

"Wanita Keempat," bisik Bibi Wang, "Kau bisa memberitahuku keinginanmu yang tidak terpenuhi."

Setelah melihat ruang yang suram, Wanita Keempat mengerti bahwa bahkan mendekati kematiannya, tidak ada seorangpun dari orang-orang yang disebutnya keluarga datang untuk merawatnya. Dia menatap Mo Tiange, merasa semakin sedih. Dia juga kehilangan ibunya saat masih anak-anak, namun ia tidak pernah menyangka Tiange harus mengalami nasib yang sama sepertinya.

Setelah melihat bibirnya bergetar, Bibi Awang buru-buru mendekat. Bibi Awang mendengar kata-kata samar "Tiange" dan bertanya, "Wanita Keempat, apakah kau mengkhawatirkan Tiange?"

Wanita Keempat mengangguk berurai air mata.

"Tenanglah, aku akan menjaganya atas untukmu"

Wanita Keempat menggeser pandangannya lagi dan fokus pada satu titik. Bibi Awang mengikuti pandangannya. Dia mengambil sebuah kotak rias dan berkata, "Apakah kau menginginkan kotak itu?"

Melihat Wanita Keempat mengangguk dan mencoba mengatakan sesuatu, Bibi Awang mendekatkan telinganya. Setelah mendengarkan beberapa kata, Bibi Awang membuka kotak itu. Sebenarnya ada beberapa potong perhiasan berkualitas tinggi di dalamnya. Dia tahu bahwa sebelumnya, Menantu Keempat adalah orang yang sangat sukses. Tidak aneh kalau Wanita Keempat memiliki barang-barang ini di tangannya.

Bibi Awang mengambil perhiasan itu satu per satu sambil memperhatikan ekspresi Wanita Keempat. Ketika dia mengambil gelang mutiara, ia melihat perubahan dalam ekspresi Wanita Keempat. Bibi Awang menundukkan kepalanya lagi untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan Wanita Keempat. Setelah beberapa saat, dia bertanya, "Apakah ini milik Menantu Keempat?"

Wanita Keempat berusaha keras untuk mengangguk dan menatap Mo Tiange yang menangis diam-diam.

"Ibu! ibu!" Mo Tiange meratap. Namun, Wanita Keempat pingsan lagi.

Wanita Keempat terus pingsan dan bangun sepanjang malam. Pada akhirnya, dia tidak bisa bertahan. Sesaat sebelum fajar datang, napasnya berhenti.

Kepala keluarga Mo akhirnya datang menemuinya, tetapi ia pergi bahkan sebelum matanya tertutup rapat. Meskipun beberapa bibinya datang, mereka sebenarnya menunggu untuk mengatur pemakaman.

Satu-satunya hal yang dilakukan Mo Tiange adalah memegang tangan ibunya dengan erat. Terkadang dia menangis, terkadang dia hanya duduk dengan tatapan kosong. Ia akhirnya menangis hingga tertidur ketika dia tidak lagi merasakan kehangatan di tubuh ibunya.

Tiga hari kemudian, ibunya dimakamkan.

Selama itu, Mo Tiange masih terdiam dan pikirannya benar-benar kosong. Terkadang, Bibi Awang merawatnya. Di lain waktu, Mo Tianqiao menemaninya.

Begitu mereka kembali dari pemakaman dan merapikan aula berkabung, keluarga Mo mulai mengatur hal-hal yang ditinggalkan Wanita Keempat.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika Wanita Keempat menikahi Menantu Keempat, dia diperlakukan seperti anak laki-laki dan diberi rumah. Meskipun bagiannya tidak sebanyak anak laki-laki, sebuah halaman sengaja dibangun untuknya. Dia juga diberi beberapa hektar lahan. Beberapa tahun terakhir ini, dia dan Mo Tiange bergantung pada beberapa hektar ini untuk menopang hidup mereka dan membeli obat.

Karena Menantu Keempat menikah dengan keluarga mereka, Wanita Keempat dapat dianggap sebagai keluarga jauh mereka. Ladang dan rumahnya bisa diwariskan. Sayangnya, Mo Tiange adalah seorang gadis dan yatim piatu pada saat itu. Ladang dan rumah ini tentunya akan diambil kembali oleh pamannya. Karena masalah ini, putra-putra kepala keluarga menjadi lebih bersemangat. Mereka hanya tuan tanah pedesaan, tidak benar-benar kaya. Bagi mereka, meskipun barang milik Nyonya Keempat tidak banyak, benda-benda itu masih dapat membuat perbedaan.

Sang kepala keluarga mengerutkan kening ketika menyaksikan putra-putranya memperebutkan ladang itu. Anak perempuan itu lahir dari kecerobohannya selama masa mudanya. Meskipun ia tidak memiliki kasih sayang yang mendalam terhadapnya, pada akhirnya, dia masih putrinya. Melihat putranya memperebutkan harta milik putrinya ketika ia baru saja dimakamkan dan bertengkar tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa hormat kepadanya, kepala keluarga tentu saja merasa sangat tidak bahagia.

Menyaksikan pertengkaran putra-putranya menjadi semakin di luar kendalinya, kepala keluarga menggunakan pipa tembakau untuk mengetuk kaki meja. Gema keras terdengar dan semua orang langsung membisu. Tanpa ekspresi, ia berkata, "Yang tertua akan mengurus tanah untuk saat ini. Gabah yang dipanen setiap tahun akan disimpan dan dikembalikan kepada suaminya ketika dia kembali. Jika dia masih belum kembali pada saat anak sudah dewasa, biji-bijian dan beberapa hektar tanah itu akan menjadi mas kawinnya. Kita akan menjaga rumah itu. "

Karena kepala keluarga telah membuat keputusan, putra-putranya yang masih kecil tidak berani untuk terus berdebat. Para tetua desa melihat bahwa ia telah menangani masalah ini secara adil dan tidak mengajukan keberatan. Mereka hanya bertanya, "Lalu bagaimana dengan anak ini? Siapa di antara kalian yang akan membesarkannya?"

"Kami akan membawa anak itu kembali bersama kami - lelaki tua ini akan membesarkannya! Tidak perlu ada orang lain yang membuang-buang biji-bijian mereka!"

Para putra kepala suku itu terlihat malu karena kata-katanya.

Kepala Keluarga menghela napas dan berkata, "Itulah yang akan terjadi. Kembali!"

"Tiange, karena kakekmu sudah bicara, kamu akan memiliki seseorang yang menjagamu di masa depan. Bibi juga merasa lega sekarang," kata Bibi Awang sambil membantu Mo Tiange melipat bajunya.

Mo Tiange duduk di samping tempat tidur, mengotak-atik gelang mutiara di pergelangan tangannya. Ia diam sambil menundukan kepalanya.

Melihatnya kehilangan ibunya di usia yang begitu muda, Bibi Awang juga merasa iba pada Tiange. Karena itu, Bibi Awang berkata dengan lembut, "Tiange, ibumu berharap agar kamu aman dan sehat. Kamu harus menjaga dirimu dengan baik. Mungkin suatu hari nanti ayahmu akan kembali."

Mendengar Bibi Awang menyebut-nyebut ibunya, ekpresi Mo Tiange berubah. Ia mendongak ke arah Bibi Awang dan berkata, "Tenanglah, Bibi Awang. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan membuat Ibu menghawatirkanku."

Bibi Awang semakin mengasihani Tiange. Kata-kata ini bukanlah kata dari seorang anak berusia tujuh tahun. Setelah selesai mengepak barang-barang Mo Tiange, Bibi Awang berkata, "Barang-barangmu sudah terkemas, jadi Bibi akan membawamu ke rumah kakekmu. Tentang rumah ini, percayalah, kami akan membersihkannya setiap hari. Rumah ini akan tetap bersih dan rapi saat ayahmu kembali. "

"Ya! Terima kasih, Bibi Awang."