Rombongan orang itu hanya menangkap sekilas gerakan Rhode yang mengangkat tangannya, dan pada detik selanjutnya, tubuh pemuda itu menghilang dari pandangannya. Suara pedang putih yang terhunus memecah keheningan, menusuk tangan kanan Orlando.
Cepat sekali!
Menghadapi serangan mendadak Rhode, Orlando terkejut. Dia mengira bahwa dirinya sudah siap secara mental menerima serangan tersebut, tapi merasakan efek serangan itu benar-benar memberikan sensasi yang berbeda dibandingkan dengan sekadar mengamatinya. Dia merasa pandangannya mulai kabur ketika pedang Rhode menusuk tangannya.
Karena serangan itu pula, dia terpaksa mundur dan sesaat melupakan Helen yang menjadi target penculikannya. Saat ini harapan Orlando untuk menyelesaikan misinya telah pupus. Perbedaan kekuatan antara dirinya dan Rhode terlalu besar, jadi dia hanya bisa kabur saat ini. Orlando pun segera membalikkan badannya dan melompat ke arah semak-semak.
Tapi Rhode tidak berniat membiarkan pria itu kabur.
Setelah menyadari kalau Orlando mencoba untuk kabur, wajah Rhode menyeringai saat ia bergegas maju.
Sebuah cahaya yang menyilaukan bersinar dari pedangnya dan menyembur ke arah Orlando seakan-akan pedang tersebut sudah siap menyerang pria itu sejak awal.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan serangan Rhode kali ini. Skill Blade of Destruction yang dipakainya tidak langsung melaju ke arah target, tapi sedikit bergeser ke atas. Kelihatannya serangan itu meleset dan Ben, Lize, serta Matt nampak bingung saat melihatnya.
Apa yang terjadi selanjutnya membuat mereka semua terkejut bukan main.
Karena pada saat ini, Orlando tiba-tiba melompat ke arah skill Blade of Destruction itu.
Sebenarnya, saat Orlando memutuskan untuk melompat, dia sudah mendapat prasangka buruk. Bagi para kelas Thief, pergerakan ini sudah menjadi kebiasaan mereka. Biasanya, saat mereka kabur, para Thief mengandalkan insting mereka untuk menentukan teknik ataupun rute kabur. Karena itulah Rhode dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk memprediksi ke arah mana Orlando akan melompat. Di sisi lain, Orlando telah melompat dari panci penggorengan ke api penggorengan itu sendiri.
Ketika Orlando akhirnya menyadari lintasan serangan Rhode, sudah terlambat baginya. Dia mencoba mengubah arah lompatannya di tengah udara, namun sia-sia saja.
Akibat insting dan gerakan Orlando sendiri, serangan Blade of Destruction berhasil menusuk bahu kanannya. Pria berpakaian kumal itu hanya bisa menjerit kencang sebelum terlempar ke arah semak-semak terdekat.
Rhode menurunkan pedangnya dan berjalan ke arah Orlando.
"Uh…Ah…"
Terbaring di semak-semak, Orlando hanya bisa menggertakkan giginya sambil menahan rasa sakit di bahu dan punggungnya. Ketika dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, dia mencoba kabur namun sebelum dia dapat melakukannya, sebuah pedang menusuk tangan kanannya yang terluka.
"Ahhhhh!!!" Orlando menjerit.
Rhode masih terlihat tenang seperti biasa seakan-akan tidak ada yang terjadi dan membuat semua orang semua yakin bahwa pemuda itu bukanlah orang biasa.
Di balik semua itu, Rhode tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang kejam dan tanpa ampun. Dia tidak berniat menyiksa Orlando; itu hanyalah kebiasaannya dalam game. Di dalam game, banyak pemain yang menggunakan cara curang dan hina untuk bertarung. Semakin ahli mereka, semakin kejam serangan mereka. Selain itu, mereka tidak takut terluka dalam game. Karena itu, satu-satunya cara untuk mencegah mereka kabur atau keluar dari game adalah dengan cara membuat mereka siaga dalam mode bertarung secara terus menerus. Karena itulah, secara insting Rhode menggunakan taktik yang sama dengan cara menusukkan pedangnya ke tangan orang yang ingin kabur, mencegah mereka keluar dari game.
Tapi saat dia mendengar jeritan kencang Orlando, Rhode teringat bahwa ini bukanlah game --- Tapi, hal itu bukanlah masalah baginya.
Rhode berjalan ke sisi pria berjubah hitam itu dan merentangkan tangannya, perlahan-lahan mencabut pedang yang tertusuk di tangan Orlando.
"Aaa..Aaa!!!"
Orlando tidak bisa menahan rasa sakit. Sensasi terbakar di tangan kanannya terasa begitu menyakitkan dan mulai berkedut. Tangan kirinya tidak bisa menghentikan Rhode, dan hanya bisa meninju tanah berkali-kali untuk meringankan rasa sakitnya. Menyaksikan hal tersebut, yang lainnya merasa bulu kuduk mereka berdiri. Walaupun bukan mereka yang menjadi korban siksaan Rhode, tapi melihat keadaan pria itu membuat mereka merasa ngeri.
Lize berdiri di kejauhan, mengamati Rhode dalam diam. Emosi campur aduk terlihat jelas di matanya. Lize mengingat kembali kata-kata Rhode padanya saat di hotel.
Aku tidak mengatakan hal ini untuk membalas utang budi darimu yang menyelamatkanku. Karena aku telah berhasil membawa kalian ke sini dengan aman, utangku sudah terbalas, dan utangmu juga. Aku hanya bisa memberitahumu bahwa aku memiliki sebuah tujuan dan itu bukanlah untuk membalas utang budiku padamu. Aku butuh kekuatan, karena itulah aku mengajukan proposal ini. Percayalah bahwa dalam waktu tidak sampai dua tahun, aku dapat mengubah kelompok prajurit bayaranmu menjadi sebuah kelompok yang tangguh. Tapi terlebih dahulu kuperingatkan bahwa mungkin ada kalanya aku menggunakan cara yang tidak kau setujui. Jadi kuharap kau bisa mempertimbangkannya baik-baik. Jika kau menerima proposal ini, maka kau harus bersiap secara mental untuk menghadapi segala rintangan di depan. Karena aku tidak akan membiarkan siapapun untuk menghalangi atau menggangguku dalam mencapai tujuanku. Aku punya alasan tersendiri, tapi kau tidak perlu mengetahuinya sekarang…Aku mengerti perasaanmu, jadi aku tidak akan memaksamu untuk setuju, tapi ingatlah dengan konsekuensi dari janjimu---Karena besar kemungkinannya konsekuensi tersebut terlalu berat untukmu.
Pada saat itu, Lize tidak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Rhode, tapi dia tetap terkejut dengan perkataannya. Akhirnya, dia masih merasa lega karena Rhode bersedia memberitahunya tentang cara yang akan dia gunakan di waktu mendatang untuk meraih tujuannya. Walaupun kedengarannya tidak bisa diterima, hal itu lebih meyakinkan dibandingkan Rhode berkata semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya sekarang dia tahu bahwa Rhode memiliki tujuan, seperti semua orang yang digerakkan oleh motivasi mereka sendiri-sendiri. Namun, Lize masih belum memahami ketertarikan Rhode atas kelompoknya yang hampir bubar, tapi karena Rhode tidak ingin menjelaskannya, maka Lize tidak akan bertanya lebih jauh.
Saat ini, ketika melihat pemandangan tersebut, hati Lize merasa lebih tenang. Sebelumnya ketika Rhode menyerang Helen, dia masih tidak yakin. Jangankan dia, bahkan Ben dan lainnya juga tidak menyangka. Alasannya memberi perisai pelindung pada Helen hanyalah berdasarkan instingnya, bukan karena dia mencoba bekerja sama dengan Rhode. Tapi dari pertarungan ini, Lize akhirnya paham apa yang ingin Rhode lakukan.
Dalam pikirannya, selama Lize mampu merekrut anggota dan menyelesaikan berbagai misi, maka pastinya Lize dapat mempertahankan kelompok prajurit bayarannya. Sesederhana itukah? Lize adalah seorang prajurit bayaran veteran, dan dia paham betapa kejamnya dunia, dan semua orang akan menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Kelompok prajurit bayaran Crescent Star dulunya dianggap kelompok berukuran sedang, tapi sekarang keadaannya jadi begini. Terlebih, dia adalah satu-satunya orang yang menyaksikan langsung kematian kawan-kawan dalam kelompoknya.
Bisakah aku melakukannya? Membangun kembali kelompok ini?
Lize segera menjawab pertanyaannya sendiri.
Tidak bisa.
Bahkan pemimpin sebelumnya, Carter, yang biasanya terlihat santai, juga memiliki sisi dingin dan tegasnya sendiri. Bukannya Lize tidak mampu bersikap begitu, dia hanya tidak ingin memaksa dirinya untuk menjadi orang lain, karena Lize tahu bahwa karakternya bukanlah seperti itu.
Pandangannya kembali ke arah Rhode.
Rhode tidak memberitahunya apa yang ingin dia capai. Tapi ekspresinya terlihat serius, tanpa keraguan sedikit pun.
Bagaimana dengan Lize sendiri? Untuk mencapai mimpi dan tujuannya, apa yang akan dia lakukan?
Ketika Lize sedang memikirkan masa depannya, Rhode dengan santai mencabut pedangnya dan mengibaskan benda tersebut ke samping, menghilangkan noda darah yang tertempel di sana. Sedangkan Orlando sendiri sedang terguling-guling di tanah, masih mencoba menahan rasa sakitnya.
"Aku pikir kau sudah tahu apa yang ingin kutanyakan, tapi kalau-kalau kau lupa, aku akan mengingatkanmu sekali lagi." Rhode berbicara dengan wajah tak peduli,"Jadi…siapa kau? Apa tujuanmu menyerang kami?"
"Ugh..ugh…"
Tubuh Orlando meringkuk, rasa sakit di tangan kanannya membuat pria itu sulit berbicara. Dengan susah payah, Orlando mendongak dan menatap pemuda di hadapannya. Seberapa malang nasibnya sehingga harus bertemu dengannya?
"A…a…Aku…"
Rasa takut dan sakit bercampur dalam diri Orlando. Saat ini, dia tidak punya kekuatan untuk melawan dan hanya bisa pasrah menjawab pertanyaan Rhode. Tidak peduli seberapa kerasnya dia berusaha, dia tetap tidak dapat berbicara dengan baik karena rasa sakit menyerang tangan kanannya. Tapi Rhode ternyata salah paham dengan tindakan tersebut.
"Oh…kau tidak ingin berbicara? Lupakan kalau begitu, aku juga sebenarnya tidak terlalu tertarik.
Orlando menjadi panik, dan adrenalin menyerang tubuhnya dan menutup rasa sakitnya.
"A, aku bekerja untuk wakil presiden Claytor!!"
Jika Orlando memilih mati karena melawan, maka dia masih dapat menerima kematian tersebut. Lain halnya jika dia mati konyol karena merasa kesakitan dan tidak bisa berbicara…dia tidak ingin mati secepat itu.
"Wakil presiden Claytor?"
Mendengar nama itu, pedang Rhode terhenti.
"Asosiasi Pedagang?"
"Ya, benar."
"Apa misimu?"
"Men..menculik nona Helen. Hanya itu yang kutahu…"
Tanda Bintang terletak sangat dekat dengan wajah Orlando, dan bilah pedang dingin yang menyentuh kulitnya membuat Orlando tidak sadar menelan ludah. Sekarang, dia telah kehilangan semua harapannya, dan dia hanya bisa berharap pemuda itu memberinya sedikit ampunan.
Pada saat itu, Rhode menganggukkan kepalanya dan berkata, "Aku tahu."
Orlando tiba-tiba merasakan sensasi dingin di lehernya. Penglihatannya mulai berputar dan kegelapan menelan dunianya.
Setelah menyarungkan pedangnya, Rhode berbalik dan berjalan kembali ke arah kereta. Karena sikapnya yang dingin dan tanpa ampun, tatapan orang-orang di sekitarnya berbeda daripada sebelumnya. Helen duduk di samping pengawal-pengawalnya dan menatap Rhode dengan perasaan campur aduk. Setelah beberapa saat, Ben berdehem dan berjalan ke arah Rhode.
"Te..terima kasih atas pertolongan anda, Tuan."
Walaupun kata-kata dan tindakan Rhode jauh dari kata menolong, hasil akhirnya tetap menguntungkan Ben.
"Tidak masalah, jangan terlalu dipikirkan."
Rhode mengangguk dan tidak berkata-kata lagi. Sebaliknya, Ben merasa ragu, dan sesaat dia membuka mulutnya dan bertanya.
"Maaf sebelumnya….jika saya boleh bertanya, siapakah mereka?"
"Mereka mengaku sebagai suruhan seorang wakil presiden bernama Tuan Claytor yang memerintahkan mereka untuk menculik nona Helen."
"Apa?!"
Ben merasa terkejut. Dia memahami hal-hal seperti ini setelah bekerja sebagai pengawal sebuah keluarga bangsawan selama bertahun-tahun.
"Maksud anda Asosiasi Pedagang mengirim orang-orang ini?"
"Dia bilang begitu. Tapi aku tidak begitu peduli apakah dia berbohong atau tidak."
Rhode berbalik dan melambaikan tangannya.
"Aku hanya mengobrol santai dengannya."