Chereads / Memanggil Pedang Suci / Chapter 41 - Mimpi Buruk yang Indah

Chapter 41 - Mimpi Buruk yang Indah

Situasinya tidak bagus.

Walaupun roh-roh jahat di lantai pertama adalah monster-monster level rendah, tetapi mayat hidup yang mereka temui memiliki level yang berbeda. Meskipun mereka sudah mati, mayat-mayat itu masih mempertahankan insting bertarung mereka. Dari luar, tubuh mereka yang membusuk terlihat rapuh, namun ternyata mereka masih dapat menahan ledakan dari serangan sihir suci yang mengenai mereka. Hal tersebut membuat Rhode dan Lize menggunakan formasi bertarung yang paling lazim: dua di depan dan satu di belakang. Rhode dan Pembunuh Api bertempur di garis depan sementara Lize di belakang sambil melancarkan skill-skill pendukung. Saat ini, Lize menahan pikiran egoisnya untuk ikut bertarung di garis depan.

Rhode hampir mencapai tempat tujuannya.

Dia mengamati pola di dinding sambil membandingkannya dengan ingatannya tentang tempat itu. Di saat yang bersamaan, dia mengayunkan pedangnya dan menerobos pertahanan mayat-mayat hidup. Ketika cahaya terang menyebar ke segala arah, cahaya itu menembus tubuh para mayat hidup tanpa ampun, dan menjepit tubuh mereka ke arah dinding.

Ketika Rhode terus melangkah maju, di belakang, Lize mengerutkan alisnya dengan jengkel.

Mayat-mayat hidup yang menghalangi mereka tidak hanya terdiri dari mayat prajurit bayaran, tapi terdapat juga mayat pelayan dan bahkan mayat anak-anak! Mereka semua adalah korban dari kutukan rumah ini, dan karena mereka berada di bawah pengaruh sihir jahat, mereka dihidupkan kembali dan dipaksa untuk berbuat kejahatan.

"Makhluk keji macam apa yang tega melakukan hal seperti ini?" Lize menggertakkan giginya dengan pemuh amarah saat dia bergumam pelan.

"Setiap makhluk jahat bisa melakukan sesuatu seperti ini. Dan apa yang terjadi di rumah ini tidak terkecuali, "Rhode menjawab pertanyaan Lize tanpa menoleh. Pemuda itu berkonsentrasi menebas setiap mayat hidup yang ada di depannya sambil memanggil Pembunuh Api dengan tangan lainnya.

"Tapi ini keterlaluan!!!"

Tiba-tiba, mayat hidup yang mengenakan pakaian pelayan muncul sambil membuka mulutnya dan melaju ke arah Rhode.

Wut!

"Sumber kekuatan mereka yang asli berasal dari manusia, "Rhode berkata sambil menusuk dahi mayat pelayan itu dengan Tanda Bintang. Kemudian dia mengayunkan pedangnya ke arah samping dan melanjutkan, "Tidak peduli apapun motif mereka, akibatnya tetap sama saja."

"Karena itulah, ketika kau membuat sebuah keputusan, kau harus siap menanggung konsekuensinya."

"Eh?"

Lize tertegun sesaat. Dia tidak menyangka bahwa Rhode akan berkata begitu. Tapi sebelum dia bisa membalas, sesuatu yang dingin dan berat tiba-tiba menekan bahunya.

"Ah!"

Rasa sakitnya menyebabkan gadis itu menjerit keras. Ketika dia berbalik, tubuh gadis itu seketika membeku.

Matanya menatap ke rongga kosong mayat hidup anak-anak di belakangnya dengan rasa ngeri. Makhluk yang berwarna keabu-abuan dan telah membusuk tersebut membuka mulutnya, mengeluarkan bau daging busuk. Dua tangan kecilnya mengapit bahu Lize seperti seekor kucing.

Ketika mayat hidup anak-anak itu menyadari bahwa Lize telah menemukannya, dia memanjat tubuh Lize dengan cepat dan mengincar leher gadis tersebut. Pada saat itu, kilatan cahaya putih melesat melewati tubuh mayat hidup anak-anak itu, dan gerakannya terhenti. Sesaat kemudian tubuh mayat itu jatuh tanpa kepala. Tubuh tanpa kepala tersebut hancur menjadi debu dan menghilang.

"-----"

Lize menatap lantai dengan pandangan kosong selama beberapa detik. Gadis itu masih terpaku hingga Rhode memanggilnya.

"Hati-hati."

"Ah, baik!"

Setelah gelombang adrenalin tiba-tiba menyerang tubuhnya, Lize merasakan sakit yang menyengat di bahunya. Dia buru-buru menghilangkan racun di dalam tubuhnya dan mengeluarkan sihir pelindung untuk dirinya sendiri. Tetapi, dia masih merasa ada yang tidak beres.

Musuhnya sudah habis?

Menatap ke arah depan, Lize menyadari bahwa zombie di sekeliling mereka telah berubah menjadi debu, dan keadaan di tempat itu menjadi hening.

"Apa yang terjadi…?"

"Sepertinya musuh sedang memikirkan strategi lain untuk menghadap kita."

Rhode mengibaskan pedangnya ke samping dan menatap Lize. Dia sedikit mengernyit saat melihat luka di bahu Lize.

"Bagaimana lukamu?"

"Ah, tidak apa-apa. Bukan masalah…"

Lize berdiri dan menjawab dengan suara pelan.

"Sini, coba kulihat." Rhode memaksa ketika dia mengamati luka tersebut sebelum membungkukkan tubuhnya ke arah Lize. Untungnya pemuda itu tidak lupa bahwa mereka sedang berada di area musuh, jadi dia menyuruh Pembunuh Api untuk tetap siaga.

"Tidak usah…! Sungguh tidak apa-apa kok..!"

Lize mulai panik. Dia tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Coba ku lihat."

Rhode tidak memedulikan sikap gadis itu dan mengulang perkataannya.

"…"

Lize terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk menurunkan tangannya dengan pasrah.

Luka di tubuh gadis itu mudah ditemukan, melihat adanya 10 noda darah di punggungnya yang terlihat mencolok di balik jubah putihnya. Darah merah gelap perlahan merembes dari luka tersebut dan menetes ke arah bawah.

Rhode tidak membuang waktu ketika dia langsung merobek pakaian luar Lize yang mengelilingi luka tersebut.

"Kau sudah membuang racunnya?"

"Ya, harusnya sudah tidak ada masalah."

"Bagus."

Rhode mengangguk dan berhenti berbicara. Dia mengeluarkan botol yang tergantung di pinggangnya dan mulai merawat luka itu.

"---!!!"

Sebuah sensasi rasa sakit yang tajam menyerang Lize dan dia menggigit bibir untuk menahan rasa sakitnya. Ketika dia mendongakkan kepala dan melihat Rhode yang berkonsentrasi untuk membalut lukanya, hatinya serasa campur aduk.

"Tuan Rhode?"

"Ya?"

"Ini…aku benar-benar minta maaf sebelumnya…aku kurang waspada…"

"Tidak usah minta maaf kepadaku. Bukan aku yang terluka kali ini."

"Uh…"

Lize terdiam sesaat sebelum meledak tertawa.

"Maaf, aku.."

"Kubilang, jangan minta maaf kepadaku."

"Ah, ya, betul…" Lize berkata sambil tertawa lembut.

Dia akhirnya mengetahui masalahnya. Lize tersenyum dan tidak berkata apa-apa sambil memandang pemuda yang merawat lukanya dalam diam.

Orang seperti apa dia?

Pertanyaan itu terus menghantui benak Lize berkali-kali. Sebelum menjadi seorang prajurit bayaran, dia telah bertemu dengan berbagai tipe orang. Dan begitu dia menjadi prajurit bayaran, semakin banyak tipe orang yang ditemuinya. Tetapi selama ini, dia belum pernah bertemu dengan orang yang seperti Rhode. Dia hanya sedikit lebih tua daripada Lize, namun dia sangat percaya diri dan dia tidak pernah meragukan perkataannya sendiri. Terkadang, dia bahkan bersikap sombong, tetapi mengapa dia begitu mempercayai Lize? Pemuda itu bahkan tidak romantis; dia jarang tersenyum, yang membuat dirinya tampak membosankan.

"Sudah."

Kata-kata Rhode membuat Lize tersadar dari lamunannya dan kaget ketika dia melihat bahwa lukanya telah dibalut dengan rapi.

"Coba gerakkan bahumu. Apakah tidak ada masalah?"

"Kalau aku tidak terlalu banyak menggerakannya, tidak ada masalah…"

Sebagai seorang Spirit Master, tentu saja Lize tahu bagaimana cara menjaga keselamatannya sendiri. Kalau bukan lokasi lukanya yang terletak di posisi sulit, dia tidak akan membutuhkan bantuan Rhode untuk merawat lukanya.

"Bagus sekali."

Rhode mengangguk dan berdiri kembali.

"Bersiaplah. Kita akan melanjutkan pergerakan tidak lama lagi. Waktu kita tidak banyak."

Dari pertarungan sebelumnya, para mayat hidup sadar bahwa Rhode sangat tangguh dan mereka tidak memperlihatkan diri mereka lagi. Saat ini keadaannya terlihat tenang, tetapi mereka berdua tahu bahwa keadaan ini hanya bersifat sementara. Rhode memperhitungkan hal ini berdasarkan pengalamannya menyelesaikan berbagai misi dan Lize bergantung pada pengalamannya sebagai prajurit bayaran dan juga insting malaikatnya. Sesaat kemudian mereka tiba di pintu, yang merupakan satu-satunya objek yang terlihat masih bersih dan utuh di rumah itu. Dan di rumah yang bobrok dengan sarang laba-laba dan puing-puing yang tersebar di mana-mana, pintu itu jelas mencurigakan. Namun, Rhode mengenali pintu itu dengan mudah. Ruangan di baliknya adalah ruang pahat milik Martin Cyril, dan di situlah semua bermula.

"Ada sesuatu di dalamnya…"

Lize menelan ludah dengan gugup. Dia merasa bahunya tegang. Sebuah aura jahat yang pekat dan mencekik keluar dari celah di balik pintu tersebut. Ini pertama kalinya Lize merasakan aura sepekat itu. 

Rhode membuka pintu dengan perlahan.

Dan apa yang mereka lihat selanjutnya membuat mereka terdiam tanpa kata-kata.

Kira-kira apa kata yang tepat untuk menggambarkan…pemandangan itu?

Kejam? Menjijikkan? Kotor?

Bukan.

Perasaan yang keluar dari ruangan ini adalah --- suci.

Sebuah dunia putih menyambut mereka. Semua yang ada di ruangan itu terlihat bersih dan tak bernoda. Pilar putih yang indah menopang bagian dalam ruangan yang berbentuk kubah, dan cahaya bulan bersinar melalui lubang di langit-langit. Dan di bawah sinar bulan itu, berdiri sebuah patung.

Itu adalah patung wanita.

Wanita itu terlihat telanjang, tangannya menutupi tubuhnya, dan rambutnya panjang. Wajahnya terlihat sangat cantik; corak mukanya diukir dengan cermat, sentuhan riang tersembunyi di balik senyumnya. Siapapun yang melihat patung tersebut pasti akan menganggapnya sebagai karya seni terindah di dunia ini.

"Cantiknya…"

Bahkan tanpa sadar Lize memujinya. Saat memandang patung tersebut, gadis itu merasa bahwa keberadaan aura jahat, para zombie yang mengerikan, dan lain-lainnya terasa tidak penting. Yang terpenting hanyalah keberadaan patung di depannya. Dia memiliki dorongan tak terkendali untuk berjalan maju dan mengagumi patung itu dari dekat, tetapi Rhode mencengkram pundaknya dengan cepat.

"Ah."

Ketika dia ditarik dengan mendadak oleh Rhode, Lize terkejut dan merasa sedikit jengkel, tapi tindakan Rhode tersebut juga berhasil menyadarkannya. Di saat yang bersamaan, pemuda itu bersiul dan menunjuk ke depan. Pembunuh Api segera menerjang ke arah patung tersebut tanpa keraguan sedikitpun, dan anjing itu menunjukkan taring dan cakarnya ketika sudah dekat dengan targetnya.

Tapi sayang, serangannya sia-sia saja.

"Wuuusshhh!!"

Beberapa lengan kurus tiba-tiba muncul dari dinding dan lantai dan membungkus tubuh Pembunuh Api.

Anjing hitam itu berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari cengkraman tangan-tangan itu. Bahkan dia juga mencoba menggigit lengan yang melilit kaki depannya, tapi tangan-tangan kurus itu segera merobek tubuh anjing tersebut tanpa ampun. Di ujung kematiannya, anjing hitam itu kembali meledakkan tubuhnya.

"Bumm!!"

Sebuah ledakan api besar memenuhi ruangan itu, dan pada saat bersamaan, sebuah pekikan tajam bergema dari atas.