Chereads / The Playboy's Baby [Sudah Terbit] / Chapter 22 - Chapter 1

Chapter 22 - Chapter 1

Unedited

Brayden 3 Bulan ~

Belum hampir tiga jam Sarah memejamkan mata, suara tangisan kecil kembali terdengar memenuhi  kamar Sarah dan Brandon.

Meskipun masih mengantuk, Sarah terkesiap dan sontak membuka matanya. Reflex, tubuh Sarah yang sedang berbaring, bergerak ingin bangun. Tapi, baru saja Sarah mengangkat tubuhnya, tangan Brandon dengan cepat mencegah Sarah.

"Biar aku aja. Kamu tidur gih" ujarnya pelan.

"Kamu yakin? Kamu kan juga belum lama sampai. Kamu gak capek?" tanya Sarah bimbang.

"Gak papa, kamu tidur lagi sana" jawab Brandon tersenyum meyakinkan Sarah.

Sekalipun capek, Brandon tidak menunjukan rasa capeknya itu di depan Sarah.

Bagaimana mungkin ia menunjukan rasa lelahnya itu. Sedangkan Sarah, setelah habis melahirkan, jangankan satu atau dua hari, dalam tiga bulan ini, Brandon yakin tidur Sarah tidak pernah nyenyak dan kurang. Sarah terlalu khawatir dengan Brayden.

Melihat wajah istrinya yang tampak kelelahan, Brandon merasa bersalah. Ia baru tahu kalau mengurus bayi itu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Salut bagi perempuan-perempuan hebat yang adalah seorang ibu.

Dalam hati, Brandon berjanji ke depannya akan memperlakukan mami-nya lebih baik lagi.

"Bener?"

"Iya, yang. Beneran. Kamu tidur lagi aja. Biar aku yang urus Brayden. Lagian kantuk aku juga udah hilang gara-gara ulah anak kita ini" ujar Brandon tersenyum kecil lebih meyakinkan Sarah.

"Tapi kalo ada apa-apa dengan Brayden, kamu langsung bangunin aku, ya, yang" Sarah masih merasa sedikit khawatir.

"Iya, iya, yang. Nanti aku bangunin kamu kalo Brayden kenapa-napa"

Sarah akhirnya mengangguk setuju dan kembali membaringkan tubuhnya di kasur. Tidur.

Brandon kemudian mengecup dahi Sarah. Tanda terima-kasih Brandon karena Sarah sudah menjadi seorang ibu yang luar biasa bagi anak-anak mereka.

Hati Brandon menghangat saat menatap istrinya yang sudah tertidur. Tiba-tiba suara tangisan Brayden semakin mengeras. Dengan cepat di sibakan-nya selimut abu-abu tebal yang menutupi setengah tubuhnya dan bangkit berdiri.

Dengan hanya memakai celana pajama kotak-kotak berwarna merah dan hitam, Brandon berjalan cepat ke arah box bayi berbentuk keranjang yang letaknya di samping Sarah tidur.

Diangkatnya Brayden dari box bayi yang terbuat dari rotan itu, dan mulai mengendus pampers yang di pakai Brayden.

Brandon tidak mencium bau tidak enak yang biasa berasal dari kotoran bayi. Hanya bau minyak telon saja. Sambil berhati-hati, Brandon pun menggendong putra bungsunya yang baru berusia tiga bulan itu.

"Shhh... Cup.. Cup.. Cup" bujuk Brandon menenangkan Brayden yang masih menangis.

Takut mengganggu Sarah yang sudah terlelap, Brandon memilih keluar dari kamar mereka dan masuk ke dalam kamar Brayden.

Ya, Brayden memang memiliki kamar sendiri khusus untuknya. Tapi, berhubung Brayden masih tiga bulan, dan masih suka terbangun tengah malam. Sarah dan Brandon memutuskan bahwa Brayden lebih baik tidur di kamar mereka. Bersama dengan Sarah dan Brandon.

Alasannya, agar lebih praktis dan lebih memudahkan mereka mengawasi Brayden jika anak mereka itu menangis.

Mungkin setelah Brayden masuk empat, lima atau enam bulan, sudah tidak lagi sesering ini menangis, Brayden mungkin akan  tidur di kamarnya sendiri.

Sembari menepuk-nepuk lembut punggung Brayden, Brandon mulai menina-bobokan Brayden dengan menyanyikan lagu favorit Brayson. Twinkle-twinkle little star.

Twinkle, twinkle, little star

How I wonder what you are

Up above the world so high

Like a diamond in the sky

Twinkle, twinkle little star

How I wonder what you are

Sepuluh menit kemudian. Brayden masih juga tidak berhenti menangis. Brandon jadi bingung. Tidak mungkin ia membangunkan Sarah.

"Brayden laper? Iya?" tanya Brandon memperhatikan wajah Brayden yang mirip ibunya.

Entah anaknya itu mengerti atau tidak dengan apa yang baru saja diucapkan Brandon, Brayden tiba-tiba diam dan mulai berbicara dengan bahasa bayinya.

"Aaa. Uu.. Aa.. Uu"

"Laper? Iya?" tanya Brandon sekali lagi memastikan.

"Aaa... Uu.. Aa.. Uu"

"Laper, nak? Jadi jagoan daddy, laper?" ujung bibir Brandon terangkat membentuk senyuman kecil.

Ternyata anaknya itu sedang kelaparan.

"Uu. Aa. Aa. Uu" Sekali lagi Brayden menjawabnya dengan bahasa bayinya.

"Pinter ya, anak daddy." Brandon mengangkat Brayden lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah anaknya itu dan menciumnya sayang.

"Daddy akan segera kembali. Brayden jangan nakal" ucap Brandon meletakan Brayden di baby–crib–nya.

"Jangan, nakal. Jangan nangis. Yang sabar. Jagoan daddy harus kuat seperti ayahnya" tambah Brandon menepuk bangga dadanya di depan Brayden.

Anaknya itu malah tersenyum dan menggerak-gerakan kedua kakinya, senang.

Menyaksikan reaksi Brayden yang menggemaskan itu, Brandon tertawa kecil. Ia lalu menjulurkan jari telunjuk kanannya di dekat tangan Brayden, tanda minta ingin di genggam Brayden..

Mungkin menyadari maksud ayahnya, Brayden pun dengan senang menggengam jari telunjuk Brandon.

Tangan kecil itu menggengam jemari Brandon dengan kuat.

Hampir lima menit ayah dan anak itu dalam diam saling menatap.

Tiba-tiba, air mata Brandon mengalir di pipinya dan jatuh di pipi Brayden.

Saking menyesalnya ia tidak melewati hari-hari indah seperti ini, dulu bersama Brayson, Brandon menangis.

Dengan cepat Brandon menghapus air matanya dan mengusap air mata yang terjatuh di pipi Brayden.

Brayden yang sedari tadi diam, menatap Brandon dengan tatapan seakan bertanya, "Ada apa?"

"Waktunya minum susu" ucap Brandon tersenyum lemah dan pergi meninggalkan Brayden sendirian di kamar.

15 menit kemudian Brandon kembali dengan membawa sebotol susu yang sudah di dinginkan.

"Lihat apa ini" Brandon menunjukkan botol yang berisi susu di depan Brayden, "Tada" ia lalu mulai menggoyang-goyangkan botol susu itu.

"Aaa. Uuu.. Aaa. Uuu" Brayden tersenyum, tangannya terangkat ke atas.

"Iya. Iya. Daddy, tau" Brandon pun mendekatkan ujung dot botol susu itu ke mulut Brayden yang dengan cepat langsung diterimanya.

Selesai memberikan susu pada Brayden, Brandon mengangkat anaknya itu dan mulai menina-bobokannya lagi.

Sesekali Brandon mengayunkan tubuhnya supaya Brayden bisa tertidur cepat.

Merasakan Brayden sudah tertidur, Brandon membuang nafas dalam-dalam.

"Good night, son"

*****

"Daddy.. Mommy.." teriak Brayson masuk ke dalam kamar Brandon dan Sarah.

Brandon dan Sarah masih tertidur pulas ketika Brayson dengan tiba-tiba masuk ke dalam kamar mereka.

Melihat Ayah dan Ibunya tidak mendengarnya dan masih juga tidur, Brayson pun berjalan ke arah tempat adiknya tidur.

"Baby. Baby. Dadek baby" sambil menopang tubuhnya dengan cara memegang ujung baby box, Brayson menjinjit berbisik-bisik kecil memanggil adiknya.

Mungkin karena mendengar panggilan dari kakaknya, Brayden yang semula tidur, membuka mata.

Mata cokelatnya langsung bertatapan dengan mata hitam pekat Brayson.

"Wah, baby bangun, wah baby bangun" Brayson melompat-lompat kegirangan, "Morning baby" sapanya tersenyum.

"Auu. Uaa. Auu. Uaa. Auu"

"Hihihihi" Brayson tertawa ketika adiknya itu mulai berbicara bahasa bayinya.

"Baby kapan besar? Brayson gak sabar pengen main sama baby"

"Auu. Uaaa. Auu. Auu. Uaa"

"Ih, baby, Brayson gak ngerti" tutur Brayson dengan wajah cemberut.

"Auu. Uaa. Auu.. Auu" Air liur Brayden sampai membasahi area sekitar mulutnya.

"Baby.. Baby.. Baby Brayden"

"Brayson ngapain, sayang?" tanya Sarah yang terbangun karena ocehan kedua anaknya itu.

"Baby bangun mommy" sahut Brayson yang sudah melepaskan genggaman tangannya dari baby box, menunjuk ke arah Brayden.

"Oh, adik kamu sudah bangun?" Sarah bertanya pura-pura tidak tahu, duduk bersila di atas kasur. Padahal dari tadi ia sudah memperhatikan apa yang sedang dibicarakan anak sulungnya itu pada adik bayinya.

"Sudah mommy"

Sarah mengangguk.

"Oh, Brayson belum cium mommy. Ciuman untuk mommy mana, Lay" ucap Sarah menunjuk pipi kanannya yang begitu di dengar Brayson,  langsung berlari ke arah Sarah.

"Morning mommy" sapa Brayson setelah memberikan ciuman milik mommy.

"Morning juga, Laylay" Sarah mengacak-acak rambut Brayson sayang.

Tidak jauh dari mereka, seseorang sedari tadi telah memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kehangatan.

"Mommy udah di cium. Kok daddy gak di cium juga, Lay?" sahut Brandon bangun dari tempat tidur.

"Daddy" Teriak Brayson senang ketika melihat Brandon.

"Ciuman daddy, mana?"

Tidak lama kemudian Brayson sudah berdiri di samping Brandon sambil memeluk kaki Brandon.

"Daddy tinggi, Brayson gak bisa cium"

Brandon lalu berjongkok agar bisa di cium Brayson.

Melihat kebersamaan antara Ayah dan anak itu, membuat hati Sarah sebagai seorang ibu merasa bahagia dan meleleh.

********