Chereads / Sukacita Hidup Ini / Chapter 37 - Ke Ibukota?

Chapter 37 - Ke Ibukota?

Para pelayan yang tiba di pelabuhan Danzhou bersama Teng Zijing sedang membeli teh khas yang hanya ada di kota pelabuhan itu. Karena Count Sinan sekarang tinggal di ibukota, ia merindukan rasa teh dari kota asalnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, sang Countess biasanya akan menyuruh orang untuk membeli teh kemudian mengirimnya ke ibukota, tetapi karena tahun ini Count Sinan mengutus bawahannya ke Danzhou, mereka bisa mengambil teh itu untuk majikan mereka.

Secara keseluruhan, ada tiga kereta kuda dan tujuh orang yang datang dari kediaman Count Sinan di ibukota, termasuk Teng Zijing yang memimpin semuanya.

Meskipun Teng Zijing tidak ikut berkeliling jalanan Danzhou bersama para pelayan, ia tetap berkeringat seperti babi, dan ia harus sering mengusap kucuran keringatnya. Memang cuaca di Pelabuhan Danzhou lebih panas jika dibandingkan dengan ibukota. Teng Zijing awalnya berencana untuk segera menyapa sang Countess setibanya di Pelabuhan Danzhou, tapi begitu ia mengingat misinya, ia langsung merasa bersalah. Sebagai gantinya, Teng Zijing mengirim para pelayan untuk membeli teh, sementara ia duduk di bar sembari berusaha mengendalikan emosinya.

Mereka belum mendapatkan kabar dari kepala pelayan kedua yang telah dikirim ke Danzhou beberapa tahun lalu, mereka bahkan tidak tahu apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Semua bawahan Count Sinan tahu betul bahwa terdapat konflik antara kediaman di Danzhou dan ibukota, dan mereka berpikir bahwa meski Fan Xian saat itu sedang sendirian, suatu kejadian tidak wajar telah menimpa kepala pelayan kedua itu.

Jika ini benar, maka pihak Count Sinan harus mempertimbangkan kembali pandangan mereka terhadap anak haram itu; lagipula, Fan Xian masih berumur dua belas tahun saat kepala pelayan kedua itu menghilang. Satu-satunya cara orang itu bisa lenyap tanpa jejak adalah jika 'penghilangannya' diperintahkan oleh sang Countess, yang membuktikan bahwa wanita tua itu berada di pihak Fan Xian dan akan menyulitkan istri kedua Count Sinan.

Teng Zijing memperhatikan kalau surat kabar yang ditempelkan di tembok itu adalah edisi terbitan bulan lalu. Ini berarti ia sudah pernah membacanya di ruang belajar Count Sinan. Tidak ada artikel-artikel menarik yang dimuat, karena kehidupan para petinggi dan pejabat ibukota sedang tenang sekarang. Tidak ada pula kabar mengenai pertempuran antara pangeran tertua dengan Xihu, dan berita tentang anak perempuan haram milik kanselir telah mereda, karena pegawai-pegawai muda di badan sensor tidak menggali info lebih lanjut, walaupun mereka dilindungi oleh sang Kaisar yang perkasa.

Ada beberapa artikel sampingan yang membahas tentang Direktur Dewan Pengawas dan cinta pertamanya. Meski surat kabar itu didukung oleh sang Kaisar, para editor tidak akan pernah berani memuat artikel-artikel seperti ini jika Direktur yang seram dan menakutkan itu sedang berada di ibukota.

Sudah jelas dari dimuatnya artikel-artikel ini, bahwa Direktur Chen sedang mengambil cuti pertamanya dalam dua puluh tahun untuk mengunjungi kampung halamannya. Karena sang Kaisar sangat bergantung dengannya, tidak akan ada kegiatan penting selama ketidakhadirannya.

Teng Zijing memikirkan perintah dari Count Sinan dan ia tidak mengerti mengapa memastikan Tuan Muda tanpa identitas itu diboyong ke ibukota secepatnya, sebelum Direktur Dewan Pengawas kembali, menjadi prioritas yang begitu tinggi. Namun begitu, Teng Zijing tidak akan menunda misinya, bahkan jika ia harus berhadapan dengan amarah sang Countess. Ia menyeka keringat di keningnya, lalu mengumpulkan para pelayan untuk segera menuju ke kediaman Count Sinan di Danzhou.

Keramaian di kediaman Count Sinan adalah suatu pemandangan yang langka. Semua pelayan berdiri di luar aula dan menyambut masuk orang-orang yang berdiri di tengah aula. Semua pelayan sudah tahu bahwa orang-orang ini datang dari kediaman di Ibu kota, sehingga mereka terlihat bersemangat walaupun mereka mengenakan pakaian hijau pucat. Karena jarak Danzhou dan ibu kota jauh, kedua belah pihak tidak banyak berinteraksi. Karena jarang ada tamu sebanyak itu dari ibu kota, para pelayan berusaha menebak maksud kedatangan mereka.

Memimpin para pelayannya, Teng Zijing berlutut tersimpuh dengan sungguh-sungguh di hadapan sang Countess dan beberapa kali membungkuk hormat. Setelah itu, dia memberikan pesan Count Sinan lalu melangkah mundur, menunggu tanggapan dari sang Countess.

Teng Zijing memahami posisi sang Countess dalam keluarga Fan, jadi ia bernapas sesunyi mungkin untuk menunjukan rasa hormatnya yang paling dalam. Tetap berlutut, ia melirik ke arah anak muda yang sedang memijat pundak sang Countess.

Anak itu terlihat tampan. Dia memiliki bulu mata yang panjang, bibir yang merah, dan mata yang berbinar lembut. Secara keseluruhan, dia terlihat seperti perempuan. Senyuman lebar yang tersungging di wajahnya membuat anak itu terlihat ramah dan bersahabat.

Tentunya anak itu adalah Fan Xian.

Teng Zijing menghela nafas kepada dirinya sendiri. Menurutnya benar-benar tidak adil bahwa anak semanis ini adalah anak haram yang tidak punya identitas. Mungkin karena efek senyuman Fan Xian, Teng Zijing mulai bertanya-tanya apakah Tuan Muda yang satu ini lebih mudah untuk dilayani daripada yang saat ini berada di ibu kota.

Setelah mendengarkan apa yang perlu dikatakan oleh pria di hadapannya ini, Countess menurunkan pandangannya sambil berpikir, sebelum berbicara dengan suara bernada rendah, "Aku mengerti. Zijing, kau boleh beristirahat sekarang, apalagi karena kau telah bekerja keras dan menempuh perjalanan lebih dari 1000 mil... Sisi, tolong suruh Lao Huangtou untuk menyiapkan air panas dan beberapa hidangan."

Para pelayan serentak mengiyakan permintaan Countess, sedangkan para pelayan dari ibukota mengucapkan terima kasih kepada Countess sebelum keluar dari aula. Meski Teng Zijing sedang diburu waktu oleh jadwal yang ketat, ia tidak berani mengungkap kegesahannya. Dia melirik ke arah Tuan Muda yang asing itu untuk terakhir kalinya sebelum mengundurkan diri.

Aula pun menjadi sepi.

"Jadi, sudah kamu dengar sendiri. Ayahmu menginginkanmu untuk pergi ke ibukota." Wanita tua itu dengan lembut menepuk tangan Fan Xian yang sedang berada di pundaknya. "Bagaimana pendapatmu?"

Walaupun Fan Xian tersenyum lebar, benaknya tengah memperhitungkan beberapa hal. Dia penasaran kenapa ayahnya tiba-tiba memanggilnya ke ibukota tanpa peringatan apapun. Mungkin sang Count sedang mempersiapkan anak haramnya agar memiliki karir di ibukota, tapi ujian pemerintahan periode musim semi sudah dimulai, dan dia tidak mungkin ikut ujian itu karena butuh waktu setidaknya satu bulan untuk mencapai ibukota.

Setelah mendengar kata-kata sang Countess, Fan Xian tersenyum kecut dan menjawab, "Aku belum pernah ke ibukota. Aku lumayan penasaran, tapi aku juga takut."

Jawaban itu hanya setengah jujur – sebenarnya, dia benar-benar penasaran tentang orang-orang yang tinggal disana, dan tentang kota tempat ibunya dahulu tinggal dan bertarung. Akan tetapi, Fan Xian tidak takut sama sekali, justru lebih merasa frustasi atas ketidaktahuannya.

"Apakah kamu ingin pergi?" sang Countess tersenyum, seakan-akan ia bisa melihat ke dalam benak Fan Xian.

"Iya." Fan Xian dengan jujur menjawab, "Aku selama ini telah tinggal di Danzhou, dan ingin pergi keluar untuk melihat dunia."

"Oh, jadi kamu sudah tidak mau lagi menemani nenekmu?" gurau sang Countess.

Fan Xian terkikik, "Oh, jelas! Silakan nenek menghukumku karena itu." Dia lalu lanjut berbicara, "Lagipula, seperti omongan pria itu; ayah telah mempersiapkan untuk kita semua dapat pindah ke ibu kota, jadi aku tidak perlu khawatir, karena aku akan selalu berada di samping nenek setiap saat."

Sang Countess dengan lembut menggelengkan kepalanya. Sambil menggenggam tangan Fan Xian, ia menariknya untuk mendekat lalu berkata dengan lembut. "Tulang-tulang ku tidak akan kuat kalau harus menempuh perjalanan sejauh itu. Kalau kamu ingin pergi, maka pergilah. Aku akan menjaga rumah di Danzhou."

Fan Xian tercengang. Dia tidak mengira neneknya akan menolak ikut serta dalam perjalanan ke ibukota dan dia kehilangan kata-kata.