Teng Zijing tidak pernah membayangkan tugas dari Count kali ini dapat dijalankan dengan begitu mudah – ia awalnya mengira, karena Tuan Muda Fan Xian tidak memiliki reputasi yang pantas untuk dihormati, kalau dia akan sangat keberatan untuk pergi ke ibukota untuk berhadapan dengan istri kedua sang Count, dan karena itu Tuan Muda akan bersikeras untuk tetap tinggal di Pelabuhan Danzhou – fakta bahwa Tuan Muda setuju untuk memenuhi permintaan Count Sinan tanpa mengeluh benar-benar diluar perkiraan.
Di pagi itu, Teng Zijing mengetahui bahwa sang Countess telah memutuskan untuk tetap tinggal di Pelabuhan Danzhou. Ia tidak keberatan, karena yang benar-benar diperlukan adalah si Tuan Muda yang hina ini untuk ikut kembali ke ibukota. Karena sang Countess suka berada di tepi laut, dia bisa tetap tinggal di Danzhou untuk menjalani sisa masa hidupnya. Lagi pula, sang Count tidak meminta semua orang di kediaman Danzhou dibawa kembali ke ibukota.
Di depan gerbang kediaman, sebuah kereta hitam sedang menunggu. Kereta itu ditarik dengan tiga kuda serta terdapat bantalan biru di kursi pengemudi. Kombinasi warna hitam dan biru itu terlihat sangat mencolok. Di sekeliling kereta itu, segerombol penduduk kota Danzhou sedang berkumpul. Sembari penduduk itu bergosip, mereka mengetahui Tuan Muda dari keluarga Fan akan pergi kembali ke ibu kota di hari itu.
Seperti halnya manusia, penduduk kota Danzhou juga memiliki kekurangan – perasaan iri maupun tajam lidah
Kerumunan warga masih tetap menunggu di luar kediaman Count Sinan, menunggu Fan Xian keluar untuk yang terakhir kalinya.
Mereka menunggu cukup lama, tapi wajah yang menawan dengan senyuman lembut itu tidak pernah muncul.
...
...
Halaman dibelakang sangat berantakan, namun Fan Xian bersandar pada sebuah tiang, tersenyum saat melihat para pelayan bergegas. Salah satu dari mereka berteriak, "Sikat gigi, lupa memasukan sikat gigi." Mereka akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencarinya.
Setelah datang ke dunia ini, Fan Xian belum membuat temuan-temuan besar. Salah satu ide kecil yang telah ditemukannya adalah sikat gigi yang terbuat dari bulu babi hutan yang jauh lebih nyaman untuk digunakan, menggantikan rambut ekor kuda yang biasa dipakai. Dia juga membuat bantal katun yang lembut, untuk menggantikan bantal keras. Dan terakhir, dia membuat pancuran mandi yang dia gantung di belakang kamar tidur.
Sebenarnya masih ada banyak lainnya, tapi melihat kondisinya sekarang, dia hanya bisa membawa beberapa temuan ke ibukota.
Setelah beberapa waktu, ketika kereta sudah penuh dengan masuknya tas-tas terakhir, Fan Xian berjalan dengan pelan. Dia tersenyum lebar sambil membantu dan menuntun Countess berjalan.
Fan Xian menyapa orang-orang di sekitarnya dan tidak terkejut melihat Sisi di antara kerumunan. Matanya sedikit bengkak, dan Fan Xian ingat gadis pelayan itu menangis semalam.
Hari ini, sebagai pengecualian, dia mengenakan changshan
Setelah berdiri, Fan Xian, bertentangan dengan tata krama di dunia ini, dia memeluk wanita tua itu dengan erat dan mencium keningnya yang sudah berkerut. Dia kemudian berkata, "Nenek, tolong cari keluarga dengan orang yang baik untuk Sisi nikahi, setidaknya seperti keluarga milik Dong'er sekarang."
Semua pelayan di kediaman itu pura-pura tidak melihat tingkah Tuan Muda mereka yang sedang berulah.
Sang Countess pun juga terkejut. Ia tidak pernah mengira bahwa cucunya yang biasanya berkelakuan baik akan membuat adegan heboh. Ia memukul kepalanya dan berkata, "kenapa kamu sekarang mengacau? Tentu saja akan aku tangani."
Setelah memperhatikan wajah-wajah di hadapannya yang selama ini telah menjadi akrab baginya, Fan Xian memberi hormat kepada semua orang. Sambil tersenyum, dia berkata, "Terima kasih sudah merawatku selama ini."
Para pelayan tidak berani menerima hormat Fan Xian, mereka segera mencari sesuatu untuk dilakukan.
Tiba-tiba, sang Countess tersenyum. "Pergi. Jangan buat ayahmu menunggu. Kalau soal Sisi ... jika kamu sudah merasa nyaman tinggal di ibukota, aku akan mengirimnya ke kamu."
Fan Xian tertegun untuk sesaat. Sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, dia sudah berada di kereta dalam keadaan bingung. Dengan suara roda berputar, kereta itu perlahan berangkat dari Pelabuhan Danzhou.
Saat itu adalah hari yang cerah dan terang. Awan putih bagaikan sutra melayang di langit biru. Pemandangan yang sangat indah.
Kereta melewati warung tahu dan toko kelontong yang sudah tutup. Mengangkat tirai, Fan Xian memandang ke arah perempuan muda yang menjaga warung tahu bersama anak perempuannya, yang sekarang sudah tumbuh cukup besar untuk bisa berlari. Sambil tersenyum kecil, dia duduk kembali.
Di bawah kursinya ada sebuah kotak kulit hitam kuno.
—————————————————————————
Di pelabuhan Danzhou, toko kelontong yang sepi itu akhirnya tutup untuk selamanya. Penduduk kota sempat membahas hal ini, mereka khawatir pemilik toko yang buta akan berakhir tua dan miskin, serta mengucapkan beberapa patah kata untuk mengungkapkan keprihatinan mereka. Tak lama kemudian, topik beralih kembali ke tuan muda Fan, yang baru saja meninggalkan kota. Mereka menduga bahwa Count Sinan telah memanggil putranya yang tidak sah ke ibukota untuk memberinya kedudukan.
Saat ini, Fan Xian sedang berbaring di dalam kereta yang luas. Kereta itu ada di tengah karavan keliling. Di dalam, Fan Xian telah menggelar selimutnya agar kelembutannya bisa membantalinya dari guncangan kereta yang melalui jalan bergelombang. Tentu saja, dia juga ingin tahu alasan sebenarnya mengapa ayahnya menginginkannya di ibukota, jadi ia mengundang Teng Zijing, yang sedang memimpin para penjaga, untuk masuk dan mengobrol.
Teng Zijing duduk menghadap ke arah Fan Xian dengan raut wajah suram; ia tidak tahu di mana ia bisa meletakkan kakinya, dia takut akan mengotori selimut seputih salju itu. Dia merasa tidak nyaman - di matanya, tuan muda ini hanyalah anak yang boros, tidak lebih baik dari tuan muda yang satunya di ibukota.
Fan Xian dengan nyaman meregangkan badannya. Sambil menyipitkan matanya, dia memandang ke arah pria paruh baya didepannya, yang jelas memiliki kekuatan yang besar, dan bertanya, "Tuan Teng, kita sudah cukup jauh dari Pelabuhan Danzhou, dapatkah kamu memberitahuku mengapa ayah memanggil aku ke ibukota?"
Teng Zijing terlihat agak ragu-ragu, seolah ada beberapa hal yang tidak boleh dikatakannya.
Tersenyum, mata Fan Xian berbinar jernih. Dia berkata dengan suara yang lemah-lembut, "Kamu tahu latar belakangku seperti apa, jadi aku tidak heran kalau kamu berhati-hati."
Teng Zijing dengan terpaksa membalas senyumnya, dan dengan hormat menjawab, "Cobalah untuk tidak terlalu curiga. Count Sinan hanya ingin anda datang ke ibukota untuk mempersiapkan masa depan anda."
Fan Xian melambaikan tangan dan menggelengkan kepalanya. "Hanya ada kita berdua di sini, tidak perlu bertele-tele." Dia tiba-tiba tertawa. "Kalau kamu tidak memberitahu jawabannya padaku, mungkin aku akan melompat keluar dari kereta ini dan melarikan diri."
Teng Zijing tertawa. "Anda benar-benar pandai bergurau, Tuanku."
Sebelum Teng Zijing selesai berbicara, Fan Xian menyatakan dengan dingin, "Ada waktunya aku tidak sedang bergurau."
Jantung Teng Zijing berdebar kencang. Dalam benaknya ia bertanya-tanya apakah Fan Xian serius. "Jika anda benar-benar tidak ingin pergi ke ibukota, semua orang akan memaklumi. Jadi mengapa anda tidak menentang keputusan ini saat masih di pelabuhan Danzhou, di depan sang Countess?" Melihat pemuda tampan itu, Teng Zijing mulai menyadari bahwa Fan Xian tidak sesederhana yang ia pikirkan.
Tentu saja, Fan Xian tidak akan benar-benar melarikan diri. Meskipun dia sadar bahwa tidak ada hal baik yang akan menantinya di ibukota, setelah menjalani kehidupan anak bangsawan yang kaya dan santai selama beberapa tahun terakhir ini, dia sudah lama kehilangan semangat petualangnya. Kehidupan yang sulit dan melarat tidak akan cocok untuknya.
Dia datang ke dunia ini untuk memanjakan diri.
Pada saat yang sama, dia ingin melihat seperti apa ibukota itu, oleh karena itu dia tidak punya niat untuk menolak ketika Count Sinan mengirim orang untuk membawanya ke sana. Tapi itu bukan berarti dia tidak ingin tahu apa yang disembunyikan oleh Teng Zijing darinya.
Setelah terdiam cukup lama, Teng Zijing akhirnya tidak tahan suasana hening di dalam kereta. "Tuanku," dia memulai, "sebenarnya, sang Count telah mengatur pernikahan untuk anda di ibukota."
Fan Xian memandang pria didepannya dan lama sekali terdiam sebelum akhirnya bertanya, "Pernikahan?"